Double Wrap Watch: Double Wrap Enamel Buckle Watch by Zalora. Black watch with wrap style, with a combination of gold and black color, strap that made from synthetic leahter, such a classy combination, perfect for formal or semi formal occasion.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LGam0
Thursday, November 27, 2014
Dongeng dari Rusia
ISTANA LALAT
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, seekor lalat membangun sebuah istana di tepi hutan. Istana itu sangat indah. Melompat-lompat penuh riang, seekor kutu mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat. Kau siapa?”
“Aku Kutu.”
“Tinggallah denganku!”
“Ya, ya!”
Seekor tikus mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu. Kau siapa?”
“Aku Tikus.”
“Tinggallah dengan kami!”
Melompat-lompat seekor katak mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Dan aku Tikus. Kau siapa?”
“Aku Katak.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor kelinci mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Dan aku Katak. Kau siapa?”
“Aku Kelinci.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor serigala berlari-lari mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Dan aku Kelinci. Kau siapa?”
“Aku Serigala.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor rubah mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala. Kau siapa?”
“Aku Rubah.”
“Tinggallah dengan kami!”
Maka, penuh bahagia, binatang-binatang itu tinggal di istana itu. Seekor beruang besar kemudian datang ke istana itu. Serunya, “Hei, siapa yang tinggal di istana indah ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala.”
“Aku Rubah. Kau siapa?”
“Aku Beruang.”
“Tinggallah dengan kami!”
Beruang mencoba masuk ke dalam istana itu, namun tubuhnya yang besar tak bisa masuk.
“Aku akan tinggal di atap saja.”
“Jangan! Nanti istana ini bisa hancur!”
“Tidak akan!”
Beruang duduk di atap.
Brak!
Istana itu hancur!
Binatang-binatang itu kaget sekali. Pontang-panting, mereka masuk ke dalam hutan.
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, seekor lalat membangun sebuah istana di tepi hutan. Istana itu sangat indah. Melompat-lompat penuh riang, seekor kutu mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat. Kau siapa?”
“Aku Kutu.”
“Tinggallah denganku!”
“Ya, ya!”
Seekor tikus mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu. Kau siapa?”
“Aku Tikus.”
“Tinggallah dengan kami!”
Melompat-lompat seekor katak mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Dan aku Tikus. Kau siapa?”
“Aku Katak.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor kelinci mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Dan aku Katak. Kau siapa?”
“Aku Kelinci.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor serigala berlari-lari mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Dan aku Kelinci. Kau siapa?”
“Aku Serigala.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor rubah mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala. Kau siapa?”
“Aku Rubah.”
“Tinggallah dengan kami!”
Maka, penuh bahagia, binatang-binatang itu tinggal di istana itu. Seekor beruang besar kemudian datang ke istana itu. Serunya, “Hei, siapa yang tinggal di istana indah ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala.”
“Aku Rubah. Kau siapa?”
“Aku Beruang.”
“Tinggallah dengan kami!”
Beruang mencoba masuk ke dalam istana itu, namun tubuhnya yang besar tak bisa masuk.
“Aku akan tinggal di atap saja.”
“Jangan! Nanti istana ini bisa hancur!”
“Tidak akan!”
Beruang duduk di atap.
Brak!
Istana itu hancur!
Binatang-binatang itu kaget sekali. Pontang-panting, mereka masuk ke dalam hutan.
Friday, November 21, 2014
Layer Hijab
Layer Hijab: Layer Hijab design by Hijab Icon, hijab with layering style, made of chiffon cerutti fabric with good quality. The silky, light and soft texture make this hijab is a must. Pair this hijab with an outer or a cullote pants or a long dress.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LGEd8
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LGEd8
Dongeng dari Inggris
TURPIE DAN DEMIT
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, hiduplah seorang lelaki tua dengan istrinya. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil, dan mempunyai seekor anjing bernama Turpie.
Di sebuah hutan, tidak jauh dari gubuk mereka, hidup sekelompok demit bertubuh kerdil. Setiap malam, para demit itu datang ke gubuk suami istri tersebut, dan berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Namun Turpie selalu mendengar kedatangan mereka. Ia lalu menyalak keras, membuat mereka ketakutan dan pergi dari tempat itu.
Si lelaki tua dan istrinya tidak tahu mengenai para demit itu, karena Turpie selalu mengusir mereka. Namun suatu malam, lelaki tua itu terbangun dari tidurnya dan berkata, “Turpie menyalak begitu keras sehingga aku tidak dapat tidur lelap. Besok pagi aku akan melepas ekornya.”
Di pagi hari lelaki tua itu melakukan niatnya. Ia melepas ekor Turpie. Malamnya saat lelaki tua itu dan istrinya sedang tidur, para demit kembali datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua! Makan si perempuan tua!” Kali ini pun Turpie mendengar kedatangan mereka. Ia menyalak beberapa kali sampai mereka pergi.
Namun lelaki tua itu terbangun dan berkata, “Turpie begitu keras menyalak, membuatku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kakinya.” Maka keesokan paginya, lelaki tua itu melepas kaki-kaki Turpie.
Di malam hari ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, para demit kembali mendatangi gubuk mereka sambil berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!”
Namun Turpie mendengar kedatangan demit-demit itu. Ia menyalak keras, hingga mereka meninggalkan tempat itu.
