BERSANDIWARA DEMI KEBAIKAN
Oleh Endang Firdaus
Seorang lelaki miskin bekerja membanting tulang, namun penghasilannya tetap kecil. Maklum ia tinggal di desa yang juga miskin. Maka terpikir olehnya untuk mengadu nasib di kota. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada keluarga, kerabat, dan para tetangga, lelaki itu meninggalkan rumahnya.
Perjalanan yang ditempuh lelaki itu amat panjang. Sampai di kota ia segera mencari pekerjaan. Pintu demi pintu rumah penduduk dimasukinya. Pekerjaan apa saja ia jalani, tak ia peduli betapa beratnya, dan itu dilakukan dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya. Karena kebutuhannya tak banyak, ia pun dapat menabung. Sisa belanja sehari-hari ia simpan dalam sebuah karung kecil. Setiap kali ia memasukkan uang ke dalam karung itu, ia berkata dalam hati, “Kalau tabunganku sudah cukup, aku akan menengok keluargaku di desa.”
Beberapa tahun kemudian lelaki itu sudah berhasil menyimpan uang seribu tanga. Bagi seorang macam ia, uang sejumlah itu sudah besar sekali. Maka ia mulai merasa khawatir akan keselamatan uang itu. “Bagaimana jika saat aku pergi uang itu dicuri orang?” pikirnya. “Tidak mungkin pula aku membawa-bawa uang itu ke mana-mana. Bisa-bisa dirampok orang di jalan. Kalau kukubur, siapa tahu ada orang yang memergokinya lalu diam-diam membongkarnya.” Meskipun lelaki itu sudah memeras otak tetapi ia tak mendapatkan jalan keluar. Akhirnya ia teringat pada Hakim. “Uangku pasti aman disimpan di rumah Tuan hakim,” pikir lelaki itu. “Bukankah ia orang paling bijaksana, paling jujur, dan paling bisa dipercaya? Nanti kalau aku hendak pulang, baru aku akan memintanya kembali.”
Maka lelaki itu pergi menemui Hakim. Disampaikannya maksudnya menitip uang di rumahnya. Hakim tidak keberatan. Diterimanya karung berisi uang seribu tanga, kemudian dimasukkannya ke dalam sebuah peti besar dan kokoh. “Di rumah ini uangmu akan aman,” ucap Hakim. “Kau boleh mengambilnya kapan saja. Kau tak usah berpikir akan memberiku persen berapa. Lupakan. Sudah menjadi kewajiban seorang hakim melindungi dan mengayomi orang-orang miskin sepertimu.”
Waktu berlalu. Suatu hari, si Lelaki Miskin berniat menengok keluarganya di desa. Ia mendatangi Hakim dan berkata, “Tuan Hakim, saya hendak mengambil uang saya. Besok saya akan pulang kampung.”
Hakim memandangi lelaki itu, lalu katanya, “Uang apa yang kau maksud?”
“Uang seribu tanga yang saya titipkan pada Tuan.”
“Kau pasti linglung,” tukas Hakim. “Kapan kau menitip uang padaku? Dan sungguh tak masuk di akal. Bagaimana mungkin lelaki miskin macam kau bisa memiliki uang sebanyak itu. Seribu tanga. Itu bukan jumlah yang kecil.”
Lelaki itu mencoba mengingatkan Hakim saat ia menyerahkan uang dalam karung serta apa yang mereka bicarakan. Hakim tak mau mendengar. Ia berteriak memanggil para pengawal, “Lelaki ini tukang peras! Ringkus ia! Lemparkan ke jalanan!” Para pengawal cepat meringkus lelaki itu, memukulinya, kemudian mencampakkannya ke jalanan.
Lelaki itu tergeletak di tanah. Air mata menetes membasahi pipinya. Ucapnya penuh sedih, “Oh, lenyap sudah semua jerih payahku. Uangku amblas. Tuan Hakim telah merampasnya.”
Seorang wanita yang kebetulan lewat mendengar ucapan lelaki itu. Ia menghampiri dan bertanya, “Apa yang telah terjadi, Pak?”
Wanita itu merasa kata-kata lelaki itu bisa dipercaya. Maka ia mempunyai rasa tanggung jawab untuk menolongnya. Ia berpikir keras, mencari akal bagaimana membantu lelaki itu memperoleh kembali miliknya. Akhirnya ia mendapatkan.
