Tuesday, December 30, 2014

Dongeng dari Tajikistan

BERSANDIWARA DEMI KEBAIKAN

Oleh Endang Firdaus

Seorang lelaki miskin bekerja membanting tulang, namun penghasilannya tetap kecil. Maklum ia tinggal di desa yang juga miskin. Maka terpikir olehnya untuk mengadu nasib di kota. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada keluarga, kerabat, dan para tetangga, lelaki itu meninggalkan rumahnya.
Perjalanan yang ditempuh lelaki itu amat panjang. Sampai di kota ia segera mencari pekerjaan. Pintu demi pintu rumah penduduk dimasukinya. Pekerjaan apa saja ia jalani, tak ia peduli betapa beratnya, dan itu dilakukan dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya. Karena kebutuhannya tak banyak, ia pun dapat menabung. Sisa belanja sehari-hari ia simpan dalam sebuah karung kecil. Setiap kali ia memasukkan uang ke dalam karung itu, ia berkata dalam hati, “Kalau tabunganku sudah cukup, aku akan menengok keluargaku di desa.”
Beberapa tahun kemudian lelaki itu sudah berhasil menyimpan uang seribu tanga. Bagi seorang macam ia, uang sejumlah itu sudah besar sekali. Maka ia mulai merasa khawatir akan keselamatan uang itu. “Bagaimana jika saat aku pergi uang itu dicuri orang?” pikirnya. “Tidak mungkin pula aku membawa-bawa uang itu ke mana-mana. Bisa-bisa dirampok orang di jalan. Kalau kukubur, siapa tahu ada orang yang memergokinya lalu diam-diam membongkarnya.” Meskipun lelaki itu sudah memeras otak tetapi ia tak mendapatkan jalan keluar. Akhirnya ia teringat pada Hakim. “Uangku pasti aman disimpan di rumah Tuan hakim,” pikir lelaki itu. “Bukankah ia orang paling bijaksana, paling jujur, dan paling bisa dipercaya? Nanti kalau aku hendak pulang, baru aku akan memintanya kembali.”
Maka lelaki itu pergi menemui Hakim. Disampaikannya maksudnya menitip uang di rumahnya. Hakim tidak keberatan. Diterimanya karung berisi uang seribu tanga, kemudian dimasukkannya ke dalam sebuah peti besar dan kokoh. “Di rumah ini uangmu akan aman,” ucap Hakim. “Kau boleh mengambilnya kapan saja. Kau tak usah berpikir akan memberiku persen berapa. Lupakan. Sudah menjadi kewajiban seorang hakim melindungi dan mengayomi orang-orang miskin sepertimu.”
Waktu berlalu. Suatu hari, si Lelaki Miskin berniat menengok keluarganya di desa. Ia mendatangi Hakim dan berkata, “Tuan Hakim, saya hendak mengambil uang saya. Besok saya akan pulang kampung.”
Hakim memandangi lelaki itu, lalu katanya, “Uang apa yang kau maksud?”
“Uang seribu tanga yang saya titipkan pada Tuan.”
“Kau pasti linglung,” tukas Hakim. “Kapan kau menitip uang padaku? Dan sungguh tak masuk di akal. Bagaimana mungkin lelaki miskin macam kau bisa memiliki uang sebanyak itu. Seribu tanga. Itu bukan jumlah yang kecil.”
Lelaki itu mencoba mengingatkan Hakim saat ia menyerahkan uang dalam karung serta apa yang mereka bicarakan. Hakim tak mau mendengar. Ia berteriak memanggil para pengawal, “Lelaki ini tukang peras! Ringkus ia! Lemparkan ke jalanan!” Para pengawal cepat meringkus lelaki itu, memukulinya, kemudian mencampakkannya ke jalanan.
Lelaki itu tergeletak di tanah. Air mata menetes membasahi pipinya. Ucapnya penuh sedih, “Oh, lenyap sudah semua jerih payahku. Uangku amblas. Tuan Hakim telah merampasnya.”
Seorang wanita yang kebetulan lewat mendengar ucapan lelaki itu. Ia menghampiri dan bertanya, “Apa yang telah terjadi, Pak?”
Wanita itu merasa kata-kata lelaki itu bisa dipercaya. Maka ia mempunyai rasa tanggung jawab untuk menolongnya. Ia berpikir keras, mencari akal bagaimana membantu lelaki itu memperoleh kembali miliknya. Akhirnya ia mendapatkan.