Namun kembali si lelaki tua terbangun dan katanya, “Turpie masih juga menyalak dengan keras, sampai aku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kepalanya.”
Keesokan pagi lelaki tua itu pun melepas kepala Turpie. Malam harinya ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, kembali para demit datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Dan Turpie mendengar kedatangan mereka, namun si lelaki tua telah melepas kepalanya. Kini, Turpie tidak dapat lagi menyalak untuk menakuti mereka.
Para demit segera mendobrak pintu gubuk. Mereka tak membawa si lelaki tua karena ia bersembunyi di bawah meja dapur dan mereka tidak dapat menemukannya. Namun mereka membawa si perempuan tua ke tempat tinggal mereka dan memasukkannya ke sebuah keranjang, lalu menggantungkannya di palang pintu.
Sewaktu si lelaki tua mengetahui para demit telah membawa istrinya, ia sangat menyesal dengan apa yang telah ia lakukan. Kini ia tahu mengapa Turpie menyalak setiap malam. “Aku manusia yang bodoh,” ucapnya. “Sekarang aku akan memasang kembali bagian-bagian tubuh Turpie yang telah kulepas waktu itu.” Ia lalu keluar rumah dan memasang semua bagian tubuh Turpie dengan benar.
Kemudian Turpie berlari mencari si perempuan tua. Ia terus berlari hingga tiba di tempat para demit. Ternyata, para demit tidak ada di tempat itu, namun si perempuan tua ditinggalkan menggantung di palang pintu. Turpie menggigit tali dengan giginya yang tajam. Keranjang pun jatuh, dan Turpie membukanya sehingga si perempuan tua dapat keluar. Perempuan tua itu kemudian berlari pulang menemui suaminya. Dan keduanya sangat gembira.
Namun Turpie masuk ke keranjang dan berbaring di tempat itu, menunggu para demit pulang. Tidak berapa lama, mereka datang. Mereka menusuk keranjang dengan jari mereka yang tajam dan panjang. Mereka mengira si perempuan tua masih ada di dalam keranjang. Namun tiba-tiba keluarlah Turpie sambil menyalak-nyalak, membuat mereka semua lari ketakutan. Begitu jauh mereka berlari dan tidak pernah kembali lagi. Dan sejak itu, si lelaki tua dan istrinya hidup tenang. Kini, mereka dapat tidur nyenyak, karena Turpie tidak lagi menyalak keras di malam hari.
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, hiduplah seorang lelaki tua dengan istrinya. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil, dan mempunyai seekor anjing bernama Turpie.
Di sebuah hutan, tidak jauh dari gubuk mereka, hidup sekelompok demit bertubuh kerdil. Setiap malam, para demit itu datang ke gubuk suami istri tersebut, dan berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Namun Turpie selalu mendengar kedatangan mereka. Ia lalu menyalak keras, membuat mereka ketakutan dan pergi dari tempat itu.
Si lelaki tua dan istrinya tidak tahu mengenai para demit itu, karena Turpie selalu mengusir mereka. Namun suatu malam, lelaki tua itu terbangun dari tidurnya dan berkata, “Turpie menyalak begitu keras sehingga aku tidak dapat tidur lelap. Besok pagi aku akan melepas ekornya.”
Di pagi hari lelaki tua itu melakukan niatnya. Ia melepas ekor Turpie. Malamnya saat lelaki tua itu dan istrinya sedang tidur, para demit kembali datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua! Makan si perempuan tua!” Kali ini pun Turpie mendengar kedatangan mereka. Ia menyalak beberapa kali sampai mereka pergi.
Namun lelaki tua itu terbangun dan berkata, “Turpie begitu keras menyalak, membuatku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kakinya.” Maka keesokan paginya, lelaki tua itu melepas kaki-kaki Turpie.
Di malam hari ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, para demit kembali mendatangi gubuk mereka sambil berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!”
Namun Turpie mendengar kedatangan demit-demit itu. Ia menyalak keras, hingga mereka meninggalkan tempat itu.
Namun kembali si lelaki tua terbangun dan katanya, “Turpie masih juga menyalak dengan keras, sampai aku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kepalanya.”
Keesokan pagi lelaki tua itu pun melepas kepala Turpie. Malam harinya ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, kembali para demit datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Dan Turpie mendengar kedatangan mereka, namun si lelaki tua telah melepas kepalanya. Kini, Turpie tidak dapat lagi menyalak untuk menakuti mereka.
Para demit segera mendobrak pintu gubuk. Mereka tak membawa si lelaki tua karena ia bersembunyi di bawah meja dapur dan mereka tidak dapat menemukannya. Namun mereka membawa si perempuan tua ke tempat tinggal mereka dan memasukkannya ke sebuah keranjang, lalu menggantungkannya di palang pintu.
Sewaktu si lelaki tua mengetahui para demit telah membawa istrinya, ia sangat menyesal dengan apa yang telah ia lakukan. Kini ia tahu mengapa Turpie menyalak setiap malam. “Aku manusia yang bodoh,” ucapnya. “Sekarang aku akan memasang kembali bagian-bagian tubuh Turpie yang telah kulepas waktu itu.” Ia lalu keluar rumah dan memasang semua bagian tubuh Turpie dengan benar.
