Friday, January 31, 2014
Kisah Nyata
TERPERANGKAP DALAM BADAI
Diceritakan kembali oleh Endang Firdaus
“Badai Allen telah berputar ke utara dan akan berada di antara Jamaica-Cuba pada hari Kamis. Saat itu, angin akan bertiup dengan kecepatan 200 mil per jam. Diingatkan kepada semua kapal yang berada di perairan selekasnya berada di pelabuhan.”
Bob Harvey mendengarkar siaran radio itu dengan penuh perhatian di atas kapalnya. Ternyata laporan cuaca yang disiarkan kemarin salah. Badai tidak bergerak ke selatan. Harvey menjadi cemas. Ia naik ke kokpit dan katanya pada Barry Gittelman, “Kita akan berada dalam badai.”
Bagi Harvey, Gittelman, Matthew St. Clair, dan Mike Munroe, pelayaran yang tengah mereka lakukan, amatlah menyenangkan. Mereka telah melewati Selat Florida dan daerah Bahama, menuju tanah jajahan Inggris, Belize. Tiga hari sudah pelayaran mereka. Selama itu Harvey terus mengikuti perkembangan cuaca. Setelah laporan cuaca terakhir yang diikutinya, ia tahu harus secepatnya mereka mencapai pantai Jamaica. Kalau tidak, mereka akan terperangkap dalam Badai Allen yang ganas.
Tiba-tiba gulungan awan hitam yang cepat melintas rendah di permukaan laut. Harvey dan teman-temannya segera menurunkan kain layar dan menggerakkan kapal ke arah pantai Jamaica. Tak ada lagi senda gurau. Angin besar dan badai telah mengelilingi mereka.
Waktu keempat lelaki itu melihat batu karang di pantai Jamaica, tinggi gelombang telah mencapai 20 hingga 25 kaki. Dengan teropongnya Gittelman mempelajari pelabuhan Port Antonio. Tampaknya sukar sekali untuk mencapai tempat itu. Di dalam titik-titik hujan dan hembusan angin dilihatnya putaran angin menimbulkan gelombang besar. “Kita tidak dapat memasuki pantai!” Ia memberi tahu teman-temannya. “Kita akan hancur jika mencoba untuk ke sana. Kita harus bertahun di sini.”
Tiga jam kemudian, saat badai datang, mereka berada 20 mil dari pantai. Gittelman berusaha keras mengendalikan kapal. Air berhamburan ke kokpit, membuat basah Harvey dan Munroe yang tengah memasang tali penyelamat.
Badai kian menggila. Kapal terhempas tinggi, lalu dijatuhkan. Sebuah potongan balok menghantam dek hingga rusak. Pada tengah malam kecepatan angin semakin tinggi. Ombak semakin besar. Sungguh mengerikan. Tiba-tiba kapal diterbangkan ombak raksasa, dan dihantam angin yang amat keras. Harvey dan teman-temannya berpegang erat pada tali penyelamat. Tak lama kapal kembali turun. Munroe menangkap tangan Gittelman dan tanyanya, “Kau takut?”
Gittelman tersenyum kecut. “Tidak!” ucapnya.
“Baiklah. Kalau kau takut, beri tahu aku!”
Bagaimana kalau aku memasang radio untuk meminta bantuan? Gittelman berkata pada dirinya. Tidak. Panggilan itu tidak berguna. Tak akan ada yang menangkapnya sampai badai reda sama sekali.
Pada pukul 2 pagi hari Rabu kapal kembali berada pada puncak ombak besar, yang kemudian membantingnya ke bawah. Karena kehabisan tenaga, Gittelman kehilangan pegangannya pada kemudi. Ia tersungkur dan jatuh ke lantai. Untung ia masih bisa menangkap tali penyelamat, hingga ia tergantung di sisi kapal.
