Dongeng dari Indonesia

ASAL MULA BURUNG MERPATI
(Dongeng dari Nusa Tenggara Timur)

Oleh Endang Firdaus

Dulu, penduduk bumi dapat naik ke langit dan penduduk langit dapat turun ke bumi. Ketika itu letak bumi dan langit sangat dekat. Dengan sebuah tangga kayu, ramai orang turun naik. Di langit, tak jauh dari tangga itu, tinggal seorang nenek dengan dua cucunya. Suatu hari, nenek itu menyuruh kedua cucunya turun ke bumi mengambil api. Anak-anak itu melakukan. Mereka tiba di sebuah pondok. Diambilnya bara menyala dari tungku.
“Bagaimana membawanya?” cetus si Adik.
Si Kakak mengambil bara itu. Lalu cepat dilepaskannya. “Oh, api ini Bergigi. Aku digigitnya!” serunya.
“Bergigi?” tukas si Adik. “Kalau begitu akan kucari tali. Kita ikat api itu, lalu kita seret.” Ia cepat mencari tali. Kemudian diikatnya bara itu. “Mari, Kak,” katanya. “Kita seret api ini.”
Tiba-tiba tali putus. Api memakannya.
“Bagaimana ini?” keluh si Adik.
“Masukkan saja ke dalam kantung bajuku,” usul si Kakak.
Mereka mengambil bara itu. Dimasukkan ke dalam kantung baju si Kakak. Sekejap kantung itu bolong.
Bara itu jatuh.
Kakak beradik itu bingung.
“Memang di mana letak gigi api ini?” ucap si Adik.
“Aku tidak tahu,” timpal si Kakak. “Kalau tahu, akan kupukul giginya sampai tanggal.”
Mereka membolak-balik bara itu mencari giginya. Gigi api itu tak terlihat. Putus asa keduanya duduk termenung. Kata si Kakak kemudian, “Mari kita masukkan bara itu ke dalam selimutku. Kita bungkus rapat-rapat sehingga tidak dapat menggigit.” Ia lalu mengambil bara itu. Dibungkusnya dengan selimutnya. Ia lalu mengajak si Adik pulang ke langit.
Keduanya berjalan ke arah tangga. Api perlahan membakar selimut. “Oh, api ini mengigigit lagi!” seru si Kakak kaget. Ia dan si Adik cepat berlari ke tangga. Api membesar. Si Kakak melempar selimutnya yang terbakar. Seketika api merambat ke rerumputan dan daun-daun kering di bawah tangga. Maka kemudian habislah tangga terbakar.
Melihat itu, kedua kakak beradik itu ketakutan. Mereka bersembunyi di dalam hutan. Si Nenek yang mendengar tangga habis terbakar segera tahu kalau itu perbuatan cucu-cucunya. Penuh marah ia pergi ke dekat bekas tangga. Dipanggilnya kedua cucunya, namun tak seorang pun menjawab. Nenek itu kian marah. Dikutuknya cucu-cucunya.
Aneh.
Langit perlahan naik. Makin tinggi, makin tinggi. Jarak langit dengan bumi akhirnya menjadi jauh sekali. Kedua cucu nenek itu yang sudah terkena kutuk si Nenek berubah menjadi dua merpati. Mereka mencoba kembali ke langit. Tetapi langit sudah sangat tinggi. Mereka tak mampu mencapainya. Mereka kembali ke bumi, hidup di bumi dan berkembang biak sampai sekarang.


MAARUMA DAN WANGAN NEI
(Dongeng dari Papua)

Oleh Endang Firdaus

Dulu, di Bamot, sebuah desa di Papua, hidup dua saudara. Mereka Maaruma dan Wangan Nei. Mereka selalu pergi berburu bersama dan selalu membawa anjing-anjing mereka.
Suatu malam, Maaruma dan Wangan Nei duduk di bawah sebuah pohon pisang membicarakan rencana yang akan mereka lakukan untuk berburu besok. Mereka tidak tahu bahwa satu hantu menguping pembicaraan mereka. Setelah kedua saudara itu pulang, hantu itu merubah diri sebagai Wangan Nei. Di tengah malam, ia mendatangi Maaruma.
“Kakak Maruuma, bangunlah! Fajar hampir datang! Mari kita pergi berburu!” ucap si Hantu.
Maaruma membuka mata. Cetusnya, “Nanti saja, adikku. Sekarang hari masih gelap.”
“Ayolah!” desak si Hantu. “Jangan buang waktu!”
Maaruma akhirnya memutuskan untuk pergi saat itu juga. Istrinya membantunya menyiapkan peralatan untuk berburu. Ia juga membawa anjing-anjingnya. Ketika ia keluar rumah, ia heran sekali adiknya tak membawa anjing-anjingnya. “Hei, di mana anjing-anjingmu?” tanyanya.
“Kita tidak perlu lagi membawa mereka. Bukankah Kakak sudah ada anjing-anjing Kakak?”
Maaruma curiga. Ia tahu adiknya selalu membawa anjing-anjingnya bila pergi berburu. Keduanya lalu pergi menuju hutan dengan sebuah perahu kecil. Sementara itu anjing-anjing Maaruma tak henti-henti menggeram pada si Hantu. Kecurigaan Maaruma pun bertambah.
“Benarkah yang di hadapanku ini adikku, Wangan Nei?” ucap Maaruma pada dirinya.
Ketika tiba di tempat berburu, mereka kemudian berbagi tugas. Maaruma akan berburu, dan adiknya akan membangun gubuk dan tempat untuk mengasapi daging binatang hasil berburu.
Ketika Maaruma berhasil mendapatkan seekor kanguru, tiba-tiba Wangan Nei sudah ada di sampingnya. Bagaimana bisa adiknya ada di dua tempat pada saat yang bersamaan? Maaruma heran sekali. Seketika ia yakin kalau itu bukan adiknya. Setelah mendapatkan sepuluh ekor binatang buruan, mereka balik ke gubuk. Wangan Nei membawa hasil buruan ke gubuk dengan perahu, sementara Maaruma berjalan kaki bersama anjing-anjingnya.
Saat Maaruma tiba di gubuk, Wangan Nei tengah mengasapi daging. Bagaimana ia dapat tiba begitu cepat dan telah mengasapi lebih dari separuh daging? Usai mengasapi semua daging, mereka lalu pergi tidur. Di tengah malam, Maaruma terbangun dan melihat adiknya telah memakan hampir semua daging. Maaruma sekarang sangat yakin kalau itu adalah hantu. Tak ada manusia makan begitu banyak dalam waktu yang sangat cepat sekali.
Maaruma cepat pulang dengan anjing-anjingnya. Si Hantu sangat marah karena Maruuma pergi dengan membawa dayung miliknya. Beberapa bulan kemudian, ketika Maruuma tengah mandi di sungai, hantu itu muncul. Ia tidak berwujud sebagai Wangan Nei, tetapi sebagai wujudnya sendiri. Serunya, “Kembalikan dayungku! Aku ingin dayungku!”
Maaruma mengambil dayung itu. Diberikannya pada si Hantu. Setelah itu hantu itu tak pernah datang lagi.