Kemudian Turpie berlari mencari si perempuan tua. Ia terus berlari hingga tiba di tempat para demit. Ternyata, para demit tidak ada di tempat itu, namun si perempuan tua ditinggalkan menggantung di palang pintu. Turpie menggigit tali dengan giginya yang tajam. Keranjang pun jatuh, dan Turpie membukanya sehingga si perempuan tua dapat keluar. Perempuan tua itu kemudian berlari pulang menemui suaminya. Dan keduanya sangat gembira.
Namun Turpie masuk ke keranjang dan berbaring di tempat itu, menunggu para demit pulang. Tidak berapa lama, mereka datang. Mereka menusuk keranjang dengan jari mereka yang tajam dan panjang. Mereka mengira si perempuan tua masih ada di dalam keranjang. Namun tiba-tiba keluarlah Turpie sambil menyalak-nyalak, membuat mereka semua lari ketakutan. Begitu jauh mereka berlari dan tidak pernah kembali lagi. Dan sejak itu, si lelaki tua dan istrinya hidup tenang. Kini, mereka dapat tidur nyenyak, karena Turpie tidak lagi menyalak keras di malam hari.
Dongeng dari Nusa Tenggara Timur
ASAL MULA BURUNG MERPATI
Oleh Endang Firdaus
Dulu, penduduk bumi dapat naik ke langit dan penduduk langit dapat turun ke bumi. Ketika itu letak bumi dan langit sangat dekat. Dengan sebuah tangga kayu, ramai orang turun naik. Di langit, tak jauh dari tangga itu, tinggal seorang nenek dengan dua cucunya. Suatu hari, nenek itu menyuruh kedua cucunya turun ke bumi mengambil api. Anak-anak itu melakukan. Mereka tiba di sebuah pondok. Diambilnya bara menyala dari tungku.
“Bagaimana membawanya?” cetus si Adik.
Si Kakak mengambil bara itu. Lalu cepat dilepaskannya. “Oh, api ini Bergigi. Aku digigitnya!” serunya.
“Bergigi?” tukas si Adik. “Kalau begitu akan kucari tali. Kita ikat api itu, lalu kita seret.” Ia cepat mencari tali. Kemudian diikatnya bara itu. “Mari, Kak,” katanya. “Kita seret api ini.”
Tiba-tiba tali putus. Api memakannya.
“Bagaimana ini?” keluh si Adik.
“Masukkan saja ke dalam kantung bajuku,” usul si Kakak.
Mereka mengambil bara itu. Dimasukkan ke dalam kantung baju si Kakak. Sekejap kantung itu bolong.
Bara itu jatuh.
Kakak beradik itu bingung.
“Memang di mana letak gigi api ini?” ucap si Adik.
“Aku tidak tahu,” timpal si Kakak. “Kalau tahu, akan kupukul giginya sampai tanggal.”
Mereka membolak-balik bara itu mencari giginya. Gigi api itu tak terlihat. Putus asa keduanya duduk termenung. Kata si Kakak kemudian, “Mari kita masukkan bara itu ke dalam selimutku. Kita bungkus rapat-rapat sehingga tidak dapat menggigit.” Ia lalu mengambil bara itu. Dibungkusnya dengan selimutnya. Ia lalu mengajak si Adik pulang ke langit.
Keduanya berjalan ke arah tangga. Api perlahan membakar selimut. “Oh, api ini mengigigit lagi!” seru si Kakak kaget. Ia dan si Adik cepat berlari ke tangga. Api membesar. Si Kakak melempar selimutnya yang terbakar. Seketika api merambat ke rerumputan dan daun-daun kering di bawah tangga. Maka kemudian habislah tangga terbakar.
Melihat itu, kedua kakak beradik itu ketakutan. Mereka bersembunyi di dalam hutan. Si Nenek yang mendengar tangga habis terbakar segera tahu kalau itu perbuatan cucu-cucunya. Penuh marah ia pergi ke dekat bekas tangga. Dipanggilnya kedua cucunya, namun tak seorang pun menjawab. Nenek itu kian marah. Dikutuknya cucu-cucunya.
Aneh.
Langit perlahan naik. Makin tinggi, makin tinggi. Jarak langit dengan bumi akhirnya menjadi jauh sekali. Kedua cucu nenek itu yang sudah terkena kutuk si Nenek berubah menjadi dua merpati. Mereka mencoba kembali ke langit. Tetapi langit sudah sangat tinggi. Mereka tak mampu mencapainya. Mereka kembali ke bumi, hidup di bumi dan berkembang biak sampai sekarang.
Oleh Endang Firdaus
Dulu, penduduk bumi dapat naik ke langit dan penduduk langit dapat turun ke bumi. Ketika itu letak bumi dan langit sangat dekat. Dengan sebuah tangga kayu, ramai orang turun naik. Di langit, tak jauh dari tangga itu, tinggal seorang nenek dengan dua cucunya. Suatu hari, nenek itu menyuruh kedua cucunya turun ke bumi mengambil api. Anak-anak itu melakukan. Mereka tiba di sebuah pondok. Diambilnya bara menyala dari tungku.
“Bagaimana membawanya?” cetus si Adik.
Si Kakak mengambil bara itu. Lalu cepat dilepaskannya. “Oh, api ini Bergigi. Aku digigitnya!” serunya.