Harvey dan Munroe memburu ke arah Gittelman. Saat kapal oleng ke kanan, mereka telah berada di dekatnya. Sedikit demi sedikit mereka menariknya ke atas. Mereka berhasil membawanya ke dek. Kemudian membaringkannya di kokpit. Beberapa menit setelah itu, Gittelman bangkit dan memegang pundak Munroe. “Sekarang aku merasa takut,” ucapnya pelan. Ia lalu kembali pada kemudi.
Tak lama kemudian angin kembali menerjang kapal. Ombak semakin ganas, menghempaskan kapal tinggi sekali seakan terbang. Di kabin, St. Clair menghantam dinding ketika kapal jatuh kembali. Air memancar dari sisi kapal. Bergegas, ia membawa dirinya ke tempat pemancar radio. “Mayday! Mayday! Mayday!” teriaknya. Kemudian ia naik ke dek. Setiba di sana ia hampir tidak dapat mempercayai penglihatannya. Cahaya kecemasan memenuhi langit malam. Hujan menyapu wajahnya seperti hantaman butiran peluru. Suara petir, hembusan angin dan debur ombak, mengusik perasaannya. Tak ada pemisah antara langit dan laut. Semua tertutup oleh buih-buih putih.
Kini kapal dalam keadaan tenang. Namun bagian bawahnya telah penuh air dan siap untuk tenggelam. Gittelman, memberi tanda. “Kita harus secepatnya menyiapkan rakit penyelamat!” Ia berseru pada teman-temannya.
Dengan pisau lipatnya St. Clair memutuskan tali yang menggantung rakit penyelamat. Tiba-tiba, angin bertiup keras. Sepotong balok besar, menghantam bagian samping tubuhnya. Ia mendengar bunyi yang keras. Tulang rusuknya patah! Dirinya terluka. Namun tak ada waktu untuk memikirkan itu. Dengan langkah diseret ia mendorong rakit ke sisi kapal dan menurunkannya ke air dengan tali penyelamat.
“Ayo!” Gittelman berteriak. Ia melihat Harvey mendapat kesulitan. Harvey berseru pada teman-temannya agar jangan menghiraukannya. Ia menyuruh mereka segera bertindak, bahwa ia dapat menyelesaikan pekerjaannya. Gittelman sadar, mereka tak boleh ragu. “Ayo!” teriaknya. Dan satu demi satu ketiga lelaki itu melompat ke laut yang ganas dan naik ke rakit.
Ketika kapal mulai tenggelam, Harvey telah berhasil mengatasi kesulitan dan segera terjun ke laut. Ia mencari rakit, namun jarak dirinya dengan rakit itu terlalu jauh. Bahkan, kelihatannya akan semakin jauh. Munroe melihat, bahwa Harvey dalam bahaya. Diikatnya tali pada rakit. Memegang ujung tali yang lain, ia pun melompat ke air dan berenang ke tempat Harvey. Ketika Harvey hampir dihempaskan ombak, jemari Munroe berhasil menangkap tangan Harvey dan segera membawanya ke rakit.
Dari atas rakit keempat lelaki itu memperhatikan kapal mereka yang semakin tenggelam. Sementara angin dan ombak semakin mengamuk. Harvey dan teman-temannya benar-benar harus berjuang mempertahankan hidup. Tiba-tiba angin dan ombak berhenti mengamuk. Rakit terapung tenang. St. Clair menatap tajam ke atas. Bintang bergemerlap cerah. “Kawan-kawan,” cetusnya, “kita telah separuh terbebas dari badai yang sangat mengerikan. Kita masih harus waspada.”
Keempat lelaki itu memakan makanan yang masih ada. Mereka juga masih mempunyai 10 ons kaleng air segar, dua kaleng kecil kembang gula, sebuah senapan suar dengan delapan suar dan sebuah lampu sorot. Setelah selesai makan mereka mendengar deru angin yang mendekat. Kemudian ombak bergerak ke arah mereka dan menerjang rakit dengan dahsyat. Keadaan tampak lebih buruk dari sebelumnya.
