BERSANDIWARA DEMI KEBAIKAN
Oleh Endang Firdaus
Seorang lelaki miskin bekerja membanting tulang, namun penghasilannya tetap kecil. Maklum ia tinggal di desa yang juga miskin. Maka terpikir olehnya untuk mengadu nasib di kota. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada keluarga, kerabat, dan para tetangga, lelaki itu meninggalkan rumahnya.
Perjalanan yang ditempuh lelaki itu amat panjang. Sampai di kota ia segera mencari pekerjaan. Pintu demi pintu rumah penduduk dimasukinya. Pekerjaan apa saja ia jalani, tak ia peduli betapa beratnya, dan itu dilakukan dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya. Karena kebutuhannya tak banyak, ia pun dapat menabung. Sisa belanja sehari-hari ia simpan dalam sebuah karung kecil. Setiap kali ia memasukkan uang ke dalam karung itu, ia berkata dalam hati, “Kalau tabunganku sudah cukup, aku akan menengok keluargaku di desa.”
Beberapa tahun kemudian lelaki itu sudah berhasil menyimpan uang seribu tanga. Bagi seorang macam ia, uang sejumlah itu sudah besar sekali. Maka ia mulai merasa khawatir akan keselamatan uang itu. “Bagaimana jika saat aku pergi uang itu dicuri orang?” pikirnya. “Tidak mungkin pula aku membawa-bawa uang itu ke mana-mana. Bisa-bisa dirampok orang di jalan. Kalau kukubur, siapa tahu ada orang yang memergokinya lalu diam-diam membongkarnya.” Meskipun lelaki itu sudah memeras otak tetapi ia tak mendapatkan jalan keluar. Akhirnya ia teringat pada Hakim. “Uangku pasti aman disimpan di rumah Tuan hakim,” pikir lelaki itu. “Bukankah ia orang paling bijaksana, paling jujur, dan paling bisa dipercaya? Nanti kalau aku hendak pulang, baru aku akan memintanya kembali.”
Maka lelaki itu pergi menemui Hakim. Disampaikannya maksudnya menitip uang di rumahnya. Hakim tidak keberatan. Diterimanya karung berisi uang seribu tanga, kemudian dimasukkannya ke dalam sebuah peti besar dan kokoh. “Di rumah ini uangmu akan aman,” ucap Hakim. “Kau boleh mengambilnya kapan saja. Kau tak usah berpikir akan memberiku persen berapa. Lupakan. Sudah menjadi kewajiban seorang hakim melindungi dan mengayomi orang-orang miskin sepertimu.”
Waktu berlalu. Suatu hari, si Lelaki Miskin berniat menengok keluarganya di desa. Ia mendatangi Hakim dan berkata, “Tuan Hakim, saya hendak mengambil uang saya. Besok saya akan pulang kampung.”
Hakim memandangi lelaki itu, lalu katanya, “Uang apa yang kau maksud?”
“Uang seribu tanga yang saya titipkan pada Tuan.”
“Kau pasti linglung,” tukas Hakim. “Kapan kau menitip uang padaku? Dan sungguh tak masuk di akal. Bagaimana mungkin lelaki miskin macam kau bisa memiliki uang sebanyak itu. Seribu tanga. Itu bukan jumlah yang kecil.”
Lelaki itu mencoba mengingatkan Hakim saat ia menyerahkan uang dalam karung serta apa yang mereka bicarakan. Hakim tak mau mendengar. Ia berteriak memanggil para pengawal, “Lelaki ini tukang peras! Ringkus ia! Lemparkan ke jalanan!” Para pengawal cepat meringkus lelaki itu, memukulinya, kemudian mencampakkannya ke jalanan.
Lelaki itu tergeletak di tanah. Air mata menetes membasahi pipinya. Ucapnya penuh sedih, “Oh, lenyap sudah semua jerih payahku. Uangku amblas. Tuan Hakim telah merampasnya.”
Seorang wanita yang kebetulan lewat mendengar ucapan lelaki itu. Ia menghampiri dan bertanya, “Apa yang telah terjadi, Pak?”
Wanita itu merasa kata-kata lelaki itu bisa dipercaya. Maka ia mempunyai rasa tanggung jawab untuk menolongnya. Ia berpikir keras, mencari akal bagaimana membantu lelaki itu memperoleh kembali miliknya. Akhirnya ia mendapatkan.
Wanita itu mengajak lelaki itu ke rumahnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak besar. Ucapnya pada anak lelakinya, “Ibu akan pergi ke rumah Tuan Hakim bersama lelaki ini. Kau mengikuti dari belakang. Jaga jarak agar jangan diketahui orang. Bila kami sampai di rumah Tuan hakim, kau sembunyi dan tunggu. Begitu kau melihat Tuan hakim merentang tangan untuk menerima kotak ini, larilah masuk dan berserulah, ‘Ayah sudah pulang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!’”
Anak lelaki itu mengangguk patuh. Wanita itu kemudian menaruh kotak besar di atas kepala. Bersama si Lelaki Miskin ia lalu melangkahkan kaki ke rumah Hakim. Anak lelakinya mengikuti di belakang dalam jarak agak jauh. Di depan rumah Hakim, wanita itu berkata pada si Lelaki Miskin, “Aku masuk lebih dulu, kau belakangan.”
Wanita itu melangkah memasuki rumah Hakim. Hakim memandangi kotak besar di atas kepalanya dan bertanya, “Apa maksud kedatangan Nyonya ke mari?”