“Bergigi?” tukas si Adik. “Kalau begitu akan kucari tali. Kita ikat api itu, lalu kita seret.” Ia cepat mencari tali. Kemudian diikatnya bara itu. “Mari, Kak,” katanya. “Kita seret api ini.”
Tiba-tiba tali putus. Api memakannya.
“Bagaimana ini?” keluh si Adik.
“Masukkan saja ke dalam kantung bajuku,” usul si Kakak.
Mereka mengambil bara itu. Dimasukkan ke dalam kantung baju si Kakak. Sekejap kantung itu bolong.
Bara itu jatuh.
Kakak beradik itu bingung.
“Memang di mana letak gigi api ini?” ucap si Adik.
“Aku tidak tahu,” timpal si Kakak. “Kalau tahu, akan kupukul giginya sampai tanggal.”
Mereka membolak-balik bara itu mencari giginya. Gigi api itu tak terlihat. Putus asa keduanya duduk termenung. Kata si Kakak kemudian, “Mari kita masukkan bara itu ke dalam selimutku. Kita bungkus rapat-rapat sehingga tidak dapat menggigit.” Ia lalu mengambil bara itu. Dibungkusnya dengan selimutnya. Ia lalu mengajak si Adik pulang ke langit.
Keduanya berjalan ke arah tangga. Api perlahan membakar selimut. “Oh, api ini mengigigit lagi!” seru si Kakak kaget. Ia dan si Adik cepat berlari ke tangga. Api membesar. Si Kakak melempar selimutnya yang terbakar. Seketika api merambat ke rerumputan dan daun-daun kering di bawah tangga. Maka kemudian habislah tangga terbakar.
Melihat itu, kedua kakak beradik itu ketakutan. Mereka bersembunyi di dalam hutan. Si Nenek yang mendengar tangga habis terbakar segera tahu kalau itu perbuatan cucu-cucunya. Penuh marah ia pergi ke dekat bekas tangga. Dipanggilnya kedua cucunya, namun tak seorang pun menjawab. Nenek itu kian marah. Dikutuknya cucu-cucunya.
Aneh.
Langit perlahan naik. Makin tinggi, makin tinggi. Jarak langit dengan bumi akhirnya menjadi jauh sekali. Kedua cucu nenek itu yang sudah terkena kutuk si Nenek berubah menjadi dua merpati. Mereka mencoba kembali ke langit. Tetapi langit sudah sangat tinggi. Mereka tak mampu mencapainya. Mereka kembali ke bumi, hidup di bumi dan berkembang biak sampai sekarang.
Thursday, November 13, 2014
Precious Mineral Bb Cream
Precious Mineral Bb Cream: Precious Mineral BB Cream Bright Fit by Etude House, gives silky complexion with pearl infused and sheer coverage. Contains adenosine and arbutin for anti-wrinkle and whitening efficacies. Also features SPF30 / PA++ UV protection & anti-darkening.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LFg5u
RUMAH BACA KAMPUNG GINTUNG
Oleh Endang Firdaus
Sudah lima tahun saya mengelola blog ini. Blog yang saya beri nama ‘RUMAH BACA KAMPUNG GINTUNG’ ini dibuat untuk mengawali berdirinya rumah baca yang akan ada di kampung saya, Kampung Gintung Desa Banjarsari Kecamatan Anyer Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Blog terus berjalan sampai sekarang. Dari tampilan awal yang sangat sederhana kini sudah mulai enak dipandang mata. Dari tidak ada iklan sama sekali, kini sudah dibanjiri iklan. Hingga kini pengunjung yang menikmati blog sudah mencapai 40.000 lebih. Pengunjung-pengunjung itu tak hanya datang dari dalam luar negeri, tapi juga datang dari negeri-negeri lain seperti Malaysia, Timur Tengah, Cina, Amerika Serikat, Kanada, dan lainnya.
Namun, perjalanan blog yang lumayan bagus tak diimbangi dengan perjalanan rumah baca. Keberadaan rumah baca jalan di tempat. Artinya, dari awal dibuka tak mempunyai gedung hingga kini pun tak mempunyai gedung. Meski begitu, sumbangan buku-buku bacaan terus mengalir dari para donatur. Hingga kini lebih kurang seribu buku lebih dimiliki rumah baca. Keberadaan rumah baca masih di rumah saya, dari mulai dibuka sampai sekarang.
Sebagai pengelola, saya sudah pontang-panting mencari dana untuk bisa mewujudkan berdirinya gedung buat rumah baca. Saya sudah menyiapkan tempat di tanah kosong di samping rumah. Saya sudah memposting kegiatan penggalangan dana untuk hal ini di media-media social, tetapi belum seorang pun terketuk hatinya untuk mau membantu. Beberapa bulan lalu ada seorang teman dari Jakarta mau membantu, bahkan teman saya itu sempat datang ke tempat tinggal saya untuk melakukan survey lokasi. Saya senang sekali. Apalagi anak-anak di kampung saya ketika tahu akan ada yang membuatkan gedung buat rumah baca mereka. Sayang, hingga kini belum ada kabar kelanjutan dari teman saya itu. Saya dan anak-anak di sini masih harus bersabar untuk bisa memiliki gedung buat rumah baca kami. Kami akan terus berusaha dan tak henti berdoa.