Akhirnya, ketika fajar datang pada hari Rabu, kecepatan angin mulai menurun dan ombak mereda. Badai Allen yang ganas telah dihadapi Harvey dan teman-temannya. Namun, di mana kini mereka berada? Gittelman tahu mereka berada jauh dari batas pelayaran normal, dan sekurangnya 40 mil dari daratan terdekat. Lebih buruk, kapal mereka telah lenyap ditelan laut, sehingga kemungkinan orang mencari mereka amatlah tipis.
Semua merasa letih dan dingin. St. Clair, mengalami patah tulang rusuk. Gittelman dan Munroe sakit akibat terlalu banyak minum air laut. Munroe muntah darah, pertanda bahwa luka lama pada perutnya pecah kembali.
Menjelang sore, rakit bergerak tenang. Saat gelap datang, mereka mencoba tidur. Tetapi hembusan angin yang menerpa tubuh mereka menyebabkan mereka tak dapat tidur. Melihat Gittelman dan Munroe, St. Clair sadar kalau keduanya demam. Ia mengusap dada Munroe dan memberinya minum. Harvey melakukan hal yang sama pada Gittelman.
Ketika matahari muncul pada Kamis pagi, air mereka tinggal sedikit. Pada siang hari keempat lelaki itu dalam keadaan setengah sadar karena haus, lapar, letih, dan dingin. Segera sebelum gelap St. Clair terbangun mendadak. “Suara apakah itu?” gumamnya. Dengan penuh ketakutan, ia menatap ke sekeliling. “Aku tidak melihat apa-apa,” ucapnya. “Cahaya-cahaya itu hanya berasal dari bintang-bintang.”
Mereka telah menghabiskan air yang tersisa. Gittelman dan Munroe berada di luar sadar. Harvey tidur gelisah, kemudian bangun dan menatap lurus ke depan. Dilihatnya beberapa cahaya gemerlap. Tampak beda dari bintang-bintang. Namun, seperti lampu kapal yang berlarian. “Sekarang, aku yang berada dalam halusinasi,” pikirnya. Ia memperhatikan cahaya-cahaya itu beberapa lamanya dan tidak berani membangunkan yang lain. Kemudian, ia menggoyangkan St. Clair. “Aku kira di sana ada sebuah kapal,” ia berkata. “Coba lihat!”
Tanpa menjawab St. Clair mengambil senapan suar. Namun senapan itu telah kemasukan air. Akankah dapat bekerja? Ia mengarahkannya ke atas dan melepas tembakan. Ada satu ledakan menyengat. Dan detik berikut, langit malam terang benderang oleh sinar berwarna merah.
Cahaya-cahaya yang dilihat Harvey terus bergerak. Satu demi satu St. Clair menyalakan sisa suar yang tujuh. Berkata Harvey, “Aku kira … kapal itu sedang … berbalik perlahan!”
Dua puluh menit kemudian sebuah lampu pencari menembus kegelapan, mengarah pada keempat lelaki kurus di atas rakit yang terapung-apung. Dengan sinar lampu itu, mereka dapat melihat jelas nama kapal itu: Jastella. Sebuah kapal minyak Norwegia.
Harvey dan teman-temannya diangkut ke atas kapal dan dikirim ke sebuah rumah sakit di Pulau Cayman Brac, dekat Inggris. Keempatnya segera mendapat perawatan.
Setelah sembuh, mereka baru tahu kalau Badai Allen adalah badai kedua terkuat di samudera Atlantik. Badai ini menimbulkan kerugian lebih dari 300 juta dolar, serta membawa korban jiwa 236 orang. Namun keempat lelaki yang hanya dalam sebuah kapal kecil, berhasil selamat dari pembunuh yang mematikan itu. Sungguh suatu keajaiban!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment