Dongeng dari Lima Benua

KOTAK AJAIB
(Dongeng dari Taiwan)

Oleh Endang Firdaus

Seorang petani miskin menggali sebuah lubang di kebunnya dan menemukan sebuah kotak besar. Ia membawanya kotak itu ke rumah dan memperlihatkannya pada istrinya.
Istri si Petani membersihkan kotak itu lalu menyimpannya. Suatu hari, ia memasukkan sebuah apel ke dalam kotak itu. Seketika kotak itu penuh dengan apel. Banyak sekali dan tidak pernah habis walau telah diambil berkali-kali. Si Petani dan istrinya mengumpulkan apel-apel itu dan menjualnya, sehingga mereka dapat hidup berkecukupan.
Si Petani lalu memasukkan sebuah uang logam ke dalam kotak itu. Tiba-tiba apel pun lenyap dan kotak itu segera dipenuhi dengan uang logam. Setiap hari, si Petani dan istrinya mengumpulkan beratus-ratus uang logam dari kotak itu. Mereka pun menjadi kaya.
Ayah si Petani tinggal bersama si Petani dan istrinya. Ia sudah tidak kuat dan tidak dapat bekerja. Si Petani menyuruhnya membantunya mengeluarkan uang dari kotak itu. Si Ayah melakukan. Ketika ia merasa letih dan ingin beristirahat, si Petani berkata, “Huh, orang tua pemalas! Baru bekerja segitu saja sudah mau istirahat! Ayo, terus bekerja lebih keras!”
Si Ayah tidak berkata apa-apa. Ia meneruskan pekerjaannya, sampai ia terjatuh ke dalam kotak itu dan mati. Seketika uang lenyap dan kotak itu dipenuhi tubuh-tubuh kaku ayah si Petani.
Si Petani harus mengeluarkan tubuh-tubuh itu dan menguburkannya. Akibatnya ia harus mengeluarkan semua uang yang telah dikumpulkannya. Ketika ia telah menghabiskan semua uang, kotak itu pecah. Maka si Petani tetap hidup miskin seperti semula.

RAKSASA DI GUA SEPI
(Dongeng dari Yunani)

Oleh Endang Firdaus

Sudah seminggu Odisus dan orang-orangnya terapung di lautan. Mereka adalah orang-orang Yunani. Odisus seorang pangeran. Ia dan orang-orangnya itu sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan perjalanan dagang di kota Troya. Persediaan air sudah habis. Begitu pula makanan. Kalau tak segera menemukan daratan, mereka semua akan mati.
“Lihat! Itu daratan!” seru salah seorang anak buah Odisus.
“Ya, ya, benar! Horeee! Kita akan makan dan minum sepuasnya!!” seru yang lain penuh suka cita.
“Tak ada rumah di sini,” cetus orang-orang itu ketika menginjakkan kaki di pulau itu.
“Ya,” ucap Odisus. “Tapi lihat, di sana ada gua yang besar. Semoga ada penghuninya. Semoga pula orang itu mau menjual makanan pada kita, atau mau menukarnya dengan anggur yang kita bawa.”
Memang gua itu tampaknya ada penghuninya. Sebab ada pagar yang sangat kokoh di jalan masuknya.
Orang-orang itu cepat menuju gua itu.
“Permisi!” Odisus memberi salam.
Tak ada jawaban.
“Permisi!”
Tetap tak ada jawaban.
“Permisi!”
Masih juga tak ada jawaban.
“Tak ada orangnya barangkali. Yuk, masuk saja,” ucap Odisus pada orang-orangnya.
Orang-orang itu pun memasuki gua. Di dalam gua itu agak gelap, namun amat bersih dan rapi.
“Tak ada orangnya,” cetus salah seorang.
“Ya,” timpal Odisus, “tapi gua ini ada penghuninya. Lihat bahan makanan di pojok sana. Ada ember berisi keju dan susu. Dan itu sepertinya kandang ternak. Mari kita tunggu penghuni gua ini.”
Orang-orang itu menunggu dengan tidak sabar, sebab perut mereka sudah amat lapar. Meski begitu, Odisus tak mengizinkan anak buahnya mengambil makanan yang ada di dalam gua itu tanpa seizin pemiliknya. Namun mereka bisa minum sepuasnya dari sumur yang ada di dekat gua itu.
“Wah, lama sekali penghuni gua ini datangnya,” kata salah seorang.
“Mungkin ia sudah mati dimakan binatang buas,” ucap yang lain.
“Hei, sepertinya ada gempa bumi!”
Orang-orang itu mendengarkan.
“Lho, seperti suara sapi?”
“Tapi langkah-langkah itu? Seperti gempa bumi!”
“Mungkin langkah raksasa!”
Tiba-tiba, satu raksasa telah berdiri di pintu gua. Raksasa itu bermata satu. Mata itu terletak di tengah-tengah dahinya.
“Hiii! Seram!” ucap orang-orang itu penuh takut.
“Hmh! Siapa kalian?” tanya raksasa itu. Suaranya sangat keras. “Berani sekali kalian memasuki guaku?”
“Kami orang-orang Yunani. Kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami kehabisan persediaan makanan dan minuman. Kami bermaksud menukar anggur yang kami bawa dengan makanan untuk bekal kami di jalan,” jawab Odisus dengan tubuh gemetar.
“Hohoho! Aku tidak perlu anggur! Aku akan menyantap kalian satu per satu besok!”
Raksasa itu menghalau sapi-sapinya masuk ke dalam gua. Ia lalu duduk di pintu gua, agar orang-orang itu tak bisa keluar.
Odisus segera mencari cara untuk bisa lepas dari raksasa itu. Tak jauh dari tempatnya berada dilihatnya ada sebuah tombak runcing. Odisus tersenyum. Ia lalu menghampiri si Raksasa. “Kami membawa anggur yang lezat. Apakah Tuan mau mencicipinya?” ucapnya, menyodorkan segentong anggur yang memang sengaja dibawa dari kapal untuk penukar bahan makanan. Penuh suka raksasa itu menerima tawaran itu. Lalu diminumnya segayung anggur. Lalu, lagi, lagi. Anggur itu akhirnya habis. Si Raksasa mabuk lalu tidur.
Melihat itu, Odisus cepat memerintahkan orang-orangnya agar mengikat diri mereka di perut sapi-sapi milik raksasa itu. Setelah itu didekatinya si Raksasa. Dihunjamkannya tombak ke matanya.
Raksasa itu menggerung kesakitan. Menggeram marah ia berdiri untuk membalas pada orang yang telah menyakiti dirinya. Namun, karena sudah buta, ia berjalan dengan meraba-raba. Ia tidak bisa menemukan orang-orang itu, sebab mereka sudah mengikat diri di perut sapi-sapi itu. Penuh kesal dipukulnya sapi-sapinya. Sapi-sapi itu kesakitan. Mereka berlarian keluar gua.
Merasa telah berada jauh dari gua si Raksasa, Odisus dan orang-orangnnya melepaskan diri dari sapi-sapi itu. Dengan membawa sapi-sapi itu mereka lalu kembali ke kapal. Sapi-sapi itu akan mereka manfaatkan untuk makanan mereka selama di perjalanan.

HUKUMAN BUAT MARUPUKE
(Dongeng dari Selandia Baru)