KUSOI DAN RINGKITAN
(Dongeng dari Sulawesi Utara)

Oleh Endang Firdaus

Adalah sepasang suami istri nelayan di pantai utara Minahasa. Mereka mempunyai sembilan anak perempuan. Semuanya cantik-cantik. Maka, banyak pemuda di sepanjang pantai itu, datang melamar mereka. Tetapi gadis-gadis itu selalu menolak. Hal itu membuat kedua orang tua mereka menjadi sedih. Mereka selalu berdoa demi kebahagiaan anak-anak itu.
Suatu hari, suami istri itu kedatangan seekor kuskus. Binatang itu datang untuk meminang salah seorang anak gadis mereka. Gadis-gadis itu, kecuali Ringkitan, si Bungsu, menolak penuh marah. Maka Kuskus pun menikah dengan Ringkitan. Saudara-saudara Ringkitan tak henti-henti mencemoohkannya. Kuskus dan Ringkitan kemudian pindah rumah, demi menjauhkan diri dari saudara-saudara Ringkitan yang selalu menghina.
Di rumah barunya Ringkitan merasa kesepian. Setiap hari sang Suami pergi meninggalkannya seorang diri di rumah. Ia baru kembali pulang setelah matahari terbenam.
Suatu pagi, karena ingin tahu ke mana suaminya pergi selama ini, Ringkitan mengikuti. Di balik semak, dilihatnya suaminya melakukan sesuatu. Ia tengah melepas bulu kuskusnya! Ia lalu berubah menjadi seorang pemuda gagah dan tampan. Setelah itu ia berjalan menuju pelabuhan. Di sana sebuah kapal besar beserta para awak kapal sudah menunggunya. Kuskus adalah nakhoda kapal itu. Setiap hari mereka melaut untuk menjala ikan.
Hari masih pagi. Kuskus meninggalkan Ringkitan. Ringkitan yang berpura-pura masih tidur cepat bangun lalu ia mengikuti suaminya. Ia akan mengakhiri sandiwara suaminya. Maka setelah suaminya pergi, Ringkitan mengambil pakaian bulunya lalu dibakarnya.
Petang datang. Kuskus bingung tak menemukan pakaian bulunya. Ia lalu pulang menemui Ringkitan. Ketika ia tiba di rumah, Ringkitan pura-pura terkejut melihat kedatangannya. “Saudara siapa?” tanyanya.
“Aku Kuskus, suamimu. Namaku Kusoi.”
“Benarkah? Kalau begitu, aku mohon jangan menjadi kuskus lagi. Aku bosan dengan ejekan saudara-saudaraku,” kata Ringkitan.
“Baiklah,” sahut Kusoi.
Kakak-kakak Ringkitan kemudian tak lagi mencemoohkan Ringkitan. Namun mereka iri pada keberuntungannya. Sebab Kuskus ternyata seorang nakhoda kapal yang kaya dan tampan. Mereka lalu berniat untuk mencelakakan adiknya.
Suatu hari, Kusoi pergi berlayar ke negeri jauh untuk waktu yang lama. Sementara itu kakak-kakak Ringkitan telah menemukan cara untuk mengenyahkan Ringkitan. Bulan-bulan berlalu. Akhirnya terdengar berita bahwa Kusoi dan awak kapalnya memasuki pelabuhan.
Ringkitan dan kakak-kakaknya pergi untuk menyambut. Di bawah sebuah pohon besar, mereka berhenti. Tiba-tiba kakak-kakak Ringkitan mengangkatnya. Ringkitan diayun-ayunkan, lalu dilemparkan ke atas pohon. Ringkitan tersangkut di dahan tertinggi. Pohon itu amat tinggi. Di bawahnya pantai yang sangat curam. Ringkitan tak berani turun. Sambil menangis ia berteriak meminta tolong. Namun kakak-kakaknya tak mempedulikan.
Sebuah perahu melintas di bawah pohon. Seru Ringkitan, “Pak, apakah Bapak melihat suami saya, Kusoi?”
“Ia masih di belakang. Sebentar lagi kapalnya memasuki pelabuhan,” sahut orang dim perahu. Sebuah perahu kembali melintas di bawah pohon. Ringkitan menanyakan suaminya. Jawabannya sama saja. Akhirnya sebuah kapal besar melintas. Nakhodanya tampak berdiri di anjungan. Ringkitan berseru, “Wahai, Tuan Nakhoda, kau melihat suamiku, Kusoi”
“Kusoi?” timpal Nakhoda. “Aku Kusoi. Apakah kau Ringkitan?”
“Ya, aku Ringkitan, istrimu.”
Kusoi memerintahkan beberapa awak kapal untuk menolong Ringkitan. Ringkitan lalu menceritakan yang telah menimpanya. Kusoi kemudian menyuruh Ringkitan dan duduk di anjungan.
Kapal memasuki pelabuhan. Penduduk dan kedelapan kakak Ringkitan menyambut.
Kusoi turun dari kapal. Disalaminya orang-orang itu satu per satu. Ia lalu menceritakan bahwa ia baru saja menemukan istrinya. Seketika kakak-kakak Ringkitan pias. Cepat mereka meminta maaf, lalu menanyakan di mana Ringkitan. Kusoi menunjuk ke arah wanita muda di anjungan.
Kakak-kakak Ringkitan terbelalak melihat Ringkitan yang amat cantik. Mereka menghampirinya. Menangis penuh penyesalan mereka memeluk Ringkitan dan meminta maaf.