Wanita itu mengajak lelaki itu ke rumahnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak besar. Ucapnya pada anak lelakinya, “Ibu akan pergi ke rumah Tuan Hakim bersama lelaki ini. Kau mengikuti dari belakang. Jaga jarak agar jangan diketahui orang. Bila kami sampai di rumah Tuan hakim, kau sembunyi dan tunggu. Begitu kau melihat Tuan hakim merentang tangan untuk menerima kotak ini, larilah masuk dan berserulah, ‘Ayah sudah pulang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!’”
Anak lelaki itu mengangguk patuh. Wanita itu kemudian menaruh kotak besar di atas kepala. Bersama si Lelaki Miskin ia lalu melangkahkan kaki ke rumah Hakim. Anak lelakinya mengikuti di belakang dalam jarak agak jauh. Di depan rumah Hakim, wanita itu berkata pada si Lelaki Miskin, “Aku masuk lebih dulu, kau belakangan.”
Wanita itu melangkah memasuki rumah Hakim. Hakim memandangi kotak besar di atas kepalanya dan bertanya, “Apa maksud kedatangan Nyonya ke mari?”
Wanita itu menjawab, “Mungkin Tuan Hakim pernah mendengar nama suami saya. Suami saya bernama Rahim. Ia saudagar yang kaya raya. Saat ini ia sedang memimpin kafilah ke negeri yang jauh, dan saya tidak tahu kapan akan kembali. Sudah beberapa malam saya tidak bisa tidur. Banyak orang tak dikenal mengitari rumah kami setiap malam. Saya yakin, mereka para penjahat yang hendak merampok harta kekayaan kami. Kotak ini berisi seluruh uang kami, perhiasan emas, dan batu mulia. Sangat berat membawanya sampai ke mari. Tapi bagaimanapun, harta ini harus disimpan di tempat aman, sampai suami saya pulang.”
“Nyonya hendak menitip kotak itu di rumah saya?” tukas Hakim.
“Ya,” jawab wanita itu.
Hakim mencoba mengangkat kotak itu. Berat sekali. Hakim mengira-ira isinya paling tidak empat puluh atau lima puluh ribu tanga, belum termasuk perhiasan dan batu mulia. Dan rasa-rasanya ia pernah mendengar nama Rahim, suami wanita itu. Ia pun bersedia dititipkan kotak itu. Katanya, “Bila Nyonya kelak memintanya kembali, percayalah, tak akan ada satu tanga pun akan pindah ke tangan saya. Nyonya boleh mengambilnya utuh-utuh.”
Wanita itu terlihat ragu-ragu. Diambilnya kembali kotak dari tangan Hakim. Tanyanya, “Apakah ada jaminan bahwa perkataan Tuan bisa dipercaya?”
Ketika itulah tiba-tiba muncul di hadapan Hakim si Lelaki Miskin. Hakim merasa amat senang karena dengan begitu ia akan bisa membuktikan kejujurannya pada si Wanita. “Aku akan menyerahkan kembali uang seribu tanga titipan lelaki itu, sebagai gantinya aku akan memperoleh sekotak harta. Hehehe!” gumamnya. Seru Hakim pada si Lelaki Miskin, “Hei, bukankah engkau lelaki yang telah menitipkan uang seribu tanga padaku beberapa waktu lalu? Tadi pagi kau datang menagih, tapi aku lupa wajahmu. Jadi kupikir kau orang jahat dan kutolak. Maaf, atas perlakuanku tadi. Ini uang titipanmu. Satu tanga pun tidak ada yang kuambil.”
Seolah-olah sudah merasa yakin, wanita itu mengulurkan kotak ke tangan Hakim. Hakim mengulurkan tangan untuk menerima. Tangannya belum sempat menyentuh kotak itu saat tiba-tiba seorang anak lelaki berlari masuk, dan berteriak, “Ibu, cepatlah pulang! Ayah telah datang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!”
“Ayahmu sudah kembali?” seru wanita itu. Ia menarik kembali kotak. Ucapnya pada Hakim, “Maaf, Tuan Hakim, rasanya saya tak perlu lagi menitipkan kotak ini di rumah Tuan. Suami saya bisa menjaganya.” Ia lalu menaruh kotak di atas kepala kembali, kemudian bergegas meninggalkan rumah Hakim. Anak lelakinya dan si Lelaki Miskin mengikuti.
Hakim terlongong bengong. Oh, jika saja kotak harta itu sudah berada di tanganku sebelum Rahim datang, gumamnya berulang-ulang. Rasa kecewanya lalu berkepanjangan. Ia akhirnya tak bisa melakukan tugasnya. Kedudukannya sebagai hakim dicopot dengan tidak hormat.