Dengan postingan ini, berharap akan ada yang tergerak hatinya untuk mau membantu saya merealisasikan mimpi anak-anak di sini mempunyai gedung buat rumah baca mereka, tempat mereka menambah pengetahuan untuk mencapai hidup yang cerah di masa depan.
Oleh Endang Firdaus
Sudah lima tahun saya mengelola blog ini. Blog yang saya beri nama ‘RUMAH BACA KAMPUNG GINTUNG’ ini dibuat untuk mengawali berdirinya rumah baca yang akan ada di kampung saya, Kampung Gintung Desa Banjarsari Kecamatan Anyer Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Blog terus berjalan sampai sekarang. Dari tampilan awal yang sangat sederhana kini sudah mulai enak dipandang mata. Dari tidak ada iklan sama sekali, kini sudah dibanjiri iklan. Hingga kini pengunjung yang menikmati blog sudah mencapai 40.000 lebih. Pengunjung-pengunjung itu tak hanya datang dari dalam luar negeri, tapi juga datang dari negeri-negeri lain seperti Malaysia, Timur Tengah, Cina, Amerika Serikat, Kanada, dan lainnya.
Namun, perjalanan blog yang lumayan bagus tak diimbangi dengan perjalanan rumah baca. Keberadaan rumah baca jalan di tempat. Artinya, dari awal dibuka tak mempunyai gedung hingga kini pun tak mempunyai gedung. Meski begitu, sumbangan buku-buku bacaan terus mengalir dari para donatur. Hingga kini lebih kurang seribu buku lebih dimiliki rumah baca. Keberadaan rumah baca masih di rumah saya, dari mulai dibuka sampai sekarang.
Sebagai pengelola, saya sudah pontang-panting mencari dana untuk bisa mewujudkan berdirinya gedung buat rumah baca. Saya sudah menyiapkan tempat di tanah kosong di samping rumah. Saya sudah memposting kegiatan penggalangan dana untuk hal ini di media-media social, tetapi belum seorang pun terketuk hatinya untuk mau membantu. Beberapa bulan lalu ada seorang teman dari Jakarta mau membantu, bahkan teman saya itu sempat datang ke tempat tinggal saya untuk melakukan survey lokasi. Saya senang sekali. Apalagi anak-anak di kampung saya ketika tahu akan ada yang membuatkan gedung buat rumah baca mereka. Sayang, hingga kini belum ada kabar kelanjutan dari teman saya itu. Saya dan anak-anak di sini masih harus bersabar untuk bisa memiliki gedung buat rumah baca kami. Kami akan terus berusaha dan tak henti berdoa.
Dengan postingan ini, berharap akan ada yang tergerak hatinya untuk mau membantu saya merealisasikan mimpi anak-anak di sini mempunyai gedung buat rumah baca mereka, tempat mereka menambah pengetahuan untuk mencapai hidup yang cerah di masa depan.
Friday, November 7, 2014
Dongeng dari Yunani
RAKSASA DI GUA SEPI
Oleh Endang Firdaus
Sudah seminggu Odisus dan orang-orangnya terapung di lautan. Mereka adalah orang-orang Yunani. Odisus seorang pangeran. Ia dan orang-orangnya itu sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan perjalanan dagang di kota Troya. Persediaan air sudah habis. Begitu pula makanan. Kalau tak segera menemukan daratan, mereka semua akan mati.
“Lihat! Itu daratan!” seru salah seorang anak buah Odisus.
“Ya, ya, benar! Horeee! Kita akan makan dan minum sepuasnya!!” seru yang lain penuh suka cita.
“Tak ada rumah di sini,” cetus orang-orang itu ketika menginjakkan kaki di pulau itu.
“Ya,” ucap Odisus. “Tapi lihat, di sana ada gua yang besar. Semoga ada penghuninya. Semoga pula orang itu mau menjual makanan pada kita, atau mau menukarnya dengan anggur yang kita bawa.”
Memang gua itu tampaknya ada penghuninya. Sebab ada pagar yang sangat kokoh di jalan masuknya.
Orang-orang itu cepat menuju gua itu.
“Permisi!” Odisus memberi salam.
Tak ada jawaban.
“Permisi!”
Tetap tak ada jawaban.
“Permisi!”
Masih juga tak ada jawaban.
“Tak ada orangnya barangkali. Yuk, masuk saja,” ucap Odisus pada orang-orangnya.
Orang-orang itu pun memasuki gua. Di dalam gua itu agak gelap, namun amat bersih dan rapi.
“Tak ada orangnya,” cetus salah seorang.
“Ya,” timpal Odisus, “tapi gua ini ada penghuninya. Lihat bahan makanan di pojok sana. Ada ember berisi keju dan susu. Dan itu sepertinya kandang ternak. Mari kita tunggu penghuni gua ini.”
Orang-orang itu menunggu dengan tidak sabar, sebab perut mereka sudah amat lapar. Meski begitu, Odisus tak mengizinkan anak buahnya mengambil makanan yang ada di dalam gua itu tanpa seizin pemiliknya. Namun mereka bisa minum sepuasnya dari sumur yang ada di dekat gua itu.
“Wah, lama sekali penghuni gua ini datangnya,” kata salah seorang.
“Mungkin ia sudah mati dimakan binatang buas,” ucap yang lain.