Oleh Endang Firdaus

Orang-orang Moriori adalah orang-orang yang pertama kali mendiami Selandia Baru, baru kemudian orang-orang Maori. Orang-orang Moriori orang-orang yang ramah dan cinta damai. Mereka tak pernah berperang. Mereka begitu patuh pada Dewa Hatitimatangi. Suara sang Dewa yang dibawa oleh hembusan angin memerintahkan mereka agar hidup rukun, giat bekerja, dan bermasyarakat dengan baik. Mereka hidup bahagia. Mengumpulkan madu, buah-buah beri, umbi-umbian, serta menjala ikan, dilakukan dengan riang gembira.
Suku Avaiki-tautau yang mendiami pantai utara Selandia Baru adalah orang-orang Moriori. Ada kisah tentang suku ini yang terjadi dulu kala yang dapat dijadikan pelajaran oleh kita semua. Kisah itu tentang seorang Avaiki-tautau yang melanggar hukum yang berlaku bagi orang-orang Moriori. Begini kisahnya …
Orang-orang Moriori bertubuh kecil dan berkulit hitam. Seorang dari mereka, Marupuke, mempunyai tenaga yang sangat kuat. Kekuatannya sama dengan kekuatan dua orang. Sekeranjang besar ikan dapat dibawanya seorang diri saja.
Suatu hari, Torea, pemimpin suku Avaiki-tautau, mengajak orang-orangnya menjala ikan. Serunya, “Hei! Te Timo, Maruhoko, Ke, Rangiora, siapkan jala kalian! Mari kita melaut! Hei, Marupuke, kami butuh tenagamu yang kuat!”
Marupuke tak beranjak dari tempatnya. Ia berbaring malas di bawah pohon. “Tidak, Torea,” sahut Marupuke dengan mata mengantuk. “Aku malas.”
Torea dan orang-orang Avaiki-tautau yang lain memandang sedih ke arah Marupuke. Dengan lesu mereka pergi melaut. Sementara Marupuke asyik berbaring, dan segera terlelap.
Senja tiba. Orang-orang yang melaut telah kembali. Mereka lalu berkumpul untuk menikmati ikan-ikan tangkapan mereka. Marupuke bangun dan cepat menghampiri kerumunan. Sambil menelan liur, ditatapnya ikan-ikan yang tengah dibakar. Serunya, “Hebat! Tanpa aku, kalian menghasilkan ikan begitu banyak! Aku memang tidak perlu ikut!”
“Benar,” timpal Torea. “Kami memang tak memerlukanmu menangkap ikan-ikan ini, dan kami juga tak memerlukanmu untuk menghabiskannya.” Marupuke tak berkata. “Kau ingat hukum yang berlaku bagi orang-orang Moriori?” lanjut Torea. “Hanya yang bekerjalah yang boleh menikmati hasilnya. Kau telah diberi kekuatan besar oleh Dewa Hatitimatangi. Tetapi, kau tidak mau menggunakannya untuk membantu kami. Kini rasakan perutmu yang melilit lapar!”
“Pinjami aku jala. Aku akan menangkap ikan,” kata Marupuke.
“Jala ini punya kami,” tukas Torea. “Cuma kami yang boleh menggunakan.”
“Baik,” sahut Marupuke marah. “Akan kutangkap ikan-ikan dengan caraku sendiri. Kalian tidak akan aku bagi!”
“Kami tidak bisa mencegahmu,” ucap Torea. “Tapi ingatlah, Dewa Hatitimatangi akan marah bila kau menangkap ikan dengan cara lain.”
“Aku tak peduli!” tukas Marupuke.
Penuh kemarahan Marupuke pergi. Ia melangkah tanpa tujuan dan baru berhenti saat mendapatkan dirinya berada di sebuah hutan yang amat asing baginya. “Di mana aku?” gumamnya bingung. Tiba-tiba didengarnya riak sungai. Ditajamkannya telinga. Ucapnya pada dirinya, “Lebih baik aku ikuti aliran sungai. Dengan begitu, maka aku akan kembali ke laut.”
Marupuke menghampiri sungai. Matanya seketika membelalak saat melihat orang-orang bertubuh kecil di tepi sungai tengah mengail.
Marupuke cepat bersembunyi. Ia tahu orang-orang itu adalah para Patu-paiarehe, peri-peri penghuni hutan. Marupuke memperhatikan. Salah satu kail para peri itu dilihatnya melengkung dan bergerak-gerak. “Cepat bantu aku!” teriak peri pemilik kail itu pada peri-peri lainnya. “Ayo, cepat! Aku mendapat belut!” Patu-paiarehe yang lain cepat membantu.
Ketika itu orang-orang Moriori menangkap ikan hanya dengan menggunakan jala. Mereka tak mengenal kail. Karenanya Marupuke amat heran. Gumamnya, “Aha, sungguh alat penangkap ikan yang hebat! Aku akan mencurinya satu!”
Marupuke cepat beraksi. Para Patu-paiarehe yang sedang sibuk mengurusi belut tak mengetahui. Marupuke dengan cepat meninggalkan tempat itu. Seekor burung kiwi yang melihat perbuatannya mengingatkan, “Marupuke, lebih baik kaukembalikan kail itu!”
“Mengapa?” tukas Marupuke.
“Orang-orang Moriori selalu menangkap ikan dengan menggunakan jala. Bila kau menggunakan kail, Dewa Hatitimatangi akan murka. Kau menyalahi kebiasaan!” si Kiwi menasihati.
“Aku tidak takut!” hardik Marupuke. “Hohoho!” Marupuke tertawa penuh kesombongan. “Aku Marupuke, orang terkuat di tanah ini! Akan aku lakukan apa pun yang aku suka!”
Marupuke meneruskan langkahnya. Ia tiba di tepi laut saat Kupe, sang Bintang Pagi, tengah bersinar. Marupuke naik ke sebuah tonjolan batu karang. Ia lalu mengail. Dari mulutnya keluar nyanyian:
“Kupe, sang Bintang Pagi!
Bersinarlah!
Terangi aku!
Perhatikan kailku!
Aku kini lebih pintar dari Dewa Laut!
Aku menangkap ikan sesuka hatiku!
Ikan-ikan hanya untukku!
Kapan aku mau, kutangkap ikan-ikan!
Ikan-ikan hanya untukku!”
Marupuke terus bernyanyi. Tidak dihiraukannya ombak di sekitarnya. Riroriro, seekor camar, yang tengah lelap terbangun. “Hei!” serunya kaget. “Itu Marupuke. Ia tengah mengail. Bukankah hanya peri hutan yang melakukannya? Oh, aku harus memberitahukan hal ini pada yang lain.” Burung itu lalu melesat terbang. Ditemuinya sahabatnya, Titi, si Elang Laut. Katanya pada sahabatnya itu, “Teman, Marupuke, seorang Moriori, tengah menangkap ikan dengan menggunakan kail!”
“Apa?” tukas Titi, terkejut sekali. “Celaka! Aku harus cepat memberi tahu Tangaroa!”
Si Elang Laut membumbung ke angkasa. Ia menuju ke tengah laut. Ditemuinya Tangaroa, sang Dewa Laut, yang tengah mengendarai seekor paus. “Selamat datang, wahai, Elang Laut!” sambut Tangaroa saat melihat si Elang Laut. “Kabar apakah yang membawamu datang ke mari?”
“Tangaroa,” ucap si Elang Laut, “ada yang ingin aku sampaikan padamu. Seorang Moriori tengah menangkap ikan dengan menggunakan kail.”
“Seorang manusia mengail?” tukas sang Dewa Laut amat kaget. “Tidak tahukah ia bahwa manusia hanya boleh menangkap ikan dengan menggunakan jala? Dari mana ia mendapatkan kail itu?”
“Entahlah,” kata si Elang Laut. “Tapi aku kira ia telah mencurinya dari para peri hutan. Menurut Riroriro, si Burung Camar sahabatku, orang itu adalah Marupuke. Ia orang yang paling kuat di antara semua orang Moriori.”
“Ia boleh menjadi orang paling kuat di antara semua orang Moriori,” ucap Tangaroa. “Tetapi ia telah melanggar hukum yang dibuat Dewa Hatitimatangi. Aku harus menghukumnya!” Tangaroa turun dari punggung sang Paus. Ia lalu merubah dirinya menjadi seekor gurita raksasa dan segera berenang ke tempat Marupuke berada. Setiba di sana ia mendapatkan Marupuke yang tengah asyik mengail sambil bernyanyi:
“Kupe, sang Bintang Pagi!
Bersinarlah!
Terangi aku!
Perhatikan kailku!
Aku kini lebih pintar dari Dewa Laut!
Aku menangkap ikan sesuka hatiku!
Ikan-ikan hanya untukku!
Kapan aku mau, kutangkap ikan-ikan!
Ikan-ikan hanya untukku!”
“Grrr! Kau menangkap ikan-ikanku sesukamu?” geram Tangaroa, sambil memanjat batu karang. “Aku akan menghukummu!”
Tangaroa menjulurkan belalainya. Dibelitnya Marupuke, lalu diseretnya ke sebuah gua di dasar laut. Tangaroa lalu menjadikan Marupuke seekor ikan kecil bertubuh pipih, berkepala besar, dan bermulut sangat lebar.
“Rasakan olehmu!” seru Tangaroa. “Mulai sekarang, tinggallah engkau di dasar laut ini! Karena engkau telah berani mencuri kail para peri hutan, maka kail itu akan engkau bawa-bawa sepanjang hidupmu!”
Tangaroa mengikat kail di kepala Marupuke. Mata kail yang berumpan menggantung di muka mulutnya yang lebar. Para nelayan sering mendapatkan ikan keturunan Marupuke. Ikan itu bertubuh pipih, berkepala besar, dan bermulut sangat lebar. Di kepalanya ada tanduk seperti tangkai kail. Di ujung tangkai ada benda yang menyerupai mata kail berumpan, menjuntai di muka mulutnya yang lebar. Orang menamakan ikan itu Ikan Kail.

