DI ANTARA HIU-HIU
Oleh Endang Firdaus
Udara begitu cerah. Dengan boat kecil, Bramanca meninggalkan Ketapang, menuju Tanjungpandan. Sebuah kompas dan satu walky-talky mendampinginya. Enam mil ke tujuan, mendadak langit gelap. Hujan turun amat lebat. Angin bertiup kencang sekali. Jarum kompas berputar. Bramanca merasa ngeri.
Ia kehilangan arah.
Bramanca menyetel radio.
“Mayday, mayday!” panggilnya.
Dan mendapat jawaban.
Sebuah helikopter SAR segera bergerak, dan berhasil menemukan Bramanca. Pilot pesawat, Letnan Sarifudin, dengan cepat menurunkan tangga tali. Bramanca berusaha menjangkau. Ia hampir berhasil apabila ombak besar tak menghantam boat. Bramanca terlempar ke geladak. Keningnya menimpa lantai, dan luka. Dan ketika ombak besar kembali menerjang, boat terbalik, dan lenyap.
Letnan Sarifudin menyalakan lampu sorot.
Tak terlihat apa-apa.
Ko-pilot Kusnadi memeriksa bahan bakar. Jarum menunjukkan hampir habis. Tepat jam 6 sore helikopter kembali ke pangkalan. “Kita kembali setelah mengisi bahan bakar,” berkata Letnan Sarifudin.
Bramanca yang mengalami naas terlempar ke laut saat boat terbalik. Beruntung ia memakai jaket pelampung. Tubuhnya baru muncul setelah helikopter pergi. Ia, yang pernah mengikuti latihan penyelamatan di laut, tahu cara menghemat tenaga. Tapi setelah 30 menit ia mulai menggigil. Kakinya terasa kaku. Di antara ombak ia tahu akan sulit bagi team SAR menemukannya. Sementara, luka di keningnya terus mengucurkan darah. Bramanca tahu hal itu dapat mengundang datangnya kawanan hiu. Ia harus menyelamatkan hidup. Ia tak mau menyerah. Kalau memang harus mati di sini, doanya. Tuhan, ampunilah segala dosaku.
Tiba-tiba ia merasa satu hantaman keras pada kakinya. Seekor hiu! Bramanca diam. Mereka datang, gumamnya. Mereka pasti kembali. Pukul 10 malam ia merasa jaket pelampungnya mulai hilang kekuatan. Ia berusaha agar kepalanya berada di permukaan air.
Tetes air hujan ditelannya.
Air laut memedihkan matanya.
Ia berdoa tak putus-putus.
Langit kembali terang.
Bramanca melihat bintang-bintang yang gemerlapan di angkasa. Satu bintang tampak terpisah dari yang lain, bergerak ke arahnya. Mungkin bintang itu menunjukkan padaku ke mana aku harus pergi, pikirnya. Ya, Tuhan, selamatkan hambaMu yang tak punya daya ini.
Selesai mengisi bahan bakar, Letnan Sarifudin membawa helikopter kembali ke tempat kecelakaan. Sebuah helikopter angkatan laut menemani. Pencarian tak membawa hasil. Mereka lalu kembali. Pencarian akan dilakukan esok pagi. Di laut, Bramanca membayangkan angkasa dipenuhi pesawat yang mencarinya.
Tengah malam lewat.
Satu hantaman di kakinya membuat Bramanca seketika panik.
Kembali seekor hiu muncul.
Saat fajar, sekumpulan hiu bergerak ke arahnya.
Seekor hiu sapi menyerang.
Bramanca melawan. Dijejakkan kakinya dan berhasil menghantam kepala si hiu.
“Aku belum ingin mati!” serunya.
Lalu dua ekor hiu sapi kembali menyerang. Keduanya berhasil dihalau oleh jejakan kakinya. Kemudian seekor hiu martil menyerang. Dan berhasil diusirnya. Bramanca sangat ngeri saat hiu biru muncul. Tubuhnya gemetar hebat. Ia lega sewaktu makhluk itu pergi.
Bramanca merasa tenaganya kian lemah. Hiu-hiu itu telah membuat tenaganya terkuras. Luka di keningnya pun kian parah. Sayup-sayup di kejauhan terdengar deru mesin. Lalu dilihatnya sebuah helikopter. Namun segera lenyap dari pandangan. Tak lama muncul kembali. Tampak tengah mengadakan pencarian. Ketika helikopter itu berada pada jarak setengah mil, Bramanca melambai-lambaikan jaket pelampungnya.
Pesawat mendekat.
Lalu berada di atasnya.
Bramanca terus melambai-lambaikan jaket pelampungnya, sambil berusaha agar kepalanya tetap berada di permukaan air. Keluhnya, “Kenapa mereka tak juga melihatku?” Di pesawat, Letnan Sarifudin mengarahkan pandangannya ke bawah, berharap dapat melihat boat Bramanca. Tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang timbul tenggelam di antara ombak.
“Lihat ada orang di sana!”
Dikirimnya radio ke kapal penjaga pantai.
Ko-pilot Kusnadi melemparkan alarm asap untuk menuntun kapal penjaga pantai ke lokasi. Di bawah, ia melihat Bramanca berenang mati-matian. Di belakang laki-laki malang itu seekor hiu besar membuntuti. Letnan Sarifudin sangat cemas. Serunya pada kapal penjaga pantai melalui radio, “Cepat! Seekor hiu sedang membuntuti orang itu!”
Kapal penjaga pantai melaju kencang ke tempat Bramanca. Si hiu menjauh. Ketika dekat segera diturunkan tangga. Bramanca berusaha meraih, dan berhasil. Ia bergantungan, tak mampu memanjat. Dua orang turun membantu. Bramanca berhasil dinaikkan ke kapal.
Saat itu pukul 9 pagi.
Berarti, Bramanca telah terapung di laut selama lebih dari 15 jam.
Ia lalu dibawa ke rumah sakit di Tanjungpandan. Setelah sembuh keluarganya membawanya pulang. Katanya pada mereka, “Tak percaya aku bila aku masih hidup. Tuhan, terima kasih.”
No comments:
Post a Comment