Wednesday, December 24, 2014

Folktales from West Java

THE STORY OF DESA PANYALAHAN

By Endang Fiedaus

There was once a young couple. The husband was a farmer. He and his wife lived happily with their baby. The couple had some animals. One of them was a tiger. If the couple went to field, he looked after their baby.
One day, the husband said to the tiger, “We will go to the field. Look after our baby.”
The tiger nodded.
The couple then went to the field.
Afternoon came. The couple arrived home. The tiger welcomed them. He wagged his tail. He then rubbed his body to the couple’s legs. He looked too happy. The husband felt an odd thing had happened. “Why is this tiger seen strange? His behavior is not as usual,” he said in his heart.
The husband looked at the tiger. Instantly he was shock. He saw the tiger’s mouth was full of blood. He looked at it in wide eyes. His body was trembled. He then remembered his baby. “Why is your mouth full of blood?” he asked the tiger. “You must do the bad thing to my baby! You have killed him! Why do you do that! You are not an ungrateful creature!”
“You are wicked!” said the wife to the tiger.
The husband drew his chopping-knife. Full of angry he killed the tiger.
The couple went inside their house. Immediately they opened their mouths with perplexity. They then looked at each other. They found their baby was sleeping in his cradle.
Quickly the wife took the baby. She kissed him.
The baby was waked up. He opened his eyes and then smiled.
The couple then opened their eyes widely as they found a dead large snake under the cradle. The snake was full of blood.
“My wife,” the husband said, “we have done wrong act. The tiger is not guilty. Look at the dead snake. The tiger has killed him. He killed the snake, as he wanted to harm our baby. He has saved our baby, but I have killed him. I am very sorry. Forgive me my tiger.”
As not investigate in advance the husband had done wrong act. Since then, the couple’s village called Panyalahan. Panyalahan word comes from nyalahan word with meaning wrong anticipate.

Tuesday, December 23, 2014

Dongeng dari Kalimantan Barat

PUTRI SIANG GANTUNG

Oleh Endang Firdaus

Pangeran Umbul Untun dari Kerajaan Jarang Kuantan memiliki seekor ayam jago yang sangat hebat. Belum ada ayam lain yang dapat mengalahkannya. Pangeran Umbul Untun amat menyayangi ayamnya itu. Bahkan sayangnya berlebihan, sampai-sampai melupakan perhatiannya pada sang Istri.
Karena tak tahan dengan kelakuan Pangeran Umbul Untun, sang Istri yang sedang mengandung meninggalkan istana. Bersamaan dengan itu ayam jago sang Pangeran tiba-tiba lenyap. Ayam itu dimangsa seekor ular besar.
Pangeran Umbul Untun amat murka. Ia mengeluarkan perintah untuk membunuh semua ular yang ada di Kerajaan Jarang Kuantan. Anehnya, tak lama setelah itu, kelaparan dan penyakit melanda di Kerajaan Jarang Kuantan.
Ular-ular terus dibunuhi. Panglima Perang berusaha mencegah tindakan pangeran Umbul Untun. Tetapi, Pangeran Umbul Untun tak suka. Penuh marah, diusirnya Panglima.
Panglima meninggalkan istana. Ia pergi ke dalam hutan untuk mencari ular yang telah memangsa ayam Pangeran Umbul Untun. Saat tengah duduk termenung di bawah sebuah pohon besar, tiba-tiba terdengar suara lembut, “Wahai, Panglima Perang, aku tahu kau sedang susah hati. Jangan ke mana-mana. Tetaplah di situ. Aku akan turun untuk berbicara denganmu.”
Panglima membalikkan tubuh ke arah suara itu. Ia sangat terkejut melihat seekor ular besar meluncur turun dari pohon. Menyadari bahaya akan menimpa dirinya, cepat Panglima mengeluarkan parang.
“Apa maumu, hei, Ular? Pergi sana! Jangan berani mengusikku! Atau kau ingin parangku ini mencincangmu!” ancam Panglima.
“Sabar, Panglima,” kata si Ular. “Bukankah kau sedang mencariku? Akulah yang telah memangsa ular Pangeran Umbul Untun.”
“Kebetulan sekali!” seru panglima. “Karena ulahmu, Pangeran Umbul Untun amat murka! Karena ulahmu, ular-ular tak berdosa binasa! Karena ulahmu, kini kelaparan dan penyakit melanda!”
“Panglima,” ucap si Ular, “aku memangsa ayam itu untuk memberi pelajaran pada Pangeran Umbul Untun. Karena ayam itu, ia lupa akan istrinya. Sedang kelaparan dan penyakit yang kini melanda akibat kebodohan sang Pangeran. Kalau saja ia sadar bahwa ular itu pemakan tikus, maka ia tak akan memerintahkan membunuhi ular. Karena ular-ular banyak yang mati, tikus-tikus hidup aman. Mereka berkembang biak. Tikus-tikus kian banyak saja. Mereka perlu makanan banyak. Sawah-sawah menjadi sasaran. Akibatnya rakyat gagal panen. Kelaparan pun terjadi. Banyak makhluk hidup yang mati. Bangkai-bangkai mereka mencemari lingkungan. Maka akhirnya penyakit pun merejalela di negeri ini.”
“Tapi kaulah penyebab pertama kejadian-kejadian itu, hei, Ular! Akan kupenggal kau!” tukas Panglima marah.
“Panglima, saat ini aku sedang mengandung. Biarkanlah aku hidup. Nanti, setelah anakku lahir, aku akan datang menemuimu untuk menyerahkan diri. Percayalah! Sekarang, tatap aku agar kau tak ragu dengan perkataanku,” kata si Ular.
Panglima menatap si Ular. Aneh, di hadapannya tiba-tiba yang terlihat bukan ular, tetapi Putri Siang Gantung.
“Tu, Tuan Putri,” ucap panglima terbata lalu membungkuk hormat.
“Ya,” sahut si Ular.
Tiba-tiba, Pangeran Umbul Untun yang sedang berburu ular datang di tempat itu. Melihat ada ular, cepat ia memerintahkan para pengawal mengepungnya. Si Ular memandang tajam Pangeran Umbul Untun.
Siuuut!
Pangeran Umbul Untun menebas kepala si Ular hingga putus. Ketika darah berhenti mengucur, asap mengepul menyelimuti tubuh si Ular. Asap itu lalu membentuk sosok Putri Siang Gantung.
“Adinda Siang Gantung!” seru sang Pangeran.
“Ya, Kanda,” ucap Putri Siang Gantung. “Maafkan aku yang telah menyatu ke dalam tubuh ular itu agar tak dikenali. Dengan matinya ular itu aku pun ikut mati. Sebelum pergi menghadap Yang Maha Kuasa, aku akan memberi tahu Kanda, bahwa di dalam perut ular itu ada anak kita. Bedah dan ambillah anak itu. Rawatlah dengan baik. Selamat tinggal!”
Asap menipis. Wujud Putri Siang Gantung perlahan sirna. Pangeran Umbul Untun menangis penuh sedih. Ia amat menyesali perbuatannya. Lalu ia membedah perut ular itu dan menemukan bayi yang tak lain anaknya. Penuh kasih dan sayang Pangeran Umbul Untun merawatnya.