MINANGKABAU
(Dongeng dari Sumatera Barat)

Oleh Endang Firdaus

Dulu, di Sumatera Barat, ada sebuah negeri. Penduduk negeri itu hidup aman dan makmur. Suatu hari, ada berita bahwa Kerajaan Majapahit dari Jawa akan menyerang negeri itu.
Segera Raja mengadakan pertemuan. Ucapnya pada para kaulanya, “Majapahit akan menyerang kita! Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan diam saja dan membiarkan negeri ini hancur?”
“Mereka sangat kuat. Bila kita berperang dengan mereka, kita pasti kalah,” ujar seorang tetua.
Suasana hening. Semua orang terlihat cemas. Seorang tetua yang lain kemudian berkata, “Kita tak perlu berperang dengan mereka. Bagaimana kalau kita tantang mereka mengadu kerbau? Jika kerbau mereka mati, kita menang. Tapi jika kerbau kita mati, mereka menang.”
“Apa yang harus kita lakukan agar menang?” tanya tetua lainnya.
“Kita tak akan membiarkan mereka menang,” ucap tetua yang mengusulkan. “Aku punya rencana bagus.” Ia lalu mengemukakan rencananya pada Raja dan tetua-tetua lain, dan semua setuju pada rencana itu.
“Kau yakin kita bisa menang?” cetus seorang tetua.
“Ya! Sekarang mari kita cari seekor anak kerbau yang kuat,” ucap tetua yang mengusulkan.
Mereka pun melakukan rencana itu. Mereka mengambil seekor anak kerbau dan memisahkannya dari induknya. Mereka tidak memberi anak kerbau itu makan dan membiarkannya lapar selama beberapa hari. Anak kerbau itu melenguh-lenguh kelaparan. Orang-orang itu kemudian mengikat kuat-kuat dua pisau tajam pada tanduk anak kerbau itu.
Hari pertandingan tiba. Orang berkumpul di tanah lapang. Orang-orang Majapahit mengeluarkan seekor kerbau liar besar dari kandangnya. Orang-orang Sumatera Barat mengeluarkan anak kerbau mereka.
Anak kerbau sangat lapar karena tidak makan selama beberapa hari. Ia juga amat kehilangan induknya. Cepat ia memburu ke kerbau besar dan menyusup ke bawah perutnya mencari puting susu.
Pisau-pisau di tanduk anak kerbau merobek perut kerbau besar. Kerbau itu rubuh ke tanah dan mati.
“Hore!” seru orang-orang Sumatera Barat penuh suka cita. “Kita menang! Kita menang!”
Orang-orang Majapahit meninggalkan Sumatera Barat. Sumatera Barat selamat dari kehancuran. Orang-orang Sumatera Barat kemudian mengganti nama kerajaan mereka menjadi Minangkabau, yang artinya ‘kerbau menang’. Sampai sekarang, atap rumah di Sumatera Barat berbentuk tanduk kerbau. Begitu pula dengan pakaian tradisional para wanita Sumatera Barat.


LA MANJURAI DAN PUTRI BOSU
(Dongeng dari Sulawesi Selatan)