TIMBANGAN GAJAH
(Dongeng dari Cina)

Oleh Endang Firdaus

Pada waktu yang telah lampau, Raja Negeri Cina mendapat kiriman seekor gajah dari sebuah negeri di daerah selatan. Ketika itu penduduk Cina belum pernah melihat gajah. Nama binatang itu pun mereka tidak tahu. Berduyun-duyun orang datang untuk melihatnya.
Raja kemudian memerintahkan para pegawainya menimbang gajah itu. Segera mereka mencari timbangan besar ke seluruh pelosok negeri. Mereka tidak menemukan. Timbangan yang dapat menimbang binatang sebesar gajah tidaklah ada pada masa itu. Para pegawai Raja akhirnya menyerah. Mereka tidak tahu bagaimana menimbang gajah itu.
Raja kemudian mengadakan sayembara. Tetapi, tak seorang jua sanggup melakukan. Raja terus memerintahkan para pegawainya melakukan penimbangan. Pegawai-pegawai bingung sekali. Seorang anak lelaki kecil lalu datang menemui mereka. Ia meminta diizinkan menimbang gajah. Para pegawai Raja tak mempercayai. Tak mungkin seorang anak sekecil itu dapat melakukan tugas yang amat memusingkan mereka itu. Karena tak juga mendapatkan pemecahan, akhirnya mereka mengizinkan si Anak menimbang gajah.
Anak itu membawa gajah ke tepi sungai. Dinaikkannya ke atas perahu. Bagian bawah perahu masuk ke dalam air. Di tepi sungai, penduduk dan para pegawai Raja memperhatikan. Anak itu lalu menuju perahu lain. Ia menaikinya. Dikayuhnya mendekati perahu yang dinaiki gajah. Ia lalu memberi tanda batas permukaan air pada bagian luar perahu yang dinaiki gajah. Kemudian ia menurunkan gajah itu dari perahu. Sebagai gantinya diisinya batu-batu.
Perahu makin lama makin tenggelam ke dalam air. Saat permukaan air pada sisi perahu tepat mengenai batas yang telah dibuatnya, anak itu berkata, “Batunya sudah cukup. Setelah semua batu diturunkan dari perahu, satu per satu akan ditimbang. Setelah selesai jumlahkan beratnya. Jumlah berat batu-batu itu sama dengan berat binatang itu.”
Para pegawai dan penduduk yang mendengar perkataan itu sangat kagum dan mengakui kecerdikan si Anak. Mereka tak menyangka seorang anak kecil memiliki kepintaran sehebat itu. Raja merasa puas. Sebagai ungkapan rasa gembira dan terima kasihnya, ia memberi banyak hadiah pada anak itu.


KARENA BANYAK MENGKHAYAL
(Dongeng dari India)

Oleh Endang Firdaus

Dulu, di sebuah desa kecil di India hidup seorang brahmana tua. Ia mempunyai seorang putra yang telah dewasa. Swabawakerpana namanya. Tuibuhnya tegap dan wajahnya tampan. Sayang. Swabawakerpana seorang pemuda yang pemalas. Ia tak mau bekerja keras. Untuk menghidupi diri, ia lebih suka menjadi pengemis.
Suatu hari, Swabawakerpana pulang mengemis dengan hati gembira. Hasil mengemisnya hari ini lumayan bagus. Ia tak perlu lagi menjual seperiuk gandum yang didapatnya dari meminta-minta. Ia tak butuh makanan lagi untuk di rumah. Di jalan tadi seorang perempuan tua yang baik hati memberinya makan dan membekalinya banyak makanan untuk dibawa pulang.
Swabawakerpana membaringkan tubuh di dipan. Ia kemudian mulai berkhayal. Katanya dalam hati, “Besok aku akan menjual gandum. Uang hasilnya akan kubelikan dua ekor ayam betina. Ayam-ayam itu akan kupelihara dengan baik. Sebulan kemudian pasti akan bertelur. Masing-masing sepuluh butir. Telur-telur itu lalu menetas. Ayam-ayamku pun menjadi duapuluh dua ekor. Dan akhirnya makin lama makin banyak. Aku lalu akan menjualnya. Uangnya akan kubelikan sapi sebanyak sepuluh ekor. Semuanya betina.
“Sapi-sapiku kemudian mengandung, lalu melahirkan. Aku kini mempunyai duapuluh ekor sapi. Sapi-sapiku akhirnya mencapai jumlah seratus ekor. Semuanya kujual. Uangnya akan kugunakan untuk berdagang pakaian. Bahan-bahan pakaian yang bagus akan kubeli. Untuk mendapatkan sutera yang baik akan kusuruh anak buahku ke Negeri Cina. Untuk mendapatkan permadani-permadani indah akan kuperintahkan mereka ke Negeri Persia.”
Swabawakerpana tersenyum. Kakinya digoyang-goyang. Khayalannya terus bermain-main di benaknya. “Suatu ketika,” khayalnya, “aku akan pergi memimpin orang-orangku ke Negeri Persia untuk mendapatkan permadani terbagus dari negeri itu. Setibanya di sana akan kudatangi toko yang menjual permadani yang kucari. Dengan ramah si Pemilik Toko menyambutku. Dibawanya aku melihat-lihat permadani dagangannya. Semuanya bagus-bagus dan indah. Si Pemilik Toko amat menghormatiku. Apalagi setelah aku menceritakan bagaimana kayanya aku.
“Kukatakan padanya bahwa aku saudagar terkaya dari India. Ia mengajakku ke rumahnya. Dengan senang hati aku ikut. Istrinya menyambutku ramah. Aku dibawa ke ruang tamu yang indah yang membuatku terkagum-kagum. Tak lama seorang gadis cantik muncul membawa minuman dan kue-kue. Aku terpesona melihat kejelitaannya. Belum pernah aku melihat gadis seperti itu.”
Swabawakerpana terus mengkhayal. Sementara senja telah datang. Keadaan mulai gelap. Sebentar lagi malam akan turun. Khayalan Swabawakerpana kian menjadi. “Aku lalu menanyakan siapa gadis itu pada si Pemilik Toko,” gumam Swabawakerpana. “Katanya ia anak gadisnya. Lalu kukatakan bahwa aku sangat tertarik padanya. Si Pemilik Toko menyambut baik. Ia lalu memintaku menginap di rumahnya. Aku pun menerima. Dan dua pekan lamanya aku tinggal bersama keluarga pemilik toko itu. Selama itu putri si Pemilik Toko selalu menemaniku. Tampaknya ia menyukaiku. Ketika kuutarakan bahwa aku akan melamarnya, gadis itu pun menerima. Lebih-lebih si Pemilik Toko dan istrinya. Emas permata dan aneka pakaian indah kuberikan pada si Gadis sebagai maskawin. Aku lalu menikah dengannya. Pesta meriah diadakan.
Sebulan seusai menikah aku membawa istriku ke India. Kami lalu mempunyai seorang anak laki-laki yang tampan. Aku memberinya nama Somasarma. Aku dan istriku amat menyayanginya. Waktu berjalan. Somasarma sudah bisa merangkak. Suatu hari, ketika aku tengah ke kandang kudaku, tanpa setahuku Somasarma mengikuti. Aku baru tahu saat kudengar jeritannya. Dan betapa terkejutnya aku. Somasarma hendak diinjak oleh seekor kuda. Cepat aku bertindak. Kuambil sepotong kayu, lalu kupukulkan ke kuda nakal itu.”
Swabawakerpana seketika bangkit dari dipan. Diambilnya tongkat ayahnya yang ada di dekat pintu. Dalam khayalnya, ia memukulkan tongkat itu pada si Kuda. Namun ternyata yang dipukulnya periuk berisi gandum. Periuk hancur berkeping. Butir-butir gandum berserakan di lantai yang kotor.
Swabawakerpana seketika tersadar. Dipandanginya butir-butir gandum yang telah bercampur dengan hancuran periuk dan debu. Swabawakerpana sangat sedih sekali. Air matanya mengalir. Karena terlalu banyak mengkhayal, terpaksa besok ia harus mengemis lagi.