Sunday, December 21, 2014

Dongeng dari Kamboja

EMPAT LELAKI BOTAK

Oleh Endang Firdaus

Suatu ketika, di sebuah desa, hidup empat lelaki berkepala botak. Kepala itu licin plontos bak telur penyu. Kasihan. Ke mana pun mereka pergi, anak-anak selalu menertawakan mereka.
Teriak anak-anak, “Botak! Botak!”
Suatu hari, keempat lelaki botak itu memutuskan untuk pergi ke kota. Mereka akan mencari tabib yang dapat menumbuhkan rambut mereka. Mereka berhasil menemukan tabib itu. Tabib itu berkata dapat menolong mereka. “Tapi kalian harus melakukan apa yang aku katakan,” kata tabib itu. “Jika kalian patuh, rambut kalian akan tumbuh dengan lebat. Sekarang, pergilah kalian ke sumur di belakang rumahku. Basuhlah sekali saja kepala kalian dengan air sumur itu.”
Keempat lelaki botak itu melakukan kata tabib itu.
Ajaib.
Seusai membasuh kepala mereka dengan air sumur itu, kepala keempat lelaki botak itu seketika ditumbuhi rambut lebat. Mereka gembira sekali. Lelaki-lelaki itu terlihat lebih muda. "Kita terlihat tampan dengan rambut ini. Bila kita membasuh kepala kita sekali lagi, kita pasti akan semakin tampan. Dengan begitu kita pasti akan mudah mendapatkan istri," ucap mereka penuh suka cita.
Segera keempat lelaki itu membasuh kepala mereka sekali lagi.
Dan …
Olala!
Betapa sedih dan kecewanya lelaki-lelaki itu. Kepala mereka yang telah ditumbuhi rambut seketika kembali botak seusai itu. “Oh!” ratap mereka. “Mengapa begini? Mungkin ini hukuman buat kerakusan kita. Kita tak menuruti yang dikatakan tabib itu. Mari kita menemuinya. Barangkali ia bisa membantu.”
Keempat lelaki botak itu cepat menemui tabib itu. “Tuan Tabib,” kata mereka penuh sedih yang amat sangat, “maafkan kami yang tidak menuruti yang Tuan katakan. Kepala kami yang telah ditumbuhi rambut, kembali botak seusai kami sekali lagi membasuh kepala kami.”
“Maaf, aku tak bisa lagi membantu kalian,” ucap tabib itu. “Kepala botak kalian akan mengingatkan kalian pada kerakusan dan ketidakpatuhan kalian. Jadikan itu sebagai pelajaran, agar kelak kalian tidak berbuat hal yang sama lagi.”
Penuh sedih dan rasa penyesalan yang amat sangat keempat lelaki botak itu kembali ke desa mereka.