Oleh Endang Firdaus

Adalah seorang pangeran. La Manjurai namanya. Ia seorang yang tampan, gagah, dan pemberani.
Tak jauh dari kediaman La Manjurai, tinggal Putri Bosu, seorang putri bangsawan yang sangat cantik jelita. Orang tua sang Putri sangat menyayanginya. Sebuah kamar di lantai atas, mereka buatkan untuknya. Sang Putri jarang sekali keluar kamar untuk bermain dengan gadis lainnya.
La Manjurai belum pernah melihat Putri Bosu. Ia ingin sekali melihatnya untuk membuktikan kecantikannya. Suatu malam, mengendap-endap, ia naik ke kamar sang Putri. Ia lalu masuk melalui jendela. Tak sengaja, badiknya jatuh dan mengenai dada sang Putri. Sang Putri tewas. Melihat itu, penuh takut La Manjurai cepat meninggalkan kamar itu.
Pagi datang. Orang-orang di rumah Putri Bosu gempar menemukannya sudah tak bernyawa dengan badik menancap di dadanya. Mereka lalu tahu kalau badik itu kepunyaan La Manjurai.
Penuh sesal La Manjurai lalu menceritakan apa yang telah terjadi. Ia lalu meminta agar jenazah sang Putri jangan dikebumikan dan mohon dibuatkan perahu untuk menaruh jenazah itu. Keluarga Putri Bosu mengabulkan. Setelah itu, sang Putri diletakkan di perahu. Lalu La Manjurai pergi berlayar menyusuri sungai dengan perahu itu membawa jenazah sang Putri.
Perahu terus melaju. La Manjurai berusaha menghidupkan kembali sang Putri. Akhirnya ia berhasil.
“Di mana aku?” tanya sang Putri heran.
La Manjurai segera menceritakan yang telah terjadi.
Mereka kemudian tiba di satu hulu sungai. Tidak jauh dari situ, ada sebuah kerajaan. La Manjurai menepikan perahu untuk berlabuh. Ia lalu tidur untuk melepas lelah. Di saat yang sama beberapa pengawal kerajaan datang ke tempat itu. Seketika mereka sangat terpesona melihat kecantikan Putri Bosu. Mereka beritahukan hal itu pada raja mereka.
“Sungguh?” tukas Raja.
“Ya!” sahut orang-orang itu.
“Kalau begitu bawa ia ke sini. Aku ingin melihatnya,” perintah Raja.
Para pengawal menemui Putri Bosu dan memintanya menghadap Raja. Putri Bosu berkata bahwa ia tengah menunggui kakaknya yang tengah tidur. Ketika para pengawal itu datang ketiga kalinya, Putri Bosu akhirnya memenuhi permintaan Raja. Ketika ia tiba di istana, Raja seketika tertarik padanya dan ingin memperistrinya. Ia lalu menahannya di istana.
Raja kemudian menyiapkan sebuah perahu terbang. Dengan perahu itu ia akan mengajak Putri Bosu bertamasya. Namun, setiap kali akan diterbangkan perahu itu selalu tidak bisa terbang, karena tanpa sepengetahuan Raja, sang Putri selalu memutuskan tali layar perahu itu.
Ketika La Manjurai bangun dari tidurnya dan tak menemukan sang Putri, cepat ia pergi mencarinya. Di depan istana ia melihat kerumunan orang yang tengah menyaksikan perahu terbang yang sedang diperbaiki. La Manjurai menghampiri. Dilihatnya sang Putri di perahu itu.
“Yang Mulia, hamba bisa memperbaiki perahu itu,” ucap La Manjurai pada Raja.
“Benarkah?”
“Ya.”
“Kalau begitu, perbaikilah.”
“Baik, Yang Mulia.”
La Manjurai memperbaiki perahu itu. Putri Bosu memberi tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan mudah La Manjurai dapat memperbaiki perahu itu. Cetusnya, “Yang Mulia, hamba sudah selesai memperbaiki perahu ini. Hamba akan mencobanya untuk mengetahui apakah sudah dapat bekerja dengan baik atau belum. Boleh hamba membawa Tuan Putri?”
“Silakan.”
Whuuush!
Perahu melesat terbang. Raja senang sekali melihatnya. Ia lalu menyuruh La Manjurai turun.
La Manjurai tak mempedulikan.
Perahu terus melesat.
Di halaman rumah Putri Bosu perahu itu mendarat. Penuh heran dan suka cita penduduk menyambut. La Manjurai dan Putri Bosu kemudian menikah. Mereka hidup bahagia selamanya.


GUNUNG JOKO TUWO DAN GUNUNG RORO DENOK
(Dongeng dari Jawa Tengah)

Oleh Endang Firdaus

Raden Mas Sujarwo adalah orang paling kaya. Rumahnya megah. Sawah dan ladangnya luas sekali. Karena kekayaannya itu, ia menjadi sombong. Istrinya, Raden Ayu Sukesi, juga memiliki sifat yang sama dengannya. Mereka mempunyai lima orang putri, Roro Widuri, Roro Melati, Roro Delima, Roro Sekar, dan Roro Denok. Semua cantik-cantik. Kecuali si Bungsu, Roro Denok, mereka sombong dan selalu mau menang sendiri.
Roro Denok berhubungan akrab dengan Joko Ontang Anting, putra satu-satunya Mbok Sumi, janda miskin yang tinggal di ujung desa. Kedua orang tua dan keempat saudaranya tak tahu hal itu.
Sembunyi-sembunyi, Roro Denok sering membawakan makanan dan minuman pada Joko Ontang Anting saat pemuda itu menggarap sawah Raden Mas Sujarwo. Suatu hari, orang-orang Raden Mas Sujarwo memergoki mereka. Segera mereka melaporkan hal itu pada sang Majikan. Raden Mas Sujarwo sangat marah. Joko Ontang Anting disuruh menghadapnya.
“Kau tahu apa sebabnya kusuruh menghadapku?” tanya Raden Mas Sujarwo penuh kesombongan.
“Saya tidak tahu, Tuan,” jawab Joko Ontang Anting.
“Itu karena kau punya kesalahan yang amat besar padaku!” ucap Raden Mas Sujarwo. Suaranya keras penuh marah. “Kau bersalah karena berhubungan dengan putriku, Roro Denok!”
Roro Denok yang berada di balik tirai, pembatas ruang depan dengan ruang tengah, pucat pasi. Kakak-kakaknya tak henti mengejek.
“Kau tidak pantas berhubungan dengan putriku! Kau cuma pesuruhku! Untuk melamar putriku, kau harus kaya!”
Joko Ontang Anting diam menunduk.
“Kau boleh melamar Roro Denok kalau sudah mempunyai uang emas satu perahu!”
Berhari-hari perkataan Raden Mas Sujarwo mengiang di telinga Joko Ontang Anting. Akhirnya ia memutuskan untuk mewujudkan yang dikatakan ayah Roro Denok. Ia lalu pergi meninggalkan desa untuk mencari ilmu kesaktian.
Joko Ontang Anting tiba di lereng sebuah gunung dan bertemu dengan seorang petapa sakti. Ia berguru padanya, mempelajari ilmu kesaktian. Salah satu kesaktian itu adalah kesaktian yang bisa mengeluarkan uang emas dan harta karun yang tersembunyi di dalam tanah.
Joko Ontang Anting belajar penuh tekun. Ia akhirnya berhasil menguasai ilmu itu. Setelah bisa mengumpulkan uang emas satu perahu, ia pun pamitan pulang pada sang Guru.
Joko Ontang Anting pulang ke desanya melalui sungai dengan mendayung perahunya yang berisi uang emas. Setibanya diajaknya ibunya ke rumah Raden Mas Sujarwo untuk melamar Roro Denok.
“Hahaha! Kau salah, Joko! Yang aku maksud perahu sebesar rumahku ini! Uang emas yang kau bawa masih terlalu sedikit untuk melamar Roro Denok!” ejek Raden Mas Sujarwo.
Joko Ontang Anting kesal. Penuh marah dilemparkannya perahu berisi uang emas ke tanah lapang. Konon, perahu itu menjadi batu. Penduduk lalu menamakan tempat itu Perahu Watu, yang artinya perahu batu.
Joko Ontang Anting lalu pergi menemui kembali sang Guru. Ia bertapa di sana sampai tua dan tidak pernah menikah. Sementara itu, Roro Denok pergi dari rumah dan menyepi di tepi hutan. Ketika Joko Ontang Anting dan Roro Denok telah tiada, orang menamakan tempat Joko Ontang Anting bertapa dengan nama Gunung Tuwo, yang berarti perjaka tua. Sedang bekas tempat Roro Denok menyepi dinamakan orang Gunung Roro Denok.


SUGANDA SUGANDI
(Dongeng dari Jawa Barat)

Oleh Endang Firdaus

Haji Sobana sangatlah kaya. Ia mempunyai seorang istri yang cantik dan dua orang putra. Putranya yang pertama bernama Suganda, dan putranya yang kedua bernama Sugandi.
Suganda memiliki tabiat yang sangat buruk. Ia gemar bermabuk-mabukkan, gemar berjudi, dan sangat suka menghambur-hamburkan uang. Ia berteman dengan orang-orang yang juga memiliki tabiat buruk sepertinya. Sementara Sugandi anak yang sangat penurut. Ia pendiam, rajin bekerja, patuh pada nasihat orang tua, dan selalu menjalankan yang diperintahkan agama.
Suatu hari, Suganda membutuhkan uang yang banyak untuk memenuhi permintaan kekasihnya. Maka suatu malam dicurinya sekotak perhiasan milik ibunya. Sebelum pergi, kunci lemari yang berisi kotak perhiasan dimasukkannya ke dalam saku celana Sugandi yang sedang tidur lelap. Ia lalu memberikan sebagian perhiasan ibunya pada kekasihnya dan sebagian lagi dijual untuk hidupnya setelah menikah.
Pagi hari, saat sang Ibu membuka lemari, seketika ia sangat terkejut karena tidak melihat kotak perhiasannya. “Oh, ke mana kotak perhiasanku?” serunya. Ia lalu memberi tahu hal itu pada Haji Sobana. Segera keduanya mencari. Para pembantu, serta Sugandi, lalu dikumpulkan untuk ditanyai, dan semua menjawab tidak tahu. Suganda kemudian muncul. Ia bertanya sedang ada apa.
Haji Sobana cepat menceritakan tentang hilangnya kotak perhiasan sang Ibu.
Suganda mengangguk-angguk. Katanya setelah itu, “Bagaimana kalau saku semua orang di rumah ini digeledah? Orang yang nanti di sakunya ditemukan kunci lemari di mana kotak perhiasan itu disimpan, berarti orang itulah yang telah mencuri.”
Maka digeledahlah saku setiap orang. Di saku celana Sugandi, Haji Sobana menemukan kunci itu. Seketika ia dan istrinya sangat marah. Suganda lalu menghajar adiknya itu habis-habisan sampai babak belur. Haji Sobana dan istrinya kemudian mengusirnya.
Penuh sedih Sugandi meninggalkan rumah. Ia tiba di sebuah padepokan silat. Ia lalu menuntut olah kanuragan di tempat itu. Ia belajar penuh tekun. Akhirnya semua ilmu yang diberikan sang Guru dikuasainya dengan baik. Ia lalu mohon diri dan pergi berkelana. Dengan ilmunya ia membasmi kejahatan. Banyak perampok dan penodong yang dilumpuhkannya. Suatu saat ia berhasil menolong Haji Sukma dari para penodong. Haji Sukma dan keluarganya sangat berterima kasih. Haji Sukma lalu menikahkannya dengan putrinya, Siti Halimah. Keduanya saling mencinta dan hidup bahagia.
Suatu ketika, Sugandi bermaksud menengok kedua orang tuanya. Bersama istrinya ia pun pergi. Haji Sukma dan istrinya melepasnya dengan doa.
Sementara itu, sepeninggal Sugandi, Suganda menikah dengan kekasihnya. Keduanya lalu menghambur-hamburkan harta Haji Sobana. Kekayaan Haji Sobana akhirnya ludes. Rumahnya pun terjual. Haji Sobana dan istrinya diusir. Beruntung Kepala Kampung mau menampung keduanya. Haji Sobana dan istrinya sedih sekali.
Sugandi dan istrinya tiba di rumah Haji Sobana. Sugandi terkejut mengetahui rumah itu telah menjadi milik orang lain. Para tetangga menceritakan bahwa rumah itu telah dijual oleh Suganda dan istrinya, sedang Haji Sobana dan istrinya kini tinggal di rumah Kepala Kampung. Sugandi mengucapkan terima kasih atas cerita itu. Ia dan istrinya lalu pergi ke rumah Kepala Kampung untuk menemui Haji Sobana dan istrinya.
Kepala Kampung menyambut baik Sugandi dan istrinya. Haji Sobana dan istrinya amat suka cita. Sugandi mengucapkan terima kasih atas kebaikan Kepala Kampung yang telah mau menampung kedua orang tuanya. Ia dan istrinya lalu membawa keduanya. Mereka hidup bahagia selamanya. Sementara Suganda dan istrinya hidup amat menderita. Mereka meminta belas kasihan orang dari hari ke hari.