Referral Banners


ASAL MULA POHON KELAPA
(Dongeng dari Malaysia)

Oleh Endang Firdaus

Suatu ketika, seorang lelaki mendaki gunung yang tinggi. Di puncak gunung itu ada sebuah rumah. Di rumah itu tinggal seorang petapa yang sakti. Seperti orang-orang lainnya lelaki itu datang ke tempat itu untuk meminta pertolongan pada si Petapa.
“Kau perlu apa?” tanya si Petapa.
“Wahai, Bapak Petapa,” ucap lelaki itu, “saya datang karena ada yang saya ingin pinta dari Bapak. Saya mohon Bapak mau mengabulkan. Saya ini ingin sekali menjadi manusia yang berguna di masyarakat dalam segala hal. Kabulkanlah, Bapak. Jadikan saya manusia berguna, bukan hanya pada masyarakat saat ini, tetapi juga pada anak cucu mereka.”
“Sungguh keinginan yang sangat mulia,” kata si Petapa. “Baiklah. Aku akan memberikan sesuatu padamu agar keinginanmu itu terkabul.”
Petapa itu lalu mengambil sebuah kotak segi empat berwarna hijau tua dari dalam kotak besar yang ada di sampingnya. Diberikannya pada lelaki itu. Katanya, “Bawalah kotak ini. Pesanku, jangan engkau membukanya sebelum tiba di rumah.”
Lelaki itu mengambil kotak itu penuh suka cita. Diucapkannya terima kasih, lalu cepat pulang.
Ketika sampai di pertengahan jalan menuruni gunung, lelaki itu ingin sekali membuka kotak pemberian si Petapa. Ia ingin tahu isinya. Namun, karena ingat pesan si Petapa, ia tak jadi melakukannya. Diteruskannya perjalanan dan tiba di kaki gunung. Kembali ia ingin membuka kotak. Kali ini tak tertahan lagi.
Lelaki itu membuka tutup kotak, lalu melihat ke dalamnya. Plop! Seketika lelaki itu menjadi sebuah pohon. Pada pohon itu ada setandan buah berwarna kuning kecoklatan. Kemudian terdengar suara gemuruh. Suara si Petapa lalu menggema, “Karena kau telah melanggar laranganku, maka kau berubah menjadi pohon. Pohon Kelapa namanya. Keinginanmu untuk menjadi yang berguna tetap terkabul. Setiap bagian tubuhmu berguna bagi manusia. Daun, buah, maupun batangmu sangat berguna bagi mereka. Manusia akan membutuhkanmu dalam kehidupannya. Dan kau tak akan kesepian, karena kau akan hidup di lingkungan manusia.”
Pohon Kelapa kemudian berkembang biak dengan cepat. Manusia menyukainya karena banyak gunanya bagi mereka.




MBALOLO DAN KAUKE
(Dongeng dari Fiji)

Oleh Endang Firdaus

Dulu sekali, ratusan tahun sebelum orang-orang kulit putih menemukan Lautan Pasifik, orang-orang Viti, sekelompok orang kulit hitam, meninggalkan tanah leluhur mereka, Afrika, karena di sana banyak perang. Dengan kaunitoni, sejenis perahu besar, mereka berlayar ke arah timur, mencari tempat tinggal yang lebih baik.
Mereka tiba di sebuah pulau nan elok.
Ndengai, sang Pemimpin, memerintahkan tinggal di sana untuk beberapa lama. Ia menamakan pulau itu Yasawa, yang artinya tempat persinggahan. Berhari-hari Ndengai dan orang-orangnya menjelajahi daerah itu penuh kegembiraan. Mereka menamakan setiap benda dengan bahasa orang Viti. Mereka menamakan Kula untuk burung kesturi merah, Tho untuk burung camar laut, Mbulileka untuk kerang-kerang kecil yang cangkangnya mereka buat sebagai kalung, Drekedrekevuata untuk lalat, Mana untuk udang, dan banyak lagi.
Suatu hari, Ndengai naik ke puncak sebuah bukit. Dipandanginya Lautan Pasifik nan biru. Dan jauh di sebelah timur, ia melihat sebuah pulau. Ucapnya, “Pulau itu sangat besar. Pasti lebih baik dari Pulau Yasawa ini. Hmh, akan aku ceritakan hal ini pada orang-orangku.”
Maka Ndengai mengumpulkan semua orangnya. Diceritakannya tentang pulau besar itu.
“Luar biasa!” seru orang-orang Viti. “Mari kita ke sana!”
“Pulau itu berada jauh,” berkata Ndengai. “Kita perlu ikan banyak untuk makan, agar bila Thangi-levu, sang Badai, membawa kita jauh, kita tak kekurangan makanan. Tapi seseorang harus tinggal di sini menjaga perahu. Karena di dalam perahu terdapat kotak batu pusaka yang berisi sejarah bangsa kita, pakaian kebesaranku, dan biji-bijian yang kita bawa dari tanah leluhur.”
Di antara orang-orang Viti ada dua pemuda. Mereka Kauke dan Mbalolo. Kauke seorang yang suka membanggakan diri dan sombong. Sedang Mbalolo pembuat keributan dan lalai. Keduanya tak disukai. Tak ada yang mau menemani. Mbalolo dan Kauke selalu berdua saja ke mana pun pergi.
Ndengai menatap orang-orangnya. Ujarnya, “Mbalolo, kau kutugaskan menjaga kotak pusaka selama kami menangkap ikan. Jaga baik-baik.”
“Tuanku, mengapa aku yang harus melakukan?” bantah Mbalolo. “Aku ingin menangkap ikan juga. Bersama Kauke.”
“Diam!” hardik Ndengai. “Aku pemimpinmu! Aku menyuruhmu menjaga kotak! Kau harus melakukan! Kauke akan bersamamu! Jaga kotak itu baik-baik, dan jangan berani membukanya!”
“Aku?” seru Kauke. “Bukankah tak ada yang melebihi kemampuanku dalam menombak ikan?”
“Jangan sombong!” tukas Ndengai. “Kau dan Mbalolo kutugaskan menjaga kotak! Ingat, jangan membukanya! Kalian akan menyesal bila sampai melakukan itu!”
Ndengai dan orang-orang Viti yang lain mengambil tombak dan pergi ke sisi lain pulau itu. Sementara Kauke dan Mbalolo duduk di bawah sebuah pohon kelapa dekat perahu. Keduanya menggerutu tak habis-habis.
“Ini kesalahanmu, Mbalolo,” omel Kauke. “Kalau kau tak banyak bicara, aku pasti ikut mereka menangkap ikan.”
“Meninggalkanku sendirian?” balas Mbalolo. “Teganya kau!”
“Aku tidak bermaksud begitu,” ucap Kauke. “Kau tahu kan, aku tak pernah ke mana-mana tanpamu? Tapi tanpaku mereka tak akan memperoleh ikan banyak. Bukankah kemampuanku menombak ikan paling hebat?”
“Lupakanlah,” hibur Mbalolo. “Kini mereka tak terlihat lagi. Mari kita buka kotak itu. Aku belum pernah melihat isinya.”
“Jangan! Ndengai akan sangat marah!” memperingatkan Kauke. “Hanya dialah yang boleh membukanya!”
“Tak peduli!” cetus Mbalolo. “Kau kan sehebat pemimpin kita!”
“Ya, betul!” timpal Kauke senang. “Mari kita membukanya!”
Kauke dan Mbalolo lalu pergi ke perahu. Mereka membawa kotak ke geladak, lalu membukanya.
“Hei, ini biji-bijian itu!” seru Kauke. “Akan kuletakkan biji-bijian ini di lantai perahu. Kemudian kita keluarkan pakaian kebesaran itu untuk kita kenakan. Kita pasti pantas menjadi pemimpin.”
Segera Kauke meletakkan biji-bijian di lantai. Kemudian dikeluarkannya pakaian kebesaran yang cuma diperuntukkan buat sang Pemimpin dan dikenakannya. Berlagak bagai sang Pemimpin, ia berjalan bolak-balik. Ndaku-Wangga, Dewa Laut yang tengah berbentuk seekor hiu putih raksasa, memperhatikan.
“Baru kali ini kulihat ada orang di pulau ini,” gumam Ndaku-Wangga. “Kedua orang kulit hitam itu tampak gembira. Apa yang ada di kotak besar itu?” Pelan-pelan didekatinya perahu, namun ia tak dapat melihat isi kotak. “Tuan-tuan,” ucapnya, berpura-pura takut. “Tuan-tuan yang mulia, siapakah Tuan-tuan ini? Dan apakah yang ada di kotak itu?”
Kauke yang mengenakan pakaian kebesaran semakin sombong. Dicarinya asal suara. Dan ketika dilihatnya cuma seekor hiu, ia berseru marah, “Pergi kau ikan jelek! Kau tak pantas bicara denganku, tahu!”
Ndaku-Wangga sangat marah. “Huh!” omelnya. “Kalau kau tidak memberi tahu isi kotak itu, akan kuusahakan sendiri!” Dikibaskannya ekornya yang besar. Kotak terkena hantam dan jatuh ke laut, terjepit di antara batu-batu karang yang paling dalam. Tak akan ada yang mampu mengambilnya.
“Kotak itu hilang!” teriak Kauke.
“Kita pasti dihukum!” seru Mbalolo. “Lihat, mereka datang!”
Ndengai sangat marah mendengar laporan hilangnya kotak pusaka. “Kalian telah memusnahkan sejarah orang-orang Viti. Semua biji-bijian yang akan kita tanam di tanah baru kelak pun lenyap! Huh!” ujarnya penuh kemarahan. “Akan kupinta Tautaumolau, Dewa Gunung Api, agar menghukum kalian!”
“Tuanku, biji-bijian itu selamat!” memberi tahu Kauke. “Aku meletakkannya di lantai perahu!”
“Mungkin kau tak akan dihukum seberat Mbalolo,” sahut Ndengai. Lalu dipanggilnya Tautaumolau. Dimohonnya apa yang harus dilakukan.
Tautaumolau mendengar. Dengan suara bergemuruh ia muncul. “Siapa yang memanggilku?” tanyanya. Suaranya berat dan menakutkan. Orang-orang Viti bersujud memberi hormat.
“Wahai, Tautaumolau, akulah yang memanggilmu,” berkata Ndengai. “Telah kuperintahkan Mbalolo menjaga kotak pusaka kami selama kami menangkap ikan. Dan kusuruh Kauke untuk menemaninya karena mereka selalu berdua ke mana pun mereka pergi. Tapi mereka telah menghilangkan kotak itu!”
“Mereka merusak kepercayaan yang diberikan,” ucap Tautaumolau. “Mereka tak bisa menjaga kotak itu dalam waktu yang tidak lama. Kini mereka kuhukum menjaga kotak itu selamanya!”
“Kotak itu berada di dasar laut!” tukas Mbalolo. “Bagaimana kami akan menjaganya?”
Tautaumolau tertawa keras hingga Pulau Yasawa bergetar. “Hohoho! Kalian akan menjaganya di dalam laut!” ujarnya. “Kau, Mbalolo, akan kujadikan cacing laut. Dan kau, Kauke, akan kujadikan kepiting!”
“Wahai, Tautaumolau, jika keduanya hidup di dalam laut, mereka masih bisa bersama. Dan mungkin akan melakukan kelalaian lagi,” tukas Ndengai. “Kauke seorang yang suka membanggakan diri dan sombong, tapi ia telah menyelamatkan biji-bijian yang kami bawa dari tanah asal kami.”
“Mereka tak akan bersama,” kata Tautaumolau. “Kauke akan berada di angkasa, sehingga seluruh dunia melihatnya. Dan aku mengizinkan Mbalolo naik ke permukaan laut sekali pada setiap bulan keduabelas untuk melihat sahabatnya itu!”
Tautaumolau melambaikan tangannya. Langit pun gelap. Ada cahaya kilat. Dan ketika kembali terang Tautaumolau, Mbalolo dan Kauke telah lenyap. Seekor cacing merayap menuju laut dan seekor kepiting melesat menuju angkasa.
Orang-orang Viti bertambah banyak. Selain Pulau Yasawa, mereka juga menghuni pulau-pulau sekitarnya. Orang-orang kulit putih yang kemudian menemukan kepulauan itu menamakannya Kepulauan Fiji, yang mungkin berasal dari kata Viti.
Dan hingga kini, sekali dalam setahun, di hari yang sama, Mbalolo yang telah menjadi cacing beserta keturunannya muncul di permukaan laut untuk melihat Kauke. Kauke, si Kepiting, tampak bersinar terang di angkasa berupa kumpulan bintang-bintang berbentuk kepiting.