“Hei, sepertinya ada gempa bumi!”
Orang-orang itu mendengarkan.
“Lho, seperti suara sapi?”
“Tapi langkah-langkah itu? Seperti gempa bumi!”
“Mungkin langkah raksasa!”
Tiba-tiba, satu raksasa telah berdiri di pintu gua. Raksasa itu bermata satu. Mata itu terletak di tengah-tengah dahinya.
“Hiii! Seram!” ucap orang-orang itu penuh takut.
“Hmh! Siapa kalian?” tanya raksasa itu. Suaranya sangat keras. “Berani sekali kalian memasuki guaku?”
“Kami orang-orang Yunani. Kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami kehabisan persediaan makanan dan minuman. Kami bermaksud menukar anggur yang kami bawa dengan makanan untuk bekal kami di jalan,” jawab Odisus dengan tubuh gemetar.
“Hohoho! Aku tidak perlu anggur! Aku akan menyantap kalian satu per satu besok!”
Raksasa itu menghalau sapi-sapinya masuk ke dalam gua. Ia lalu duduk di pintu gua, agar orang-orang itu tak bisa keluar.
Odisus segera mencari cara untuk bisa lepas dari raksasa itu. Tak jauh dari tempatnya berada dilihatnya ada sebuah tombak runcing. Odisus tersenyum. Ia lalu menghampiri si Raksasa. “Kami membawa anggur yang lezat. Apakah Tuan mau mencicipinya?” ucapnya, menyodorkan segentong anggur yang memang sengaja dibawa dari kapal untuk penukar bahan makanan. Penuh suka raksasa itu menerima tawaran itu. Lalu diminumnya segayung anggur. Lalu, lagi, lagi. Anggur itu akhirnya habis. Si Raksasa mabuk lalu tidur.
Melihat itu, Odisus cepat memerintahkan orang-orangnya agar mengikat diri mereka di perut sapi-sapi milik raksasa itu. Setelah itu didekatinya si Raksasa. Dihunjamkannya tombak ke matanya.
Raksasa itu menggerung kesakitan. Menggeram marah ia berdiri untuk membalas pada orang yang telah menyakiti dirinya. Namun, karena sudah buta, ia berjalan dengan meraba-raba. Ia tidak bisa menemukan orang-orang itu, sebab mereka sudah mengikat diri di perut sapi-sapi itu. Penuh kesal dipukulnya sapi-sapinya. Sapi-sapi itu kesakitan. Mereka berlarian keluar gua.
Merasa telah berada jauh dari gua si Raksasa, Odisus dan orang-orangnnya melepaskan diri dari sapi-sapi itu. Dengan membawa sapi-sapi itu mereka lalu kembali ke kapal. Sapi-sapi itu akan mereka manfaatkan untuk makanan mereka selama di perjalanan.
Oleh Endang Firdaus
Sudah seminggu Odisus dan orang-orangnya terapung di lautan. Mereka adalah orang-orang Yunani. Odisus seorang pangeran. Ia dan orang-orangnya itu sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan perjalanan dagang di kota Troya. Persediaan air sudah habis. Begitu pula makanan. Kalau tak segera menemukan daratan, mereka semua akan mati.
“Lihat! Itu daratan!” seru salah seorang anak buah Odisus.
“Ya, ya, benar! Horeee! Kita akan makan dan minum sepuasnya!!” seru yang lain penuh suka cita.
“Tak ada rumah di sini,” cetus orang-orang itu ketika menginjakkan kaki di pulau itu.
“Ya,” ucap Odisus. “Tapi lihat, di sana ada gua yang besar. Semoga ada penghuninya. Semoga pula orang itu mau menjual makanan pada kita, atau mau menukarnya dengan anggur yang kita bawa.”
Memang gua itu tampaknya ada penghuninya. Sebab ada pagar yang sangat kokoh di jalan masuknya.
Orang-orang itu cepat menuju gua itu.
“Permisi!” Odisus memberi salam.
Tak ada jawaban.
“Permisi!”
Tetap tak ada jawaban.
“Permisi!”
Masih juga tak ada jawaban.
“Tak ada orangnya barangkali. Yuk, masuk saja,” ucap Odisus pada orang-orangnya.
Orang-orang itu pun memasuki gua. Di dalam gua itu agak gelap, namun amat bersih dan rapi.
“Tak ada orangnya,” cetus salah seorang.
“Ya,” timpal Odisus, “tapi gua ini ada penghuninya. Lihat bahan makanan di pojok sana. Ada ember berisi keju dan susu. Dan itu sepertinya kandang ternak. Mari kita tunggu penghuni gua ini.”
Orang-orang itu menunggu dengan tidak sabar, sebab perut mereka sudah amat lapar. Meski begitu, Odisus tak mengizinkan anak buahnya mengambil makanan yang ada di dalam gua itu tanpa seizin pemiliknya. Namun mereka bisa minum sepuasnya dari sumur yang ada di dekat gua itu.
“Wah, lama sekali penghuni gua ini datangnya,” kata salah seorang.
“Mungkin ia sudah mati dimakan binatang buas,” ucap yang lain.
“Hei, sepertinya ada gempa bumi!”
Orang-orang itu mendengarkan.
“Lho, seperti suara sapi?”
“Tapi langkah-langkah itu? Seperti gempa bumi!”