Wanita itu menjawab, “Mungkin Tuan Hakim pernah mendengar nama suami saya. Suami saya bernama Rahim. Ia saudagar yang kaya raya. Saat ini ia sedang memimpin kafilah ke negeri yang jauh, dan saya tidak tahu kapan akan kembali. Sudah beberapa malam saya tidak bisa tidur. Banyak orang tak dikenal mengitari rumah kami setiap malam. Saya yakin, mereka para penjahat yang hendak merampok harta kekayaan kami. Kotak ini berisi seluruh uang kami, perhiasan emas, dan batu mulia. Sangat berat membawanya sampai ke mari. Tapi bagaimanapun, harta ini harus disimpan di tempat aman, sampai suami saya pulang.”
“Nyonya hendak menitip kotak itu di rumah saya?” tukas Hakim.
“Ya,” jawab wanita itu.
Hakim mencoba mengangkat kotak itu. Berat sekali. Hakim mengira-ira isinya paling tidak empat puluh atau lima puluh ribu tanga, belum termasuk perhiasan dan batu mulia. Dan rasa-rasanya ia pernah mendengar nama Rahim, suami wanita itu. Ia pun bersedia dititipkan kotak itu. Katanya, “Bila Nyonya kelak memintanya kembali, percayalah, tak akan ada satu tanga pun akan pindah ke tangan saya. Nyonya boleh mengambilnya utuh-utuh.”
Wanita itu terlihat ragu-ragu. Diambilnya kembali kotak dari tangan Hakim. Tanyanya, “Apakah ada jaminan bahwa perkataan Tuan bisa dipercaya?”
Ketika itulah tiba-tiba muncul di hadapan Hakim si Lelaki Miskin. Hakim merasa amat senang karena dengan begitu ia akan bisa membuktikan kejujurannya pada si Wanita. “Aku akan menyerahkan kembali uang seribu tanga titipan lelaki itu, sebagai gantinya aku akan memperoleh sekotak harta. Hehehe!” gumamnya. Seru Hakim pada si Lelaki Miskin, “Hei, bukankah engkau lelaki yang telah menitipkan uang seribu tanga padaku beberapa waktu lalu? Tadi pagi kau datang menagih, tapi aku lupa wajahmu. Jadi kupikir kau orang jahat dan kutolak. Maaf, atas perlakuanku tadi. Ini uang titipanmu. Satu tanga pun tidak ada yang kuambil.”
Seolah-olah sudah merasa yakin, wanita itu mengulurkan kotak ke tangan Hakim. Hakim mengulurkan tangan untuk menerima. Tangannya belum sempat menyentuh kotak itu saat tiba-tiba seorang anak lelaki berlari masuk, dan berteriak, “Ibu, cepatlah pulang! Ayah telah datang bersama rombongan unta dan barang-barang dagangan!”
“Ayahmu sudah kembali?” seru wanita itu. Ia menarik kembali kotak. Ucapnya pada Hakim, “Maaf, Tuan Hakim, rasanya saya tak perlu lagi menitipkan kotak ini di rumah Tuan. Suami saya bisa menjaganya.” Ia lalu menaruh kotak di atas kepala kembali, kemudian bergegas meninggalkan rumah Hakim. Anak lelakinya dan si Lelaki Miskin mengikuti.
Hakim terlongong bengong. Oh, jika saja kotak harta itu sudah berada di tanganku sebelum Rahim datang, gumamnya berulang-ulang. Rasa kecewanya lalu berkepanjangan. Ia akhirnya tak bisa melakukan tugasnya. Kedudukannya sebagai hakim dicopot dengan tidak hormat.
Tuesday, December 30, 2014
Wednesday, December 24, 2014
Folktales from West Java
THE STORY OF DESA PANYALAHAN
By Endang Fiedaus
There was once a young couple. The husband was a farmer. He and his wife lived happily with their baby. The couple had some animals. One of them was a tiger. If the couple went to field, he looked after their baby.
One day, the husband said to the tiger, “We will go to the field. Look after our baby.”
The tiger nodded.
The couple then went to the field.
Afternoon came. The couple arrived home. The tiger welcomed them. He wagged his tail. He then rubbed his body to the couple’s legs. He looked too happy. The husband felt an odd thing had happened. “Why is this tiger seen strange? His behavior is not as usual,” he said in his heart.
The husband looked at the tiger. Instantly he was shock. He saw the tiger’s mouth was full of blood. He looked at it in wide eyes. His body was trembled. He then remembered his baby. “Why is your mouth full of blood?” he asked the tiger. “You must do the bad thing to my baby! You have killed him! Why do you do that! You are not an ungrateful creature!”
“You are wicked!” said the wife to the tiger.
The husband drew his chopping-knife. Full of angry he killed the tiger.
The couple went inside their house. Immediately they opened their mouths with perplexity. They then looked at each other. They found their baby was sleeping in his cradle.
Quickly the wife took the baby. She kissed him.
The baby was waked up. He opened his eyes and then smiled.
The couple then opened their eyes widely as they found a dead large snake under the cradle. The snake was full of blood.
“My wife,” the husband said, “we have done wrong act. The tiger is not guilty. Look at the dead snake. The tiger has killed him. He killed the snake, as he wanted to harm our baby. He has saved our baby, but I have killed him. I am very sorry. Forgive me my tiger.”
As not investigate in advance the husband had done wrong act. Since then, the couple’s village called Panyalahan. Panyalahan word comes from nyalahan word with meaning wrong anticipate.
By Endang Fiedaus
There was once a young couple. The husband was a farmer. He and his wife lived happily with their baby. The couple had some animals. One of them was a tiger. If the couple went to field, he looked after their baby.