TIDAK SABARAN
(Dongeng dari Cina)

Oleh Endang Firdaus

Dulu, di Negeri Cina, hidup seorang petani bernama Liu. Ia seorang yang sangat tidak sabaran dan selalu terburu-buru. Ia terburu-buru menghabiskan makanannya saat sarapan ataupun saat makan siang bersama keluarganya. Ia juga cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu ingin jadi nomor satu dalam segala hal. Ia tidak pernah bekerja dengan teliti. Ia hanya ingin menyelesaikan semua pekerjaannya dengan cepat.
Suatu hari, Liu pergi berjalan-jalan. Di jalan ia bertemu dengan beberapa petani yang sedang bercakap tentang perkembangan padi mereka. “Padiku tumbuh dengan sangat baik sekali,” kata seorang petani. “Hampir delapan sentimeter tingginya sekarang.”
“Kalah dengan padiku!” timpal petani yang lain. “Padiku sudah delapan sentimeter tingginya!”
Mendengar itu, Liu cepat pulang ke rumahnya. Ia kemudian mengukur tinggi padinya. Padi itu tumbuh kuat dan sehat, namun tingginya hanya lima sentimeter. Liu memutuskan untuk mempercepat pertumbuhan padinya. Tanpa banyak pikir, ia menarik padinya dari tanah sampai lebih dari delapan sentimeter tingginya. “Sekarang padiku yang paling tinggi dari padi semua orang!” cetusnya. “Besok akan tumbuh lebih tinggi lagi!”
Keesokan pagi, Liu cepat pergi ke sawahnya untuk mengukur tinggi tanaman padinya. Seketika ia amat terkejut, menemukan tanaman padinya yang masih kecil mati semua.
Penduduk cepat mendengar kabar tentang padi Liu. Mereka tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Ucap mereka, “Itulah akibatnya kalau tidak sabaran! Hahaha!”
Kini, di Cina, kalau ada orang yang tidak sabaran, orang-orang akan berkata, “Jangan jadi penarik padi!”


CAHAYA RIMBA
(Dongeng dari Malaysia)

Oleh Endang Firdaus

Suatu ketika, di Malaysia, hidup seorang gadis yang sangat cantik. Salehah namanya. Ia putri seorang petani miskin. Suatu hari, ketika Salehah tengah membantu ayahnya menanam padi di ladang, Raja Muda lewat. Seketika putra raja itu berhenti saat matanya melihat Salehah. Lama sekali dipandanginya gadis itu. Ia begitu terpesona. Belum pernah ia melihat gadis sejelita Salehah.
“Aku akan memperistri gadis itu,” gumam Raja Muda. Segera ditemuinya ayah Salehah untuk mengutarakan keinginannya itu. Ayah Salehah sangat senang. Tanpa berbicara lagi dengan putrinya, ia menerima pinangan Raja Muda. Di benaknya, terbayang hidup keluarganya yang tak akan lagi susah, setelah Salehah menjadi istri lelaki itu.
Setelah Raja Muda pergi, cepat-cepat ayah Salehah menemui putrinya. Katanya penuh kegembiraan, “Salehah anakku, kau sungguh gadis yang sangat beruntung. Kau tahu, Raja Muda tadi menemui Ayah. Ia ingin memperistrimu. Berbahagialah kau. Ayah telah menerima pinangannya.”
“Apa?” seru Salehah sangat kaget. “Raja Muda ingin memperistri saya dan Ayah telah menerima pinangannya? Oh! Tahukah Ayah kalau ia telah mempunyai enam orang istri? Tidak, tidak, saya tidak mau menikah dengannya! Saya bukan gadis yang silau akan kekayaan!”
Ayah Salehah seketika sangat marah sekali mendengar itu. Dimarahinya Salehah habis-habisan. Sambil bercucuran air mata, Salehah kemudian meninggalkan ayahnya. Si Ayah membiarkan. Pikirnya, “Bila sudah melihat hadiah-hadiah indah dan berharga dari Raja Muda, ia pasti akan mau menjadi istrinya. Aku tak akan berkata apa-apa lagi padanya. Aku akan mempersiapkan pernikahannya.”
Hari pernikahan tinggal beberapa hari lagi. Tetapi Salehah tetap saja pada pendiriannya, tak mau diperistri Raja Muda. Hadiah-hadiah indah dan berharga tak membuatnya berubah dari pendirian. Sebetulnya, Salehah sudah punya kekasih. Hamzah namanya, anak tetangganya yang juga miskin seperti keluarganya. Salehah dan Hamzah tahu jika mereka tak akan diizinkan menikah oleh ayah Salehah. Hari pernikahan akhirnya tiba. Salehah dipakaikan pakaian serba merah. Kuku-kukunya pun diberi cat kuku berwarna merah.
Salehah sangat sedih. Ketika orang meninggalkannya seorang diri di kamar, gadis itu keluar rumah melalui jendela. Ia pergi ke puncak bukit yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sesampainya, dengan air mata tiada henti mengalir, Salehah menjatuhkan dirinya ke bawah. Teriaknya, “Hamzaaah!”
Orang-orang yang kemudian tahu Salehah hilang segera mencarinya. Mereka menemukannya terbaring kaku di kaki bukit. Ayah Salehah sangat sedih. Ia menyesali yang telah dilakukannya.
Setiap hari Hamzah kemudian datang ke tempat Salehah menjatuhkan dirinya. Ia menangis sedih. Suatu hari ia menemukan keanehan. Di tempat itu tumbuh sebuah pohon. Pohon itu sangat cepat sekali besar, dan kemudian berbunga. Bunganya indah dan berwarna merah, seperti warna pakaian yang dikenakan Salehah di hari pernikahannya. Hamzah menamakan bunga itu ‘Cahaya Rimba’. Bila pohon itu berbunga suasana rimba bak tengah terbakar.