Wanita itu mengajak lelaki itu ke rumahnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak besar. Ucapnya pada anak lelakinya, “Ibu akan pergi ke rumah Tuan Hakim bersama lelaki ini. Kau mengikuti dari belakang. Jaga jarak agar jangan diketahui orang. Bila kami sampai di rumah Tuan hakim, kau sembunyi dan tunggu. Begitu kau melihat Tuan hakim merentang tangan untuk menerima kotak ini, larilah masuk dan berserulah, ‘Ayah sudah pulang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!’”
Anak lelaki itu mengangguk patuh. Wanita itu kemudian menaruh kotak besar di atas kepala. Bersama si Lelaki Miskin ia lalu melangkahkan kaki ke rumah Hakim. Anak lelakinya mengikuti di belakang dalam jarak agak jauh. Di depan rumah Hakim, wanita itu berkata pada si Lelaki Miskin, “Aku masuk lebih dulu, kau belakangan.”
Wanita itu melangkah memasuki rumah Hakim. Hakim memandangi kotak besar di atas kepalanya dan bertanya, “Apa maksud kedatangan Nyonya ke mari?”
Wanita itu menjawab, “Mungkin Tuan Hakim pernah mendengar nama suami saya. Suami saya bernama Rahim. Ia saudagar yang kaya raya. Saat ini ia sedang memimpin kafilah ke negeri yang jauh, dan saya tidak tahu kapan akan kembali. Sudah beberapa malam saya tidak bisa tidur. Banyak orang tak dikenal mengitari rumah kami setiap malam. Saya yakin, mereka para penjahat yang hendak merampok harta kekayaan kami. Kotak ini berisi seluruh uang kami, perhiasan emas, dan batu mulia. Sangat berat membawanya sampai ke mari. Tapi bagaimanapun, harta ini harus disimpan di tempat aman, sampai suami saya pulang.”
“Nyonya hendak menitip kotak itu di rumah saya?” tukas Hakim.
“Ya,” jawab wanita itu.
Hakim mencoba mengangkat kotak itu. Berat sekali. Hakim mengira-ira isinya paling tidak empat puluh atau lima puluh ribu tanga, belum termasuk perhiasan dan batu mulia. Dan rasa-rasanya ia pernah mendengar nama Rahim, suami wanita itu. Ia pun bersedia dititipkan kotak itu. Katanya, “Bila Nyonya kelak memintanya kembali, percayalah, tak akan ada satu tanga pun akan pindah ke tangan saya. Nyonya boleh mengambilnya utuh-utuh.”
Wanita itu terlihat ragu-ragu. Diambilnya kembali kotak dari tangan Hakim. Tanyanya, “Apakah ada jaminan bahwa perkataan Tuan bisa dipercaya?”
Ketika itulah tiba-tiba muncul di hadapan Hakim si Lelaki Miskin. Hakim merasa amat senang karena dengan begitu ia akan bisa membuktikan kejujurannya pada si Wanita. “Aku akan menyerahkan kembali uang seribu tanga titipan lelaki itu, sebagai gantinya aku akan memperoleh sekotak harta. Hehehe!” gumamnya. Seru Hakim pada si Lelaki Miskin, “Hei, bukankah engkau lelaki yang telah menitipkan uang seribu tanga padaku beberapa waktu lalu? Tadi pagi kau datang menagih, tapi aku lupa wajahmu. Jadi kupikir kau orang jahat dan kutolak. Maaf, atas perlakuanku tadi. Ini uang titipanmu. Satu tanga pun tidak ada yang kuambil.”
Seolah-olah sudah merasa yakin, wanita itu mengulurkan kotak ke tangan Hakim. Hakim mengulurkan tangan untuk menerima. Tangannya belum sempat menyentuh kotak itu saat tiba-tiba seorang anak lelaki berlari masuk, dan berteriak, “Ibu, cepatlah pulang! Ayah telah datang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!”
“Ayahmu sudah kembali?” seru wanita itu. Ia menarik kembali kotak. Ucapnya pada Hakim, “Maaf, Tuan Hakim, rasanya saya tak perlu lagi menitipkan kotak ini di rumah Tuan. Suami saya bisa menjaganya.” Ia lalu menaruh kotak di atas kepala kembali, kemudian bergegas meninggalkan rumah Hakim. Anak lelakinya dan si Lelaki Miskin mengikuti.
Hakim terlongong bengong. Oh, jika saja kotak harta itu sudah berada di tanganku sebelum Rahim datang, gumamnya berulang-ulang. Rasa kecewanya lalu berkepanjangan. Ia akhirnya tak bisa melakukan tugasnya. Kedudukannya sebagai hakim dicopot dengan tidak hormat.
No comments:
Post a Comment