PUTRI SIANG GANTUNG
Oleh Endang Firdaus
Pangeran Umbul Untun dari Kerajaan Jarang Kuantan memiliki seekor ayam jago yang sangat hebat. Belum ada ayam lain yang dapat mengalahkannya. Pangeran Umbul Untun amat menyayangi ayamnya itu. Bahkan sayangnya berlebihan, sampai-sampai melupakan perhatiannya pada sang Istri.
Karena tak tahan dengan kelakuan Pangeran Umbul Untun, sang Istri yang sedang mengandung meninggalkan istana. Bersamaan dengan itu ayam jago sang Pangeran tiba-tiba lenyap. Ayam itu dimangsa seekor ular besar.
Pangeran Umbul Untun amat murka. Ia mengeluarkan perintah untuk membunuh semua ular yang ada di Kerajaan Jarang Kuantan. Anehnya, tak lama setelah itu, kelaparan dan penyakit melanda di Kerajaan Jarang Kuantan.
Ular-ular terus dibunuhi. Panglima Perang berusaha mencegah tindakan pangeran Umbul Untun. Tetapi, Pangeran Umbul Untun tak suka. Penuh marah, diusirnya Panglima.
Panglima meninggalkan istana. Ia pergi ke dalam hutan untuk mencari ular yang telah memangsa ayam Pangeran Umbul Untun. Saat tengah duduk termenung di bawah sebuah pohon besar, tiba-tiba terdengar suara lembut, “Wahai, Panglima Perang, aku tahu kau sedang susah hati. Jangan ke mana-mana. Tetaplah di situ. Aku akan turun untuk berbicara denganmu.”
Panglima membalikkan tubuh ke arah suara itu. Ia sangat terkejut melihat seekor ular besar meluncur turun dari pohon. Menyadari bahaya akan menimpa dirinya, cepat Panglima mengeluarkan parang.
“Apa maumu, hei, Ular? Pergi sana! Jangan berani mengusikku! Atau kau ingin parangku ini mencincangmu!” ancam Panglima.
“Sabar, Panglima,” kata si Ular. “Bukankah kau sedang mencariku? Akulah yang telah memangsa ular Pangeran Umbul Untun.”
“Kebetulan sekali!” seru panglima. “Karena ulahmu, Pangeran Umbul Untun amat murka! Karena ulahmu, ular-ular tak berdosa binasa! Karena ulahmu, kini kelaparan dan penyakit melanda!”
“Panglima,” ucap si Ular, “aku memangsa ayam itu untuk memberi pelajaran pada Pangeran Umbul Untun. Karena ayam itu, ia lupa akan istrinya. Sedang kelaparan dan penyakit yang kini melanda akibat kebodohan sang Pangeran. Kalau saja ia sadar bahwa ular itu pemakan tikus, maka ia tak akan memerintahkan membunuhi ular. Karena ular-ular banyak yang mati, tikus-tikus hidup aman. Mereka berkembang biak. Tikus-tikus kian banyak saja. Mereka perlu makanan banyak. Sawah-sawah menjadi sasaran. Akibatnya rakyat gagal panen. Kelaparan pun terjadi. Banyak makhluk hidup yang mati. Bangkai-bangkai mereka mencemari lingkungan. Maka akhirnya penyakit pun merejalela di negeri ini.”
“Tapi kaulah penyebab pertama kejadian-kejadian itu, hei, Ular! Akan kupenggal kau!” tukas Panglima marah.
“Panglima, saat ini aku sedang mengandung. Biarkanlah aku hidup. Nanti, setelah anakku lahir, aku akan datang menemuimu untuk menyerahkan diri. Percayalah! Sekarang, tatap aku agar kau tak ragu dengan perkataanku,” kata si Ular.
Panglima menatap si Ular. Aneh, di hadapannya tiba-tiba yang terlihat bukan ular, tetapi Putri Siang Gantung.
“Tu, Tuan Putri,” ucap panglima terbata lalu membungkuk hormat.
“Ya,” sahut si Ular.
Tiba-tiba, Pangeran Umbul Untun yang sedang berburu ular datang di tempat itu. Melihat ada ular, cepat ia memerintahkan para pengawal mengepungnya. Si Ular memandang tajam Pangeran Umbul Untun.
Siuuut!
Pangeran Umbul Untun menebas kepala si Ular hingga putus. Ketika darah berhenti mengucur, asap mengepul menyelimuti tubuh si Ular. Asap itu lalu membentuk sosok Putri Siang Gantung.
“Adinda Siang Gantung!” seru sang Pangeran.
“Ya, Kanda,” ucap Putri Siang Gantung. “Maafkan aku yang telah menyatu ke dalam tubuh ular itu agar tak dikenali. Dengan matinya ular itu aku pun ikut mati. Sebelum pergi menghadap Yang Maha Kuasa, aku akan memberi tahu Kanda, bahwa di dalam perut ular itu ada anak kita. Bedah dan ambillah anak itu. Rawatlah dengan baik. Selamat tinggal!”
Asap menipis. Wujud Putri Siang Gantung perlahan sirna. Pangeran Umbul Untun menangis penuh sedih. Ia amat menyesali perbuatannya. Lalu ia membedah perut ular itu dan menemukan bayi yang tak lain anaknya. Penuh kasih dan sayang Pangeran Umbul Untun merawatnya.
No comments:
Post a Comment