TERKENAL KARENA KOPIAH
(Dongeng dari Afrika)

Oleh Endang Firdaus

Fez kota yang asri. Letaknya di tengah gurun pasir yang terpencil. Kota itu diperintah oleh Raja Moulay. Raja Moulay sangat mencintai kota dan rakyatnya. Ia ingin kotanya terkenal ke seluruh dunia.
Ucap Raja Moulay suatu hari pada Permaisuri, “Fez sebenarnya kota yang memikat. Pemandangannya indah. Mesjid-mesjidnya bermenara tinggi. Istananya pun elok. Meski letaknya di tengah padang gersang, tapi dialiri wadi (mata air di tengah gurun pasir). Kita tidak kekurangan air. Namun masih ada hal yang membuat aku merasa kurang puas.”
“Apa itu, Kanda?” tanya Permaisuri.
“Fez jauh dari tempat lain. Jalan menuju ke mari sangat sulit. Akibatnya Fez kurang dikenal orang. Aku khawatir, kelak Fez dilupakan orang. Kota ini akan menjadi kota mati.”
Suatu hari, Raja Moulay berpikiran untuk minta pendapat rakyat. Ia berharap di antara mereka ada yang mempunyai ide hebat. Maka dibuatnya sayembara: Yang bisa menciptakan ide agar Fez dikenang orang, akan mendapat hadiah empat kantung uang emas.
Semua orang di Fez lalu berpikir keras untuk mendapatkan hadiah itu. Dalam waktu tidak lama Raja sudah menerima beberapa ide. Seorang lelaki kemudian datang menghadap Raja dan mengutarakan usulnya. Tuturnya, “Raja Muluk, raja negeri tetangga, memiliki empat ratus istri. Itu membuatnya terkenal dan negerinya dikenang orang. Usul hamba, Yang Mulia harus menikahi lima ratus wanita. Dengan begitu, Yang Mulia akan lebih terkenal dibanding Raja Muluk. Kota Fez akan menjadi termashur pula.”
Raja tidak setuju usul itu. Setiap hari selalu ada ide yang diterimanya. Namun tak satu pun berkenan di hatinya. Suatu hari, seorang anak lelaki datang ke istana. Abou nama anak itu. Ia bertubuh kurus tak terawat dan berpakaian lusuh. Raja menerimanya. Ia berharap dari anak itu akan didapat hal yang diinginkannya. Tanyanya pada Abou, “Apa idemu?”
Abou mengeluarkan satu benda dari saku jubahnya. Benda itu semacan kopiah. Bentuknya bulat dan berpuncak datar. Warnanya merah cerah. Di bagian atas ada sebuah rumbai.
“Topi aneh apa itu? Hmh, kau ingin mengolok-olokku, ya?” tanya Raja sangat kesal.
“Tidak, Yang Mulia,” jawab anak itu tenang. “Topi ini akan membuat kota Fez terkenal.”
“Maksudmu?” tanya Raja ingin tahu.
“Coba ganti sorban Yang Mulia dengan kopiah ini,” ucap Abou. “Maka semua orang di Fez akan mengenakan kopiah ini. Mereka akan ikut-ikutan mengenakan apa yang dikenakan Yang Mulia.”
“Lalu bagaimana Fez bisa terkenal?” tanya Raja lagi.
“Yang Mulia, para pengelana yang datang ke Fez akan melihat warga kita mengenakan kopiah merah yang aneh ini. Setiap benda aneh selalu menarik perhatian. Mereka lalu ingin pula mengenakannya. Mereka membelinya di sini. Mereka mengenakannya dalam perjalanan selanjutnya. Orang-orang di negeri lain yang mereka singgahi ingin pula memiliki kopiah aneh ini. Apalagi setelah mereka merasakan betapa enak kopiah ini dipakai. Ringan, bisa menahan sengatan terik sinar matahari, dan memiliki rumbai untuk mengusir lalat.”
Raja Moulay membuka sorban, lalu menggantinya dengan kopiah itu. Benar. Kopiah itu ringan dan tidak panas. Raja lalu mengamati dirinya di depan cermin. “Wah, aku terlihat lebih tampan,” cetusnya dalam hati. Ia lalu kembali bertanya pada Abou, “Bocah, bagaimana bisa orang yang mengenakan kopiah ini akan selalu mengenang kota ini?”
“Sebab, saya menamakan kopiah itu fez,” ucap Abou.
“Tapi, bagaimana jika ada orang meniru kopiah ini lalu memberinya nama lain?” tukas Raja.
“Yang Mulia,” sahut Abou, “kayu merah cerah yang saya ambil kulitnya untuk membuat kopiah ini hanya tumbuh di Fez. Tidak tumbuh di tempat lain. Jadi hanya penduduk Fez saja yang bisa membuat fez asli.”
“Hahaha!” Raja tertawa. “Kau benar, Nak. Saat ini juga aku akan mengenakan fez. Jika ada orang ingin memakainya, ia akan memesan padamu. Kau akan memperoleh uang besar dari pesanan mereka. Dan sesuai janjiku, hadiah empat kantung uang emas, kuberikan padamu.”
Waktu berlalu. Kota Fez tak pernah dilupakan orang. Meski kopiah yang sampai sekarang disebut fez itu berbentuk aneh, tetapi orang tidak malu memakainya. Mereka bahkan bangga.


KISAH ORPHEUS SI PEMETIK LIRA
(Dongeng dari Yunani)

Oleh Endang Firdaus

Orpheus seorang pemusik hebat. Ia beristrikan seorang perempuan jelita nan lembut. Eurydice namanya. Ia dan Orpheus sungguh serasi. Kelembutannya mengimbangi irama musik yang keluar dari dawai-dawai lira Orpheus.
Suatu hari, Eurydice dan teman-temannya berjalan-jalan di tepi hutan. Sambil bernyanyi-nyanyi gembira mereka memetik bunga. Tiba-tiba terdengar suara mendesis. Seekor ular muncul. Eurydice tak sempat menyingkir. Si Ular mematuknya. Teman-temannya membawanya pulang. Malang. Eurydice tak tertolong. Ia menghembuskan napas terakhir di pangkuan suaminya.
Orpheus amat sedih kehilangan istrinya. Dicobanya menghibur diri dengan memetik liranya. Namun, jari-jemarinya tak mampu memetik dawai-dawai lira. Kesedihan yang sangat membuatnya tak bertenaga. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Eurydice ke Negeri Bawah Tanah, tempat bersemayamnya para roh. Tempat itu adalah Hades, Negeri Kematian. Raja Pluto dan istrinya, Prosperine, bertahta di situ. Maka berangkatlah Orpheus.
Orpheus tiba di Sungai Kematian. Sungai itu dijaga Charon. Ia tukang perahu yang mengantarkan para roh ke Hades. Charon tidak mau menyeberangkan Orpheus, sebab lelaki itu bukan roh. Orpheus lalu memetik lira. Dinyanyikannya lagu sedih. Si Tukang Perahu berlinang air mata karenanya. Ia lalu menyeberangkan Orpheus.
Di pintu gerbang Hades, seekor anjing menyeramkan menghadang Orpheus. Anjing itu sangat buas dan berkepala tiga. Ia menggeram marah. Ketiga kepalanya menyeringai seram, memperlihatkan taring-taringnya yang tajam. Anjing itu bersiap-siap menerkam Orpheus. Orpheus tak gentar. Dimainkannya liranya. Dinyanyikannya lagu yang menyayat hati. Si Anjing seketika luluh.
Orpheus memasuki pintu gerbang. Setelah melalui lorong nan panjang, gelap, dan berliku, ia sampai di hadapan Raja Pluto. Orpheus duduk bersimpuh lalu dimainkannya lira.
Orpheus menyanyikan kisah hidupnya, tentang bagaimana menderitanya ia setelah kehilangan istri tercintanya. Lagu itu begitu menyentuh hati Raja Pluto. Ia lalu mengizinkan Orpheus membawa istrinya ke dunianya. “Sebelum kau pergi,” pesan Raja Pluto, “dengarkan kataku ini. Bila belum melewati pintu gerbang Hades, kau tak boleh menengok ke belakang. Bila kau sampai melakukannya, maka Eurydice tidak akan pernah bersamamu selamanya.”
Orpheus mengiyakan. Ia berjalan di muka dan Eurydice mengikutinya di belakang. Tak ada yang bicara. Pintu gerbang telah terlihat. Tiba-tiba Orpheus merasa khawatir. Ia takut Eurydice tertinggal jauh di belakangnya. Tanpa banyak pikir ia menoleh ke belakang. Sekilas, Orpheus melihat Eurydice. Tangan perempuan itu menggapai. Bibirnya bergerak bak hendak berkata. Dan kemudian ia lenyap, kembali ke Negeri Bawah Tanah nan gulita.
Orpheus sangat menyesali perbuatannya. Tak ada yang bisa dilakukannya lagi kini selain kembali ke dunianya. Orpheus lalu mengasingkan diri di sebuah puncak gunung. Burung-burung, para binatang liar, serta pepohonan menjadi sahabatnya. Kerja Orpheus setiap hari hanya memainkan liranya. Lagu-lagu yang dinyanyikannya hanya lagu-lagu sedih.
Hari-hari berlalu. Suatu hari, Orpheus berjalan menyusuri kaki gunung. Ia lalu bertemu sekelompok wanita penari. Mereka tengah bersuka ria. Lagu-lagu gembira dinyanyikan. Saat melihat Orpheus membawa lira, mereka segera memintanya menyanyikan lagu-lagu gembira buat mereka.
Orpheus tak mempedulikan. Tanpa menoleh ia terus melangkah. Para wanita penari marah. Mereka melempari Orpheus dengan batu dan lembing. Orpheus tak melawan. Tubuhnya penuh luka. Lalu, dengan kejam, para wanita penari menceburkan Orpheus ke sungai. Sebelum tenggelam, lelaki itu memanggil-manggil nama istrinya, “Eurydice! Eurydice!”
Roh Orpheus sampai di Sungai Kematian. Charon dengan suka hati menyeberangkannya ke Hades. Lalu di pintu gerbang, si Anjing Buas menyambutnya penuh persahabatan. Akhirnya, Orpheus pun dapat berkumpul lagi dengan istrinya, Eurydice.