One day, the husband said to the tiger, “We will go to the field. Look after our baby.”
The tiger nodded.
The couple then went to the field.
Afternoon came. The couple arrived home. The tiger welcomed them. He wagged his tail. He then rubbed his body to the couple’s legs. He looked too happy. The husband felt an odd thing had happened. “Why is this tiger seen strange? His behavior is not as usual,” he said in his heart.
The husband looked at the tiger. Instantly he was shock. He saw the tiger’s mouth was full of blood. He looked at it in wide eyes. His body was trembled. He then remembered his baby. “Why is your mouth full of blood?” he asked the tiger. “You must do the bad thing to my baby! You have killed him! Why do you do that! You are not an ungrateful creature!”
“You are wicked!” said the wife to the tiger.
The husband drew his chopping-knife. Full of angry he killed the tiger.
The couple went inside their house. Immediately they opened their mouths with perplexity. They then looked at each other. They found their baby was sleeping in his cradle.
Quickly the wife took the baby. She kissed him.
The baby was waked up. He opened his eyes and then smiled.
The couple then opened their eyes widely as they found a dead large snake under the cradle. The snake was full of blood.
“My wife,” the husband said, “we have done wrong act. The tiger is not guilty. Look at the dead snake. The tiger has killed him. He killed the snake, as he wanted to harm our baby. He has saved our baby, but I have killed him. I am very sorry. Forgive me my tiger.”
As not investigate in advance the husband had done wrong act. Since then, the couple’s village called Panyalahan. Panyalahan word comes from nyalahan word with meaning wrong anticipate.
Tuesday, December 23, 2014
Dongeng dari Kalimantan Barat
PUTRI SIANG GANTUNG
Oleh Endang Firdaus
Pangeran Umbul Untun dari Kerajaan Jarang Kuantan memiliki seekor ayam jago yang sangat hebat. Belum ada ayam lain yang dapat mengalahkannya. Pangeran Umbul Untun amat menyayangi ayamnya itu. Bahkan sayangnya berlebihan, sampai-sampai melupakan perhatiannya pada sang Istri.
Karena tak tahan dengan kelakuan Pangeran Umbul Untun, sang Istri yang sedang mengandung meninggalkan istana. Bersamaan dengan itu ayam jago sang Pangeran tiba-tiba lenyap. Ayam itu dimangsa seekor ular besar.
Pangeran Umbul Untun amat murka. Ia mengeluarkan perintah untuk membunuh semua ular yang ada di Kerajaan Jarang Kuantan. Anehnya, tak lama setelah itu, kelaparan dan penyakit melanda di Kerajaan Jarang Kuantan.
Ular-ular terus dibunuhi. Panglima Perang berusaha mencegah tindakan pangeran Umbul Untun. Tetapi, Pangeran Umbul Untun tak suka. Penuh marah, diusirnya Panglima.
Panglima meninggalkan istana. Ia pergi ke dalam hutan untuk mencari ular yang telah memangsa ayam Pangeran Umbul Untun. Saat tengah duduk termenung di bawah sebuah pohon besar, tiba-tiba terdengar suara lembut, “Wahai, Panglima Perang, aku tahu kau sedang susah hati. Jangan ke mana-mana. Tetaplah di situ. Aku akan turun untuk berbicara denganmu.”
Panglima membalikkan tubuh ke arah suara itu. Ia sangat terkejut melihat seekor ular besar meluncur turun dari pohon. Menyadari bahaya akan menimpa dirinya, cepat Panglima mengeluarkan parang.
“Apa maumu, hei, Ular? Pergi sana! Jangan berani mengusikku! Atau kau ingin parangku ini mencincangmu!” ancam Panglima.
“Sabar, Panglima,” kata si Ular. “Bukankah kau sedang mencariku? Akulah yang telah memangsa ular Pangeran Umbul Untun.”
“Kebetulan sekali!” seru panglima. “Karena ulahmu, Pangeran Umbul Untun amat murka! Karena ulahmu, ular-ular tak berdosa binasa! Karena ulahmu, kini kelaparan dan penyakit melanda!”
“Panglima,” ucap si Ular, “aku memangsa ayam itu untuk memberi pelajaran pada Pangeran Umbul Untun. Karena ayam itu, ia lupa akan istrinya. Sedang kelaparan dan penyakit yang kini melanda akibat kebodohan sang Pangeran. Kalau saja ia sadar bahwa ular itu pemakan tikus, maka ia tak akan memerintahkan membunuhi ular. Karena ular-ular banyak yang mati, tikus-tikus hidup aman. Mereka berkembang biak. Tikus-tikus kian banyak saja. Mereka perlu makanan banyak. Sawah-sawah menjadi sasaran. Akibatnya rakyat gagal panen. Kelaparan pun terjadi. Banyak makhluk hidup yang mati. Bangkai-bangkai mereka mencemari lingkungan. Maka akhirnya penyakit pun merejalela di negeri ini.”
“Tapi kaulah penyebab pertama kejadian-kejadian itu, hei, Ular! Akan kupenggal kau!” tukas Panglima marah.
“Panglima, saat ini aku sedang mengandung. Biarkanlah aku hidup. Nanti, setelah anakku lahir, aku akan datang menemuimu untuk menyerahkan diri. Percayalah! Sekarang, tatap aku agar kau tak ragu dengan perkataanku,” kata si Ular.
Panglima menatap si Ular. Aneh, di hadapannya tiba-tiba yang terlihat bukan ular, tetapi Putri Siang Gantung.
“Tu, Tuan Putri,” ucap panglima terbata lalu membungkuk hormat.