INKONKUBURI
(Dongeng dari Papua)

Oleh Endang Firdaus

Dulu, di sebuah desa di tepi pantai di Papua, hidup dua kakak beradik. Mereka Seramanirai dan kakaknya. Suatu hari, Seramanirai meminta si Kakak memotong daun pandan untuk dibuat layar.
Si Kakak melakukan. Ucapnya pada Seramanirai, selesai layar dibuat, “Sekarang berlayarlah kau ke Sorendiweri. Temui Inkonkuburi. Lamar ia untuk kau jadikan sebagai istrimu.”
“Ya, Kak,” sahut Seramanirai.
Seramanirai berlayar ke Sorendiweri untuk menemui gadis yang dikatakan kakaknya. Tiba di sana penduduk bertanya, “Apa maksud kedatanganmu ke sini, anak muda?”
“Saya hendak menemui Inkonkuburi,” jawab Seramanirai.
Inkonkuburi adalah seorang gadis yang tinggal di sebuah cangkang kerang yang besar. Ketika Seramanirai hendak mengambil cangkang kerang itu, seorang gadis menemuinya dan berkata, “Akulah Inkonkuburi!” Seramanirai melemparkan cangkang kerang ke perahu. Ia lalu menjadikan gadis itu sebagai istrinya. Gadis itu bernama Indowawerik.
Seramanirai membawa pulang Indowawerik. Ia juga membawa pulang cangkang kerang.
Suatu ketika, Seramanirai dan penduduk pergi membuka ladang di hutan. Desa pun sunyi senyap. Inkonkuburi keluar dari cangkang kerangnya. Ia kemudian mandi dan makan. Rambutnya yang panjang keemasan terurai indah ditiup angin yang berhembus sepoi.
Gadis itu sangat cantik sekali. Dari mulutnya keluar sebuah senandung penuh kepiluan.
“Angin yang bertiup sepoi,
Ayah Ibu, pasti mengira
aku dibawa ke mari
untuk dijadikan istri
oleh Seramanirai.
Tapi nyatanya?
Aku tidak dijadikan
sebagai istrinya.”
Seorang kakek yang tidak bisa berjalan tak ikut membuka ladang. Ia mendengar senandung Inkonkuburi. Segera ia bangkit. Dilihatnya Inkonkuburi. Gumam si Kakek, “Cantik sekali gadis itu! Ia pastilah Inkonkuburi. Seramanirai telah menikah dengan gadis yang lain.”
Kakek itu lalu melihat Inkonkuburi masuk ke dalam cangkang kerangnya. Ketika Seramanirai dan penduduk kembali, segera diceritakannya yang telah dilihatnya pada Seramanirai.
Keesokan hari, Seramanirai berpura-pura pergi ke hutan. Ia lalu kembali dan bersembunyi di langit-langit perahu. Ia ingin membuktikan yang telah dikatakan si Kakek.
Menjelang siang, Inkonkuburi pun keluar dari cangkang kerangnya. Ia pergi mandi dan makan. Sambil berangin-angin, dari mulut gadis cantik itu terdengar senandung seperti kemarin.
“Angin yang bertiup sepoi,
Ayah Ibu, pasti mengira
aku dibawa ke mari
untuk dijadikan istri
oleh Seramanirai.
Tapi nyatanya?
Aku tidak dijadikan
sebagai istrinya.”
Seramanirai turun. Ditangkapnya tangan Inkonkuburi. Ucapnya, “Mengapa kau sembunyi di dalam cangkang kerang?”
“Kau datang ke Sorendiweri untuk melamarku. Mengapa kau menikah dengan Indowawerik?” tukas Inkonkuburi.
“Aku telah ditipu olehnya!” sahut Seramanirai. “Ia telah mengaku-aku sebagai dirimu!”
Petang datang. Penduduk pulang dari hutan. Seramanirai bercerita kalau ia telah ditipu oleh Indowawerik. Ia lalu memperkenalkan Inkonkuburi yang asli. Kakak Seramanirai sangat suka cita. Dipeluk dan diciuminya gadis itu. Ia lalu mengusir Indowawerik.


ASAL USUL JAMBI
(Dongeng dari Jambi)