PETUAH PATUNG SINGA
(Dongeng dari Tibet)

Oleh Endang Firdaus

Wen dan Chen kakak beradik. Mereka hidup bersama ibu mereka di sebuah rumah besar dan mewah peninggalan sang Ayah. Almarhum ayah mereka adalah seorang pedagang sukses.
Wen anak yang cerdas. Namun ia suka mementingkan diri sendiri. Sementara sang Adik, Chen, tidak secerdas sang Kakak. Karena itu, Wenlah yang meneruskan usaha sang Ayah.
Suatu hari, Wen sangat marah pada Chen yang dianggapnya bodoh dan tidak berguna. Ia lalu mengusir Chen dari rumah. Penuh sabar, Chen menerima hal itu. Ia juga tak ingin terus bergantung pada sang Kakak. Namun, sang Ibu tidak terima. Jika Chen diusir, ia akan ikut bersamanya.
Chen dan sang Ibu pergi. Mereka pergi tanpa tujuan dan akhirnya sampai di sebuah hutan di kaki gunung. Mereka menemukan gubuk tak berpenghuni dan memutuskan tinggal di situ. Untuk menghidupi dirinya dan sang Ibu, Chen mencari kayu bakar, lalu dijualnya ke pasar.
Suatu ketika, Chen menaiki gunung untuk mencari kayu bakar. Tiba di sana ia menemukan sebuah patung singa. Pikir Chen, patung itu pastilah penunggu hutan dan gunung. Ia ingin mempersembahkan sesuatu untuk patung itu sebagai rasa terima kasih karena diizinkan mencari kayu bakar. Chen bercerita pada sang Ibu tentang patung itu dan mengatakan keinginannya. Esoknya, dibawanya dua batang lilin. Dibakarnya, lalu ia letakkan di kanan kiri patung. Chen berlutut. Ia berdoa memohon keberuntungan selalu menyertainya.
Tiba-tiba, patung singa itu bersuara, “Hohoho! Anak muda, apa yang kauinginkan?”
“Aku ingin berterima kasih atas diizinkannya aku mencari kayu di sini,” sahut Chen.
“Hmh, kalau begitu, besok, datanglah kau ke sini dengan membawa keranjang dan dua batang lilin.”
Keesokan hari, Chen membawa yang dikatakan patung itu. Dibakarnya lilin, lalu diletakkan di kiri kanan patung. “Bagus,” kata patung itu. “Sekarang, taruh keranjang di bawah moncongku.”
Chen melakukan.
Ucap patung itu, “Anak muda, dari moncongku akan keluar butiran emas. Kau harus hentikan sebelum keranjang penuh. Tak sebutir emas pun boleh tercecer. Jika terjadi, kau akan celaka.”
Moncong patung singa itu membuka lebar. Dari moncong itu lalu berjatuhan butiran emas ke keranjang Chen. Ketika keranjang itu hampir penuh dengan butiran emas, Chen dengan cepat menyuruh patung itu menghentikan mengeluarkan butiran emas tersebut.
Chen mengucapkan terima kasih pada patung itu. Penuh suka cita ia lalu membawa pulang keranjangnya yang berisi butiran emas. Sejak itu, Chen dan ibunya hidup berkecukupan. Namun, hal itu tak membuat Chen menjadi malas. Ia berdagang seperti yang dilakukan ayahnya.
Wen mendengar keberhasilan Chen. Ia dan istrinya lalu mengunjunginya. Meski Wen telah memperlakukannya dengan buruk, Chen tetap menerimanya dengan penuh ramah. Ia juga memberi tahu tentang patung singa itu pada Wen. Wen lalu bermaksud melakukan yang telah dilakukan sang Adik. Membawa dua batang lilin dan keranjang yang sangat besar Wen pergi ke tempat patung singa itu berada. Namun ia amat serakah. Ketika keranjang penuh, ia tak menyuruh patung itu berhenti. Akibatnya butiran emas berjatuhan di tanah.
“Oh, tolong aku! Ada bongkahan emas menyangkut di tenggorokanku!” rintih patung singa.
Wen ingin memiliki bongkahan emas itu. Cepat ia masukkan sebelah tangannya ke mulut patung itu untuk menolong. Tiba-tiba moncong patung itu menutup. Tangan Wen terjebak di dalamnya.
Sekuat tenaga Wen berusaha melepas tangannya, namun tak berhasil. Moncong patung itu tak mau membuka. Sementara butiran emas di dalam keranjang berubah jadi tanah dan batu.
Wen hidup dengan sebelah tangannya terjepit di moncong patung singa hingga berbulan-bulan. Istrinya datang hanya untuk membawakan makanan. Ia tak bisa menolong Wen. Begitu pula Chen. Suatu hari, sambil terisak, istri Wen menemui Wen. Ia mengeluh padanya kalau mereka telah jatuh miskin. Karena tak bisa meneruskan usaha Wen, istri Wen menjual barang-barang dan rumah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Patung singa tiba-tiba tertawa keras usai mendengar itu. Tangan Wen pun terbebas dari jepitan moncongnya. Penuh ketakutan, Wen dan istrinya berlari meninggalkan patung itu.
Chen menolong sang Kakak. Diberinya modal untuk kembali berdagang. Wen akhirnya menjadi saudagar kaya. Dan Chen, meski hidup berlimpah harta, tetap hidup sederhana.


SRI THANONCHAI YANG CERDIK
(Dongeng dari Thailand)

Oleh Endang Firdaus

Sri Thanonchai seorang yang pandai. Ia juga amat sederhana dan tidak sombong. Orang mengaguminya.
Ketika Raja mendengar tentang Sri Thanonchai, ia amat tidak percaya. “Akulah yang terpandai,” tukas Raja. “Tak ada orang yang lebih pandai dari aku.”
Raja bermaksud untuk mendatangi Sri Thanonchai. Dikenakannya pakaian yang lusuh. Dengan mengendarai gajah kesayangannya, ia lalu pergi ke rumah Sri Thanonchai yang ada di tepi sebuah sungai. Setiba di sana didapatinya Sri Thanonchai sedang asyik duduk di tangga rumahnya.
“Gajah Tuan sungguh bagus,” ujar Sri Thanonchai.
“Ini gajah kesayangan Raja. Aku bekerja dengannya.”
“Tuan pasti orang yang amat pandai.”
“Aku seorang menteri. Kepandaianku menyamai kepandaian Raja.”
“Ah, tidak mungkin kepandaian Tuan menyamai kepandaian Raja. Tak seorang pun yang bisa menyamai kepandaian Raja,” tukas Sri Thanonchai.
“Orang banyak berpendapat seperti itu,” ucap Raja. “Tapi, sebenarnya tidak begitu. Aku dengar kau pun orang yang amat pandai. Dan jika kau lebih pandai aku, berarti kau lebih pandai dari Raja.”
“Apa yang akan Tuan ujikan?”
“Begini,” berkata Raja. “Aku yakin kau tidak cukup pandai untuk bisa membuatku mau terjun ke sungai.”
Sri Thanonchai berpikir. Diperhatikannya sungai, lalu diperhatikannya Raja. Menggaruk-garuk kepala, ia lalu berkata “Saya benar-benar tidak bisa membuat Tuan mau terjun ke sungai. Sukar sekali,” keluhnya.
“Jadi aku lebih pandai darimu,” cetus Raja senang.
Sri Thanonchai memperhatikan Raja. Dialihkannya pandangan ke sungai. Ucapnya, “Saya memang tidak cukup pandai untuk membuat Tuan mau terjun ke sungai. Dan mungkin, akan lebih sulit lagi membuat Tuan yang berada di sungai untuk mau naik ke darat. Hanya orang yang paling pandai yang dapat melakukannya. Tapi saya merasa dapat melakukan hal itu.”
Mendengar itu, Raja cepat terjun ke sungai. Teriaknya, “Nah, apakah kau cukup pandai untuk membuatku mau naik dari sini?”
Sri Thanonchai tertawa. “Hahaha! Tuan dapat tinggal di situ selama saya kehendaki,” katanya. “Saya tadi membuat Tuan mau terjun ke sungai. Tentu mudah sekali membuat Tuan naik ke darat.”
Raja berenang ke tepi, lalu naik ke darat. “Sri Thanonchai, kau lebih pandai dari aku. Kau adalah orang yang paling pandai di negeri ini.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Tahukah kau siapa aku sebenarnya, Sri Thanonchai?” tanya Raja.
“Tidak, Tuan.”
“Aku adalah Raja.”
“Oh, maafkan hamba,” ucap Sri Thanonchai memberi hormat. “Hamba telah berlaku kurang ajar pada Tuanku.”
“Tidak apa,” ucap Raja. “Kau telah membuat mataku terbuka lebar, bahwa di dunia banyak orang pandai. Kini kau ikutlah ke istana untuk menjadi penasihatku, sehingga kepandaianmu dapat membantu negeri ini.”


KISAH TERJADINYA LAUT
(Dongeng dari Malaysia)

Oleh Endang Firdaus

Dulu, laut tak ada. Begitupula sungai. Hujan tak pernah turun. Tak ada air di bumi ini. Orang tak pernah minum atau mandi. Suatu hari, Bupati, Raja Bumi, ingin makan. Ia pergi ke hutan untuk berburu.
Bupati masuk ke dalam hutan dan tiba di sebuah bukit. Dilihatnya satu tonggak kayu besar. Di atas tonggak itu ada seekor kera. Ucap Bupati pada kera itu, “Hei, Kera! Aku lapar sekali! Aku akan memakanmu!”
Mendengar itu, Kera sangat terkejut. “Jangan, Bupati! Carilah makhluk yang dagingnya lebih enak daripada aku. Aku kecil dan kurus. Dagingku sangat liat,” tukas Kera.
Bupati tak peduli. Ucap Kera, “Baik kalau kau mau memakanku! Setelah itu kau akan merasa perutmu bak terbakar karena haus! Kau tak akan menemukan air! Kau akan dan lalu mati!”
Selama ini Bupati tak pernah merasa haus. Karena itu, ia tak peduli akan ucapan Kera. Maka dibunuhnya binatang itu, lalu dimakannya. Tiba-tiba, ia merasa haus. Kerongkongannya seperti dibakar. Lidahnya menjadi bengkak. “Oh, aku haus sekali! Aku harus mencari air! Kalau tidak, aku bisa mati!” cetus Bupati. Ia lalu pergi mencari air, namun ia tak menemukan. Tak ada mata. Tak ada tumbuhan atau akar-akar yang berisi air.
Ketika lewat di dekat tonggak kayu besar tempat ia menemukan Kera, Bupati mendengar bunyi gemericik dari tonggak itu. Dipanjatnya tonggak. Dimasukkannya kakinya ke dalam lubang yang ada di dalam tonggak. Ia terkejut. Kakinya menyentuh benda sejuk dan lembut. Bupati membungkuk. Dirabanya benda sejuk dan lembut itu dengan tangannya. “Air!” serunya. Bupati minum air itu sepuasnya, sampai rasa hausnya hilang.
Satu suara kemudian terdengar dari bawah kaki Bupati, “Bupati, keluarkan aku dari dalam tonggak ini. Aku berada di sini sejak dulu kala. Kalau kau mengeluarkan, kau tak akan pernah kehausan lagi.”
Bupati memasukkan kepalanya ke dalam lubang di tonggak itu dan ia melihat seekor penyu. Bupati merasa kasihan. Penyu itu dikeluarkannya, lalu diletakkan di atas tanah.
Air memancar deras dari tubuh penyu itu. Segera lembah-lembah dipenuhi air. Dataran rendah menjadi banjir. Air itu terus bertambah banyak. Akhirnya bukit-bukit tenggelam.
Bupati ngeri melihat itu. Cetusnya, “Hei, Penyu, mengapa bumi kau buat banjir? Lihat rakyatku banyak yang mati lemas!”
Penyu menjawab, “Sudah lama aku menunggu saat ini, saat aku melaksanakan tugas yang diberikan padaku.”
Bupati amat marah. Bentaknya, “Kau disuruh untuk menghancurkan dunia ini?” Ia lalu memanggil Gajah. Ujarnya, “Hei, Gajah, bunuh penyu itu! Jika ia hidup terus, seluruh permukaan bumi akan dipenuhi air! Jika itu terjadi, tak akan ada lagi tanah untuk tempat tinggal kita dan untuk tumbuh-tumbuhan!”
“Baik, Raja Bumi. Akan kuinjak penyu itu sampai mati!” sahut Gajah. Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi, lalu sekuat tenaga ia menginjak Penyu. Penyu lenyap tak berbekas.
Bupati amat gembira. Katanya, “Bagus! Aku akan memberimu hadiah besar!” Tapi saat ia akan pulang ke rumahnya yang terletak di dataran tinggi, Penyu muncul di hadapannya. Tadi sewaktu Gajah hendak menginjaknya Penyu cepat menggali lubang, lalu masuk ke dalamnya.
Air kembali memancar dari tubuh Penyu. Bupati cemas. Gumamnya, “Gajah, rakyatku yang paling kuat, tidak bisa membunuhnya! Oh, siapa yang bisa membunuhnya?”
Badak datang. Ucapnya, “Raja Bumi, aku yang akan membunuh penyu itu! Akan kubelah tubuhnya dengan culaku!”
Namun air yang memancar dari tubuh Penyu deras sekali. Badak tak bisa mendekatinya. Bupati meminta bantuan Kerbau dan Harimau, tetapi keduanya pun tak bisa membunuh Penyu.
Pelanduk datang menemui Bupati. Ia berkata, “Raja Bumi, aku akan membunuh penyu itu sebelum bumi ini musnah!”
Tukas Bupati, “Bagaimana kau akan membunuhnya? Kau cuma binatang kecil! Binatang-binatang besar dan kuat saja tak ada yang bisa membunuhnya.”
“Aku punya cara untuk membunuhnya,” jawab Pelanduk. “Aku minta Raja Bumi dan seluruh pelayan menyingkir dulu dari sini. Aku akan melakukan sesuatu untuk membunuh Penyu.”
Bupati dan semua pelayannya menyingkir dari tempat itu. Pelanduk lalu duduk menunggu. Melihat sekelilingnya sepi, tak ada siapa pun kecuali Pelanduk, Penyu berkata, “Mengapa semua musuhku kabur?”
“Mereka semua sangat takut padamu. Mereka pergi ke gunung untuk menyelamatkan diri,” kata Pelanduk.
“Akan kukejar mereka ke mana pun pergi, sehingga tak ada seorang pun yang hidup! Semua tempat akan kupenuhi air!” cetus Penyu.
Penyu berhenti memancarkan air. Dipejamkannya mata untuk beristirahat. Dengan cepat Pelanduk melompat naik ke punggung Penyu, lalu memukul-mukul punggung binatang itu dengan kukunya yang tajam. Kulit Penyu berlubang-lubang. Akhirnya ia mati. Maka, Pelanduk pun dapat menyelamatkan dunia. Bupati memberinya gelar Wazir Agung!
Sejak itu, laut dan sungai pun ada dan membawa kebaikan pada seluruh makhluk yang hidup di dunia.






No comments:

Post a Comment