“Ya,” sahut si Ular.
Tiba-tiba, Pangeran Umbul Untun yang sedang berburu ular datang di tempat itu. Melihat ada ular, cepat ia memerintahkan para pengawal mengepungnya. Si Ular memandang tajam Pangeran Umbul Untun.
Siuuut!
Pangeran Umbul Untun menebas kepala si Ular hingga putus. Ketika darah berhenti mengucur, asap mengepul menyelimuti tubuh si Ular. Asap itu lalu membentuk sosok Putri Siang Gantung.
“Adinda Siang Gantung!” seru sang Pangeran.
“Ya, Kanda,” ucap Putri Siang Gantung. “Maafkan aku yang telah menyatu ke dalam tubuh ular itu agar tak dikenali. Dengan matinya ular itu aku pun ikut mati. Sebelum pergi menghadap Yang Maha Kuasa, aku akan memberi tahu Kanda, bahwa di dalam perut ular itu ada anak kita. Bedah dan ambillah anak itu. Rawatlah dengan baik. Selamat tinggal!”
Asap menipis. Wujud Putri Siang Gantung perlahan sirna. Pangeran Umbul Untun menangis penuh sedih. Ia amat menyesali perbuatannya. Lalu ia membedah perut ular itu dan menemukan bayi yang tak lain anaknya. Penuh kasih dan sayang Pangeran Umbul Untun merawatnya.
Oleh Endang Firdaus
Pangeran Umbul Untun dari Kerajaan Jarang Kuantan memiliki seekor ayam jago yang sangat hebat. Belum ada ayam lain yang dapat mengalahkannya. Pangeran Umbul Untun amat menyayangi ayamnya itu. Bahkan sayangnya berlebihan, sampai-sampai melupakan perhatiannya pada sang Istri.
Karena tak tahan dengan kelakuan Pangeran Umbul Untun, sang Istri yang sedang mengandung meninggalkan istana. Bersamaan dengan itu ayam jago sang Pangeran tiba-tiba lenyap. Ayam itu dimangsa seekor ular besar.
Pangeran Umbul Untun amat murka. Ia mengeluarkan perintah untuk membunuh semua ular yang ada di Kerajaan Jarang Kuantan. Anehnya, tak lama setelah itu, kelaparan dan penyakit melanda di Kerajaan Jarang Kuantan.
Ular-ular terus dibunuhi. Panglima Perang berusaha mencegah tindakan pangeran Umbul Untun. Tetapi, Pangeran Umbul Untun tak suka. Penuh marah, diusirnya Panglima.
Panglima meninggalkan istana. Ia pergi ke dalam hutan untuk mencari ular yang telah memangsa ayam Pangeran Umbul Untun. Saat tengah duduk termenung di bawah sebuah pohon besar, tiba-tiba terdengar suara lembut, “Wahai, Panglima Perang, aku tahu kau sedang susah hati. Jangan ke mana-mana. Tetaplah di situ. Aku akan turun untuk berbicara denganmu.”
Panglima membalikkan tubuh ke arah suara itu. Ia sangat terkejut melihat seekor ular besar meluncur turun dari pohon. Menyadari bahaya akan menimpa dirinya, cepat Panglima mengeluarkan parang.
“Apa maumu, hei, Ular? Pergi sana! Jangan berani mengusikku! Atau kau ingin parangku ini mencincangmu!” ancam Panglima.
“Sabar, Panglima,” kata si Ular. “Bukankah kau sedang mencariku? Akulah yang telah memangsa ular Pangeran Umbul Untun.”
“Kebetulan sekali!” seru panglima. “Karena ulahmu, Pangeran Umbul Untun amat murka! Karena ulahmu, ular-ular tak berdosa binasa! Karena ulahmu, kini kelaparan dan penyakit melanda!”
“Panglima,” ucap si Ular, “aku memangsa ayam itu untuk memberi pelajaran pada Pangeran Umbul Untun. Karena ayam itu, ia lupa akan istrinya. Sedang kelaparan dan penyakit yang kini melanda akibat kebodohan sang Pangeran. Kalau saja ia sadar bahwa ular itu pemakan tikus, maka ia tak akan memerintahkan membunuhi ular. Karena ular-ular banyak yang mati, tikus-tikus hidup aman. Mereka berkembang biak. Tikus-tikus kian banyak saja. Mereka perlu makanan banyak. Sawah-sawah menjadi sasaran. Akibatnya rakyat gagal panen. Kelaparan pun terjadi. Banyak makhluk hidup yang mati. Bangkai-bangkai mereka mencemari lingkungan. Maka akhirnya penyakit pun merejalela di negeri ini.”
“Tapi kaulah penyebab pertama kejadian-kejadian itu, hei, Ular! Akan kupenggal kau!” tukas Panglima marah.
“Panglima, saat ini aku sedang mengandung. Biarkanlah aku hidup. Nanti, setelah anakku lahir, aku akan datang menemuimu untuk menyerahkan diri. Percayalah! Sekarang, tatap aku agar kau tak ragu dengan perkataanku,” kata si Ular.
Panglima menatap si Ular. Aneh, di hadapannya tiba-tiba yang terlihat bukan ular, tetapi Putri Siang Gantung.
“Tu, Tuan Putri,” ucap panglima terbata lalu membungkuk hormat.
“Ya,” sahut si Ular.
Tiba-tiba, Pangeran Umbul Untun yang sedang berburu ular datang di tempat itu. Melihat ada ular, cepat ia memerintahkan para pengawal mengepungnya. Si Ular memandang tajam Pangeran Umbul Untun.
Siuuut!