Oleh Endang Firdaus

Tersebutlah seorang raja yang amat berkuasa. Negeri yang diperintahnya sangat kaya dan makmur. Negeri lain kagum dan hormat. Sayang, sang Raja belum memiliki permaisuri. Belum ada seorang wanita pun berkenan di hatinya.
Suatu hari, Raja mendengar kabar, di daerah Minangkabau ada seorang gadis sangat cantik. Gadis itu bernama Pinang Masak. Sang Raja sangat tertarik. Maka dikirimlah utusan untuk melamar gadis itu.
Pinang Masak memang sangat cantik, tapi memiliki tabiat yang sangat buruk. Ia sangatlah tamak dan haus kekayaan duniawi. Dan, Pinang Masak tidak mau bersuamikan raja itu, karena parasnya buruk. Tapi, ia ingin sekali kekayaannya yang melimpah.
Pinang Masak menerima lamaran Raja, namun diam-diam mencari jalan menggagalkan pernikahan. Ia hanya ingin mendapatkan kekayaan saja.
“Aku mau menikah dengan rajamu dengan syarat dapat membuatkan istana indah. Dan, istana itu harus selesai dalam satu malam, sebelum ayam berkokok,” kata Pinang Masak.
Raja sangat ingin memperistri Pinang Masak. Disanggupinya permintaan gadis tamak itu. Maka, dikumpulkan seluruh rakyat dan ahli pertukangan, lalu diperintahkan membangun istana indah, seperti keinginan Pinang Masak.
“Ingat, istana itu harus selesai dalam satu malam, sebelum ayam jantan berkokok!”
Para tukang sibuk bekerja. Rakyat sibuk membantu. Raja datang memeriksa. Sampai tengah malam, mereka berhasil mengerjakan sebagian bangunan. Memasuki dini hari, bangunan itu hampir selesai dibangun.
Pinang Masak sangat cemas.
“Oh, istana itu sepertinya dapat diselesaikan tepat waktu! Bagaimana ini? Aku tidak mau bersuamikan raja berwajah buruk itu. Aku tidak menyukainya!”
Pinang Masak cepat mencari cara untuk menggagalkan pembangunan istana. Ia lalu keluar menuju kandang-kandang ayam. Dibukanya pintu kandang-kandang itu. Diteranginya dengan lampu terang benderang, sehingga ayam-ayam mengira hari telah pagi. Maka ramailah kokok ayam.
Mendengar ayam-ayam berkokok, Raja mengakui kalah. Gagal sudah niatnya memperistri Pinang Masak. Dan, karena sangat mencintai gadis itu, maka dihadiahkannya istana yang belum selesai itu. Ia juga memberi banyak kekayaan pada Pinang Masak.
Tapi, Pinang Masak yang tamak belum puas. Ia ingin memiliki seluruh kekayaan Raja. Kekayaan yang telah diberikan Raja lalu digunakan untuk membeli alat-alat perang dan membayar banyak orang untuk menjadi prajuritnya. Setelah itu diserbunya istana Raja. Karena tak menduga bakal mendapat serangan, dalam waktu singkat, Raja takluk.
Pinang Masak akhirnya menguasai seluruh kekayaan Raja dan merebut kekuasaannya. Ia kemudian menobatkan diri sebagai ratu. Orang-orang sering memanggilnya dengan ‘Pinang’ saja. Dalam bahasa setempat, pinang disebut jambe. Maka, kerajaan itu dinamakan ‘Kerajaan Jambe’.
Waktu berlalu.
Kata ‘jambe’ akhirnya berubah menjadi ‘jambi’, sampai sekarang. Jambi adalah nama satu provinsi di Pulau Sumatera.


ASAL MULA DESA JEMBER
(Dongeng dari Jawa Tengah)

Oleh Endang Firdaus

Di pinggiran kota Kudus ada sebuah desa bernama Desa Jember. Di bawah ini adalah kisah mengapa desa itu bernama Jember, yang artinya kotor atau najis. Begini kisahnya …
Raden Bagus Jaka adalah salah seorang putra Sunan kudus. Ia gemar berkelahi, pemberani, dan berdarah prajurit. Ia sangat suka menyabung ayam. Di setiap gelanggang sabungan, ia selalu ada.
Suatu hari, Raden Bagus Jaka pergi ke gelanggang untuk adu ayam. Ayam sabungannya menghadapi ayam sabungan Sunan Kedu. Baru sebentar ayam itu melawan, ayam Sunan Kedu menyambarnya hingga mati. Diceritakannya hal itu pada Sunan Kudus, sang Ayah.
Sunan Kudus merenung memikirkan aduan itu. Ia lalu berpikir kalau Sunan Kedu bermaksud pamer kesaktian. Ia ingin mencoba kesaktian Sunan Kudus. Ucap Sunan Kudus pada Raden Bagus Jaka, “Ayam biasa tak akan dapat mengalahkan ayam sabungan Sunan Kedu, sebab ayam sabungan Sunan Kedu bukan ayam sewajarnya. Ayam Sunan Kedu adalah ayam yang tercipta dari senjata sabit. Kembalilah kau sekarang dengan ayam ini.” Sunan Kudus lalu menciptakan seekor ayam jantan dari sebuah beliung.
Raden Bagus Jaka kembali ke gelanggang. Pertarungan sengit terjadi antara ayam Sunan Kedu dan ayam Sunan Kudus. Ayam Sunan Kedu akhirnya kalah dan mati. Melihat itu, Sunan Kedu sangat marah. Menaiki daun nyiur ia terbang memamerkan kesaktiannya.
Sunan Kudus tersenyum. Ucapnya, “Kedu, cuma itu yang kau bisa? Hohoho! Rasakan ini, manusia takabur!”
Blug!
Sunan Kedu jatuh dan mati seketika. Untuk mengingat kejadian itu, Sunan Kudus memberi nama tempat jatuhnya Sunan Kedu yang jember atau kotor hatinya dengan nama Jember.


ASAL MULA TELAGA NGEBEL
(Dongeng dari Jawa Timur)

Oleh Endang Firdaus

Di Desa Campurdarat, dulu, tinggal sepasang suami istri. Mereka mempunyai seorang anak gadis bernama Endang Lara Kijang. Suatu hari, seorang pemuda tampan bertamu ke rumah mereka. Pemuda itu Ki Ageng Mangir. Ia disambut ramah oleh orang tua Endang Lara Kijang.
Ketika Endang Lara Kijang akan menyuguhkan sirih dan pinang pada Ki Ageng Mangir, ia tidak menemukan pisau untuk membelah pinang. Ki Ageng Mangir mengeluarkan pisaunya. Ucapnya, “Ini pisau pusakaku. Pakailah. Jaga jangan sampai hilang.”
Endang Lara Kijang menggunakan pisau itu untuk membelah pinang. Karena takut hilang, pisau itu lalu Ditaruhnya di pangkuannya. Hal aneh terjadi. Pisau tiba-tiba raib, dan Endang Lara Kijang hamil.
Ki Ageng Mangir tak ingin dituduh sebagai penyebab kehamilan gadis itu. Ia lalu pergi untuk bertapa. Ucapnya pada Endang Lara Kijang sebelum pergi, sambil menyerahkan sembilan buah kelinting (giring-giring) padanya, “Bila anakmu lahir, kalungkan kelinting ini ke lehernya.”
Endang Lara Kijang melahirkan. Bayinya berujud ular. Karena malu dimasukkannya bayi itu ke dalam sebuah tempayan dan ditinggalkannya. Ia lalu bertapa di Telaga Wening.
Si Ular tumbuh besar. Ketika tak lagi bisa memuatnya, tempayan pecah. Si Ular lalu melata mencari orang tuanya. Ia bertemu seorang petapa. Tanyanya, “Kau tahu siapa orang tuaku?”
Ucap si Petapa, “Ayahmu Ki Ageng Mangir. Ia tengah bertapa di Gunung Semeru. Ibumu Endang Lara Kijang. Ia tengah bertapa di Telaga Wening, dijaga oleh puluhan buaya.”
Si Ular lalu menuju Telaga Wening. Ia harus mengalahkan dulu para buaya yang mengelilingi sang Ibu untuk mendekatinya. Mulanya Endang Lara Kijang tak mau mengakuinya sebagai anak, namun karena ular itu mengancam akan membunuhnya, ia pun mengakui.
Endang Lara Kijang berkata, “Anakku, kini pergilah ke Gunung Semeru. Temui ayahmu.”
Ular itu pergi. Tiba di Gunung Semeru, Ki Ageng Mangir tak mau mengakuinya sebagai anak, sebab ia tak punya tanda seperti yang telah dipesankannya pada Endang Lara Kijang. Ular itu kembali menemui Endang Lara Kijang. Endang Lara Kijang lalu memberinya sembilan buah kelinting dari Ki Ageng Mangir. Ular itu lalu kembali ke Gunung Semeru. Konon, bekas yang dilalui ular itu, dari Telaga Wening ke Gunung Semeru, kembali ke Telaga Wening, lalu kembali ke Gunung Semeru, menjadi tiga buah sungai.
Ucap Ki Ageng Mangir ketika ular itu tiba kembali di hadapannya, “Ya, kau benar anakku. Kelinting-kelinting yang kau pakai itu sebagai buktinya. Kau akan kuberi nama Baruklinting. Satu hal lagi harus kau lakukan untuk membuktikan bahwa kau memang pantas jadi anakku.”
“Apa itu?” tanya Baruklinting.
“Lingkarkan tubuhmu melingkari gunung ini,” kata Ki Ageng Mangir.
“Baik,” ucap Baruklinting.
Baruklinting melakukan yang dikatakan sang Ayah. Namun ternyata tubuhnya kurang panjang. Hanya tinggal sedikit saja kepalanya dapat menyentuh ujung ekornya. Ia lalu menjulurkan lidahnya. Ia pun berhasil melingkari Gunung Semeru. Ki Ageng Mangir yang sebenarnya tak mau mengakui ular itu sebagai anaknya cepat mengeluarkan pedangnya. Ditebaskannya pada lidah si Ular. Kelak lidah ular itu dibuat menjadi mata tombak Kyai Baruklinting.
Si Ular sangat marah. Ia bermaksud akan membalas dendam pada sang Ayah. Mencari waktu yang tepat, ia bertapa dengan tetap melingkarkan tubuhnya pada Gunung Semeru.
Suatu hari, serombongan penduduk desa pergi berburu. Seharian mencari binatang buruan mereka tak juga menemukan. Penuh kesal salah seorang menancapkan beliungnya pada sebatang pohon besar. Seketika ia terkejut melihat cairan yang keluar dari batang pohon itu. Cairan itu bukan getah, tetapi darah. Orang itu dan yang lainnya kemudian tahu kalau batang pohon itu adalah seekor ular besar. Mereka lalu memotong-motongnya sebagai ganti binatang buruan. Amat penuh suka cita, mereka kemudian membawanya pulang.
Ketika penduduk tengah asyik menikmati daging ular itu, seorang bocah muncul. Ia jelmaan Baruklinting. Bocah itu mendatangi setiap rumah meminta sedekah. Namun, kecuali seorang nenek miskin, tak ada yang kasihan padanya. Ucap anak itu, “Terima kasih, Nek. Nanti, bila mendengar gemuruh banjir, Cepatlah Nenek naik ke dalam lesung dan jangan lupa membawa centong.”
Bocah itu pergi ke tanah lapang dengan membawa bungkusan nasi pemberian si Nenek. Dihampirinya anak-anak desa yang tengah asyik bermain. Di depan mereka bocah itu menancapkan sebatang lidi ke tanah. Cetusnya, “Ayo, coba kalian cabut lidi ini!”
Anak-anak itu melakukan. Namun tak seorang pun dapat mencabut lidi itu. Para orang tua kemudian berdatangan, lalu mencoba mencabut lidi itu, tetapi mereka pun tak ada yang dapat mencabutnya. Kemudian giliran si Bocah. Dengan mudah ia dapat mencabut lidi itu.
Blar!
Air memancar deras dari lubang bekas lidi itu. Seketika penduduk desa itu tewas tenggelam. Hanya si Nenek yang selamat. Lesung yang dinaikinya sebagai perahu dan centong sebagai dayungnya. Tempat itu kemudian menjadi sebuah telaga. Orang menamakannya Telaga Ngebel.

No comments:

Post a Comment