“Mungkin langkah raksasa!”
Tiba-tiba, satu raksasa telah berdiri di pintu gua. Raksasa itu bermata satu. Mata itu terletak di tengah-tengah dahinya.
“Hiii! Seram!” ucap orang-orang itu penuh takut.
“Hmh! Siapa kalian?” tanya raksasa itu. Suaranya sangat keras. “Berani sekali kalian memasuki guaku?”
“Kami orang-orang Yunani. Kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami kehabisan persediaan makanan dan minuman. Kami bermaksud menukar anggur yang kami bawa dengan makanan untuk bekal kami di jalan,” jawab Odisus dengan tubuh gemetar.
“Hohoho! Aku tidak perlu anggur! Aku akan menyantap kalian satu per satu besok!”
Raksasa itu menghalau sapi-sapinya masuk ke dalam gua. Ia lalu duduk di pintu gua, agar orang-orang itu tak bisa keluar.
Odisus segera mencari cara untuk bisa lepas dari raksasa itu. Tak jauh dari tempatnya berada dilihatnya ada sebuah tombak runcing. Odisus tersenyum. Ia lalu menghampiri si Raksasa. “Kami membawa anggur yang lezat. Apakah Tuan mau mencicipinya?” ucapnya, menyodorkan segentong anggur yang memang sengaja dibawa dari kapal untuk penukar bahan makanan. Penuh suka raksasa itu menerima tawaran itu. Lalu diminumnya segayung anggur. Lalu, lagi, lagi. Anggur itu akhirnya habis. Si Raksasa mabuk lalu tidur.
Melihat itu, Odisus cepat memerintahkan orang-orangnya agar mengikat diri mereka di perut sapi-sapi milik raksasa itu. Setelah itu didekatinya si Raksasa. Dihunjamkannya tombak ke matanya.
Raksasa itu menggerung kesakitan. Menggeram marah ia berdiri untuk membalas pada orang yang telah menyakiti dirinya. Namun, karena sudah buta, ia berjalan dengan meraba-raba. Ia tidak bisa menemukan orang-orang itu, sebab mereka sudah mengikat diri di perut sapi-sapi itu. Penuh kesal dipukulnya sapi-sapinya. Sapi-sapi itu kesakitan. Mereka berlarian keluar gua.
Merasa telah berada jauh dari gua si Raksasa, Odisus dan orang-orangnnya melepaskan diri dari sapi-sapi itu. Dengan membawa sapi-sapi itu mereka lalu kembali ke kapal. Sapi-sapi itu akan mereka manfaatkan untuk makanan mereka selama di perjalanan.
Dongeng dari Jawa Barat
BANTENG PUTIH RAKSASA
Oleh Endang Firdaus
Yang bisa menangkap banteng putih raksasa hidup atau mati, jika laki-laki akan dijadikan pewaris kerajaan, jika perempuan akan dijadikan istri kedua. Begitu pengumuman yang dibuat Raja Munding Kaling Puspa. Pengumuman itu ditempel di tempat-tempat strategis di Kerajaan Kutawaringin, bahkan sampai di kerajaan-kerajaan lain.
Kerajaan Kutawaringin subur, makmur, aman, dan memiliki raja yang dan gagah perkasa. Raja Munding Kaling Puspa memiliki permaisuri yang sangat jelita. Ratu Nimbang Waringin namanya yang mendapat julurkan Kembang Kutawaringin. Namun, ia memiliki sifat buruk, suka menghina dan amat pencemburu. Ia juga suka ikut campur urusan kenegaraan. Akibat itu perbawa Kerajaan Kutawaringin kian surut. Perampokan dan kejahatan terjadi di mana-mana. Para dewa memberi tahu, jika ingin pulih harus bisa menangkap banteng putih raksasa.
Ratu Sumur Bandung, Ratu Kerajaan Bintung Wulung, memutuskan untuk ikut menangkap banteng putih raksasa. Ia lalu memanggil dua adik laki-lakinya, Jayamanggala dan Ranggawayang. Ucapnya, “Adik-adikku, aku ingin membantu Kutawaringin.”
“Tapi Ratu Nimbang Waringin memberi tambahan pengumuman itu bahwa perempuan tak boleh ikut,” tukas Ranggawayang.
“Sekarang kita menangkap banteng putih itu dulu. Setelah itu baru kita pikirkan bagaimana aku menyamar,” ujar Ratu Sumur Bandung.
Ratu Sumur Bandung, Jayamanggala, dan Ranggawayang pergi ke hutan. Hutan itu amat seram, penuh pohon-pohon besar. Mereka mencari banteng putih raksasa dan berhasil menemukan.
Tak mudah menangkap binatang itu. Terjadi perkelahian hebat dan lama. Akhirnya mereka dapat menaklukkan banteng putih raksasa itu. Menyamar sebagai laki-laki, Ratu Sumur Bandung pergi ke Kutawaringin. Raja Munding Kaling Puspa gembira melihat itu. Diamatinya banteng itu. Namun, Ratu Nimbang Waringin malah mengamati penangkap banteng itu.
Sebagai perempuan, Ratu Nimbang Waringin tak mudah dikecoh dengan penampilan seseorang. Lalu, dengan gerakan sangat cepat, ia menarik kumis penangkap banteng itu. Raja terkejut mengetahui penangkap banteng itu seorang perempuan yang sangat jelita.
Ratu Nimbang Waringin menyerang Ratu Sumur Bandung. Mereka bertempur hebat. Pembantu Raja Kutawaringin lalu ikut bertempur membantu Ratu Nimbang Waringin. Melihat itu Jayamanggala dan Ranggawayang tak tinggal diam. Akhirnya hampir semua orang di Kutawaringin ikut pertempuran itu. Ratu Sumur Bandung kemudian melesat terbang ke angkasa, untuk menemui para dewa di Kayangan. Ratu Nimbang Waringin menyusul. Tiba di Kayangan, mereka bertemu Dewa Ambu. Berkata Dewa Ambu, “Cucu-cucuku, kenapa kalian berkelahi? Kalian telah salah paham. Sumur Bandung bermaksud membantu Kutawaringin. Ia menyamar untuk menghindari timbulnya perasaan cemburu Nimbang Waringin. Nimbang Waringin hilangkan sifat dengki dan cemburumu. Kalian itu saudara sepupu.”
Ratu Nimbang Waringin dan Ratu Sumur Bandung cepat kembali ke bumi. Mereka melerai pertempuran. Akhirnya, Kutawaringin dan Bintung Wulung hidup rukun, makmur, dan sejahtera.
Oleh Endang Firdaus
Yang bisa menangkap banteng putih raksasa hidup atau mati, jika laki-laki akan dijadikan pewaris kerajaan, jika perempuan akan dijadikan istri kedua. Begitu pengumuman yang dibuat Raja Munding Kaling Puspa. Pengumuman itu ditempel di tempat-tempat strategis di Kerajaan Kutawaringin, bahkan sampai di kerajaan-kerajaan lain.
Kerajaan Kutawaringin subur, makmur, aman, dan memiliki raja yang dan gagah perkasa. Raja Munding Kaling Puspa memiliki permaisuri yang sangat jelita. Ratu Nimbang Waringin namanya yang mendapat julurkan Kembang Kutawaringin. Namun, ia memiliki sifat buruk, suka menghina dan amat pencemburu. Ia juga suka ikut campur urusan kenegaraan. Akibat itu perbawa Kerajaan Kutawaringin kian surut. Perampokan dan kejahatan terjadi di mana-mana. Para dewa memberi tahu, jika ingin pulih harus bisa menangkap banteng putih raksasa.
Ratu Sumur Bandung, Ratu Kerajaan Bintung Wulung, memutuskan untuk ikut menangkap banteng putih raksasa. Ia lalu memanggil dua adik laki-lakinya, Jayamanggala dan Ranggawayang. Ucapnya, “Adik-adikku, aku ingin membantu Kutawaringin.”
“Tapi Ratu Nimbang Waringin memberi tambahan pengumuman itu bahwa perempuan tak boleh ikut,” tukas Ranggawayang.
“Sekarang kita menangkap banteng putih itu dulu. Setelah itu baru kita pikirkan bagaimana aku menyamar,” ujar Ratu Sumur Bandung.
Ratu Sumur Bandung, Jayamanggala, dan Ranggawayang pergi ke hutan. Hutan itu amat seram, penuh pohon-pohon besar. Mereka mencari banteng putih raksasa dan berhasil menemukan.
Tak mudah menangkap binatang itu. Terjadi perkelahian hebat dan lama. Akhirnya mereka dapat menaklukkan banteng putih raksasa itu. Menyamar sebagai laki-laki, Ratu Sumur Bandung pergi ke Kutawaringin. Raja Munding Kaling Puspa gembira melihat itu. Diamatinya banteng itu. Namun, Ratu Nimbang Waringin malah mengamati penangkap banteng itu.
Sebagai perempuan, Ratu Nimbang Waringin tak mudah dikecoh dengan penampilan seseorang. Lalu, dengan gerakan sangat cepat, ia menarik kumis penangkap banteng itu. Raja terkejut mengetahui penangkap banteng itu seorang perempuan yang sangat jelita.
Ratu Nimbang Waringin menyerang Ratu Sumur Bandung. Mereka bertempur hebat. Pembantu Raja Kutawaringin lalu ikut bertempur membantu Ratu Nimbang Waringin. Melihat itu Jayamanggala dan Ranggawayang tak tinggal diam. Akhirnya hampir semua orang di Kutawaringin ikut pertempuran itu. Ratu Sumur Bandung kemudian melesat terbang ke angkasa, untuk menemui para dewa di Kayangan. Ratu Nimbang Waringin menyusul. Tiba di Kayangan, mereka bertemu Dewa Ambu. Berkata Dewa Ambu, “Cucu-cucuku, kenapa kalian berkelahi? Kalian telah salah paham. Sumur Bandung bermaksud membantu Kutawaringin. Ia menyamar untuk menghindari timbulnya perasaan cemburu Nimbang Waringin. Nimbang Waringin hilangkan sifat dengki dan cemburumu. Kalian itu saudara sepupu.”
Ratu Nimbang Waringin dan Ratu Sumur Bandung cepat kembali ke bumi. Mereka melerai pertempuran. Akhirnya, Kutawaringin dan Bintung Wulung hidup rukun, makmur, dan sejahtera.
Subscribe to:
Posts (Atom)