Pangeran Umbul Untun menebas kepala si Ular hingga putus. Ketika darah berhenti mengucur, asap mengepul menyelimuti tubuh si Ular. Asap itu lalu membentuk sosok Putri Siang Gantung.
“Adinda Siang Gantung!” seru sang Pangeran.
“Ya, Kanda,” ucap Putri Siang Gantung. “Maafkan aku yang telah menyatu ke dalam tubuh ular itu agar tak dikenali. Dengan matinya ular itu aku pun ikut mati. Sebelum pergi menghadap Yang Maha Kuasa, aku akan memberi tahu Kanda, bahwa di dalam perut ular itu ada anak kita. Bedah dan ambillah anak itu. Rawatlah dengan baik. Selamat tinggal!”
Asap menipis. Wujud Putri Siang Gantung perlahan sirna. Pangeran Umbul Untun menangis penuh sedih. Ia amat menyesali perbuatannya. Lalu ia membedah perut ular itu dan menemukan bayi yang tak lain anaknya. Penuh kasih dan sayang Pangeran Umbul Untun merawatnya.
Sunday, December 21, 2014
Dongeng dari Kamboja
EMPAT LELAKI BOTAK
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, di sebuah desa, hidup empat lelaki berkepala botak. Kepala itu licin plontos bak telur penyu. Kasihan. Ke mana pun mereka pergi, anak-anak selalu menertawakan mereka.
Teriak anak-anak, “Botak! Botak!”
Suatu hari, keempat lelaki botak itu memutuskan untuk pergi ke kota. Mereka akan mencari tabib yang dapat menumbuhkan rambut mereka. Mereka berhasil menemukan tabib itu. Tabib itu berkata dapat menolong mereka. “Tapi kalian harus melakukan apa yang aku katakan,” kata tabib itu. “Jika kalian patuh, rambut kalian akan tumbuh dengan lebat. Sekarang, pergilah kalian ke sumur di belakang rumahku. Basuhlah sekali saja kepala kalian dengan air sumur itu.”
Keempat lelaki botak itu melakukan kata tabib itu.
Ajaib.
Seusai membasuh kepala mereka dengan air sumur itu, kepala keempat lelaki botak itu seketika ditumbuhi rambut lebat. Mereka gembira sekali. Lelaki-lelaki itu terlihat lebih muda. "Kita terlihat tampan dengan rambut ini. Bila kita membasuh kepala kita sekali lagi, kita pasti akan semakin tampan. Dengan begitu kita pasti akan mudah mendapatkan istri," ucap mereka penuh suka cita.
Segera keempat lelaki itu membasuh kepala mereka sekali lagi.
Dan …
Olala!
Betapa sedih dan kecewanya lelaki-lelaki itu. Kepala mereka yang telah ditumbuhi rambut seketika kembali botak seusai itu. “Oh!” ratap mereka. “Mengapa begini? Mungkin ini hukuman buat kerakusan kita. Kita tak menuruti yang dikatakan tabib itu. Mari kita menemuinya. Barangkali ia bisa membantu.”
Keempat lelaki botak itu cepat menemui tabib itu. “Tuan Tabib,” kata mereka penuh sedih yang amat sangat, “maafkan kami yang tidak menuruti yang Tuan katakan. Kepala kami yang telah ditumbuhi rambut, kembali botak seusai kami sekali lagi membasuh kepala kami.”
“Maaf, aku tak bisa lagi membantu kalian,” ucap tabib itu. “Kepala botak kalian akan mengingatkan kalian pada kerakusan dan ketidakpatuhan kalian. Jadikan itu sebagai pelajaran, agar kelak kalian tidak berbuat hal yang sama lagi.”
Penuh sedih dan rasa penyesalan yang amat sangat keempat lelaki botak itu kembali ke desa mereka.
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, di sebuah desa, hidup empat lelaki berkepala botak. Kepala itu licin plontos bak telur penyu. Kasihan. Ke mana pun mereka pergi, anak-anak selalu menertawakan mereka.
Teriak anak-anak, “Botak! Botak!”
Suatu hari, keempat lelaki botak itu memutuskan untuk pergi ke kota. Mereka akan mencari tabib yang dapat menumbuhkan rambut mereka. Mereka berhasil menemukan tabib itu. Tabib itu berkata dapat menolong mereka. “Tapi kalian harus melakukan apa yang aku katakan,” kata tabib itu. “Jika kalian patuh, rambut kalian akan tumbuh dengan lebat. Sekarang, pergilah kalian ke sumur di belakang rumahku. Basuhlah sekali saja kepala kalian dengan air sumur itu.”
Keempat lelaki botak itu melakukan kata tabib itu.
Ajaib.
Seusai membasuh kepala mereka dengan air sumur itu, kepala keempat lelaki botak itu seketika ditumbuhi rambut lebat. Mereka gembira sekali. Lelaki-lelaki itu terlihat lebih muda. "Kita terlihat tampan dengan rambut ini. Bila kita membasuh kepala kita sekali lagi, kita pasti akan semakin tampan. Dengan begitu kita pasti akan mudah mendapatkan istri," ucap mereka penuh suka cita.
Segera keempat lelaki itu membasuh kepala mereka sekali lagi.
Dan …
Olala!
Betapa sedih dan kecewanya lelaki-lelaki itu. Kepala mereka yang telah ditumbuhi rambut seketika kembali botak seusai itu. “Oh!” ratap mereka. “Mengapa begini? Mungkin ini hukuman buat kerakusan kita. Kita tak menuruti yang dikatakan tabib itu. Mari kita menemuinya. Barangkali ia bisa membantu.”
Keempat lelaki botak itu cepat menemui tabib itu. “Tuan Tabib,” kata mereka penuh sedih yang amat sangat, “maafkan kami yang tidak menuruti yang Tuan katakan. Kepala kami yang telah ditumbuhi rambut, kembali botak seusai kami sekali lagi membasuh kepala kami.”
“Maaf, aku tak bisa lagi membantu kalian,” ucap tabib itu. “Kepala botak kalian akan mengingatkan kalian pada kerakusan dan ketidakpatuhan kalian. Jadikan itu sebagai pelajaran, agar kelak kalian tidak berbuat hal yang sama lagi.”
Penuh sedih dan rasa penyesalan yang amat sangat keempat lelaki botak itu kembali ke desa mereka.
Thursday, November 27, 2014
Double Wrap Watch
Double Wrap Watch: Double Wrap Enamel Buckle Watch by Zalora. Black watch with wrap style, with a combination of gold and black color, strap that made from synthetic leahter, such a classy combination, perfect for formal or semi formal occasion.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LGam0
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LGam0
Dongeng dari Rusia
ISTANA LALAT
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, seekor lalat membangun sebuah istana di tepi hutan. Istana itu sangat indah. Melompat-lompat penuh riang, seekor kutu mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat. Kau siapa?”
“Aku Kutu.”
“Tinggallah denganku!”
“Ya, ya!”
Seekor tikus mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu. Kau siapa?”
“Aku Tikus.”
“Tinggallah dengan kami!”
Melompat-lompat seekor katak mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Dan aku Tikus. Kau siapa?”
“Aku Katak.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor kelinci mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Dan aku Katak. Kau siapa?”
“Aku Kelinci.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor serigala berlari-lari mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Dan aku Kelinci. Kau siapa?”
“Aku Serigala.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor rubah mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala. Kau siapa?”
“Aku Rubah.”
“Tinggallah dengan kami!”
Maka, penuh bahagia, binatang-binatang itu tinggal di istana itu. Seekor beruang besar kemudian datang ke istana itu. Serunya, “Hei, siapa yang tinggal di istana indah ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala.”
“Aku Rubah. Kau siapa?”
“Aku Beruang.”
“Tinggallah dengan kami!”
Beruang mencoba masuk ke dalam istana itu, namun tubuhnya yang besar tak bisa masuk.
“Aku akan tinggal di atap saja.”
“Jangan! Nanti istana ini bisa hancur!”
“Tidak akan!”
Beruang duduk di atap.
Brak!
Istana itu hancur!
Binatang-binatang itu kaget sekali. Pontang-panting, mereka masuk ke dalam hutan.
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, seekor lalat membangun sebuah istana di tepi hutan. Istana itu sangat indah. Melompat-lompat penuh riang, seekor kutu mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat. Kau siapa?”
“Aku Kutu.”
“Tinggallah denganku!”
“Ya, ya!”
Seekor tikus mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu. Kau siapa?”
“Aku Tikus.”
“Tinggallah dengan kami!”
Melompat-lompat seekor katak mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Dan aku Tikus. Kau siapa?”
“Aku Katak.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor kelinci mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Dan aku Katak. Kau siapa?”
“Aku Kelinci.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor serigala berlari-lari mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Dan aku Kelinci. Kau siapa?”
“Aku Serigala.”
“Tinggallah dengan kami!”
Seekor rubah mendatangi istana itu. Diketuknya pintu.
“Siapa yang tinggal di istana ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala. Kau siapa?”
“Aku Rubah.”
“Tinggallah dengan kami!”
Maka, penuh bahagia, binatang-binatang itu tinggal di istana itu. Seekor beruang besar kemudian datang ke istana itu. Serunya, “Hei, siapa yang tinggal di istana indah ini?”
“Aku Lalat.”
“Aku Kutu.”
“Aku Tikus.”
“Aku Katak.”
“Aku Kelinci.”
“Aku Serigala.”
“Aku Rubah. Kau siapa?”
“Aku Beruang.”
“Tinggallah dengan kami!”
Beruang mencoba masuk ke dalam istana itu, namun tubuhnya yang besar tak bisa masuk.
“Aku akan tinggal di atap saja.”
“Jangan! Nanti istana ini bisa hancur!”
“Tidak akan!”
Beruang duduk di atap.
Brak!
Istana itu hancur!
Binatang-binatang itu kaget sekali. Pontang-panting, mereka masuk ke dalam hutan.
Friday, November 21, 2014
Layer Hijab
Layer Hijab: Layer Hijab design by Hijab Icon, hijab with layering style, made of chiffon cerutti fabric with good quality. The silky, light and soft texture make this hijab is a must. Pair this hijab with an outer or a cullote pants or a long dress.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LGEd8
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LGEd8
Dongeng dari Inggris
TURPIE DAN DEMIT
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, hiduplah seorang lelaki tua dengan istrinya. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil, dan mempunyai seekor anjing bernama Turpie.
Di sebuah hutan, tidak jauh dari gubuk mereka, hidup sekelompok demit bertubuh kerdil. Setiap malam, para demit itu datang ke gubuk suami istri tersebut, dan berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Namun Turpie selalu mendengar kedatangan mereka. Ia lalu menyalak keras, membuat mereka ketakutan dan pergi dari tempat itu.
Si lelaki tua dan istrinya tidak tahu mengenai para demit itu, karena Turpie selalu mengusir mereka. Namun suatu malam, lelaki tua itu terbangun dari tidurnya dan berkata, “Turpie menyalak begitu keras sehingga aku tidak dapat tidur lelap. Besok pagi aku akan melepas ekornya.”
Di pagi hari lelaki tua itu melakukan niatnya. Ia melepas ekor Turpie. Malamnya saat lelaki tua itu dan istrinya sedang tidur, para demit kembali datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua! Makan si perempuan tua!” Kali ini pun Turpie mendengar kedatangan mereka. Ia menyalak beberapa kali sampai mereka pergi.
Namun lelaki tua itu terbangun dan berkata, “Turpie begitu keras menyalak, membuatku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kakinya.” Maka keesokan paginya, lelaki tua itu melepas kaki-kaki Turpie.
Di malam hari ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, para demit kembali mendatangi gubuk mereka sambil berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!”
Namun Turpie mendengar kedatangan demit-demit itu. Ia menyalak keras, hingga mereka meninggalkan tempat itu.
Namun kembali si lelaki tua terbangun dan katanya, “Turpie masih juga menyalak dengan keras, sampai aku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kepalanya.”
Keesokan pagi lelaki tua itu pun melepas kepala Turpie. Malam harinya ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, kembali para demit datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Dan Turpie mendengar kedatangan mereka, namun si lelaki tua telah melepas kepalanya. Kini, Turpie tidak dapat lagi menyalak untuk menakuti mereka.
Para demit segera mendobrak pintu gubuk. Mereka tak membawa si lelaki tua karena ia bersembunyi di bawah meja dapur dan mereka tidak dapat menemukannya. Namun mereka membawa si perempuan tua ke tempat tinggal mereka dan memasukkannya ke sebuah keranjang, lalu menggantungkannya di palang pintu.
Sewaktu si lelaki tua mengetahui para demit telah membawa istrinya, ia sangat menyesal dengan apa yang telah ia lakukan. Kini ia tahu mengapa Turpie menyalak setiap malam. “Aku manusia yang bodoh,” ucapnya. “Sekarang aku akan memasang kembali bagian-bagian tubuh Turpie yang telah kulepas waktu itu.” Ia lalu keluar rumah dan memasang semua bagian tubuh Turpie dengan benar.
Kemudian Turpie berlari mencari si perempuan tua. Ia terus berlari hingga tiba di tempat para demit. Ternyata, para demit tidak ada di tempat itu, namun si perempuan tua ditinggalkan menggantung di palang pintu. Turpie menggigit tali dengan giginya yang tajam. Keranjang pun jatuh, dan Turpie membukanya sehingga si perempuan tua dapat keluar. Perempuan tua itu kemudian berlari pulang menemui suaminya. Dan keduanya sangat gembira.
Namun Turpie masuk ke keranjang dan berbaring di tempat itu, menunggu para demit pulang. Tidak berapa lama, mereka datang. Mereka menusuk keranjang dengan jari mereka yang tajam dan panjang. Mereka mengira si perempuan tua masih ada di dalam keranjang. Namun tiba-tiba keluarlah Turpie sambil menyalak-nyalak, membuat mereka semua lari ketakutan. Begitu jauh mereka berlari dan tidak pernah kembali lagi. Dan sejak itu, si lelaki tua dan istrinya hidup tenang. Kini, mereka dapat tidur nyenyak, karena Turpie tidak lagi menyalak keras di malam hari.
Oleh Endang Firdaus
Suatu ketika, hiduplah seorang lelaki tua dengan istrinya. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil, dan mempunyai seekor anjing bernama Turpie.
Di sebuah hutan, tidak jauh dari gubuk mereka, hidup sekelompok demit bertubuh kerdil. Setiap malam, para demit itu datang ke gubuk suami istri tersebut, dan berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Namun Turpie selalu mendengar kedatangan mereka. Ia lalu menyalak keras, membuat mereka ketakutan dan pergi dari tempat itu.
Si lelaki tua dan istrinya tidak tahu mengenai para demit itu, karena Turpie selalu mengusir mereka. Namun suatu malam, lelaki tua itu terbangun dari tidurnya dan berkata, “Turpie menyalak begitu keras sehingga aku tidak dapat tidur lelap. Besok pagi aku akan melepas ekornya.”
Di pagi hari lelaki tua itu melakukan niatnya. Ia melepas ekor Turpie. Malamnya saat lelaki tua itu dan istrinya sedang tidur, para demit kembali datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua! Makan si perempuan tua!” Kali ini pun Turpie mendengar kedatangan mereka. Ia menyalak beberapa kali sampai mereka pergi.
Namun lelaki tua itu terbangun dan berkata, “Turpie begitu keras menyalak, membuatku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kakinya.” Maka keesokan paginya, lelaki tua itu melepas kaki-kaki Turpie.
Di malam hari ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, para demit kembali mendatangi gubuk mereka sambil berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!”
Namun Turpie mendengar kedatangan demit-demit itu. Ia menyalak keras, hingga mereka meninggalkan tempat itu.
Namun kembali si lelaki tua terbangun dan katanya, “Turpie masih juga menyalak dengan keras, sampai aku tidak dapat tidur. Besok pagi aku akan melepas kepalanya.”
Keesokan pagi lelaki tua itu pun melepas kepala Turpie. Malam harinya ketika si lelaki tua dan istrinya sedang tidur, kembali para demit datang. Mereka berseru, “Ayo, kita dobrak gubuk itu! Bawa si lelaki tua dan makan si perempuan tua!” Dan Turpie mendengar kedatangan mereka, namun si lelaki tua telah melepas kepalanya. Kini, Turpie tidak dapat lagi menyalak untuk menakuti mereka.
Para demit segera mendobrak pintu gubuk. Mereka tak membawa si lelaki tua karena ia bersembunyi di bawah meja dapur dan mereka tidak dapat menemukannya. Namun mereka membawa si perempuan tua ke tempat tinggal mereka dan memasukkannya ke sebuah keranjang, lalu menggantungkannya di palang pintu.
Sewaktu si lelaki tua mengetahui para demit telah membawa istrinya, ia sangat menyesal dengan apa yang telah ia lakukan. Kini ia tahu mengapa Turpie menyalak setiap malam. “Aku manusia yang bodoh,” ucapnya. “Sekarang aku akan memasang kembali bagian-bagian tubuh Turpie yang telah kulepas waktu itu.” Ia lalu keluar rumah dan memasang semua bagian tubuh Turpie dengan benar.
Kemudian Turpie berlari mencari si perempuan tua. Ia terus berlari hingga tiba di tempat para demit. Ternyata, para demit tidak ada di tempat itu, namun si perempuan tua ditinggalkan menggantung di palang pintu. Turpie menggigit tali dengan giginya yang tajam. Keranjang pun jatuh, dan Turpie membukanya sehingga si perempuan tua dapat keluar. Perempuan tua itu kemudian berlari pulang menemui suaminya. Dan keduanya sangat gembira.
Namun Turpie masuk ke keranjang dan berbaring di tempat itu, menunggu para demit pulang. Tidak berapa lama, mereka datang. Mereka menusuk keranjang dengan jari mereka yang tajam dan panjang. Mereka mengira si perempuan tua masih ada di dalam keranjang. Namun tiba-tiba keluarlah Turpie sambil menyalak-nyalak, membuat mereka semua lari ketakutan. Begitu jauh mereka berlari dan tidak pernah kembali lagi. Dan sejak itu, si lelaki tua dan istrinya hidup tenang. Kini, mereka dapat tidur nyenyak, karena Turpie tidak lagi menyalak keras di malam hari.
Dongeng dari Nusa Tenggara Timur
ASAL MULA BURUNG MERPATI
Oleh Endang Firdaus
Dulu, penduduk bumi dapat naik ke langit dan penduduk langit dapat turun ke bumi. Ketika itu letak bumi dan langit sangat dekat. Dengan sebuah tangga kayu, ramai orang turun naik. Di langit, tak jauh dari tangga itu, tinggal seorang nenek dengan dua cucunya. Suatu hari, nenek itu menyuruh kedua cucunya turun ke bumi mengambil api. Anak-anak itu melakukan. Mereka tiba di sebuah pondok. Diambilnya bara menyala dari tungku.
“Bagaimana membawanya?” cetus si Adik.
Si Kakak mengambil bara itu. Lalu cepat dilepaskannya. “Oh, api ini Bergigi. Aku digigitnya!” serunya.
“Bergigi?” tukas si Adik. “Kalau begitu akan kucari tali. Kita ikat api itu, lalu kita seret.” Ia cepat mencari tali. Kemudian diikatnya bara itu. “Mari, Kak,” katanya. “Kita seret api ini.”
Tiba-tiba tali putus. Api memakannya.
“Bagaimana ini?” keluh si Adik.
“Masukkan saja ke dalam kantung bajuku,” usul si Kakak.
Mereka mengambil bara itu. Dimasukkan ke dalam kantung baju si Kakak. Sekejap kantung itu bolong.
Bara itu jatuh.
Kakak beradik itu bingung.
“Memang di mana letak gigi api ini?” ucap si Adik.
“Aku tidak tahu,” timpal si Kakak. “Kalau tahu, akan kupukul giginya sampai tanggal.”
Mereka membolak-balik bara itu mencari giginya. Gigi api itu tak terlihat. Putus asa keduanya duduk termenung. Kata si Kakak kemudian, “Mari kita masukkan bara itu ke dalam selimutku. Kita bungkus rapat-rapat sehingga tidak dapat menggigit.” Ia lalu mengambil bara itu. Dibungkusnya dengan selimutnya. Ia lalu mengajak si Adik pulang ke langit.
Keduanya berjalan ke arah tangga. Api perlahan membakar selimut. “Oh, api ini mengigigit lagi!” seru si Kakak kaget. Ia dan si Adik cepat berlari ke tangga. Api membesar. Si Kakak melempar selimutnya yang terbakar. Seketika api merambat ke rerumputan dan daun-daun kering di bawah tangga. Maka kemudian habislah tangga terbakar.
Melihat itu, kedua kakak beradik itu ketakutan. Mereka bersembunyi di dalam hutan. Si Nenek yang mendengar tangga habis terbakar segera tahu kalau itu perbuatan cucu-cucunya. Penuh marah ia pergi ke dekat bekas tangga. Dipanggilnya kedua cucunya, namun tak seorang pun menjawab. Nenek itu kian marah. Dikutuknya cucu-cucunya.
Aneh.
Langit perlahan naik. Makin tinggi, makin tinggi. Jarak langit dengan bumi akhirnya menjadi jauh sekali. Kedua cucu nenek itu yang sudah terkena kutuk si Nenek berubah menjadi dua merpati. Mereka mencoba kembali ke langit. Tetapi langit sudah sangat tinggi. Mereka tak mampu mencapainya. Mereka kembali ke bumi, hidup di bumi dan berkembang biak sampai sekarang.
Oleh Endang Firdaus
Dulu, penduduk bumi dapat naik ke langit dan penduduk langit dapat turun ke bumi. Ketika itu letak bumi dan langit sangat dekat. Dengan sebuah tangga kayu, ramai orang turun naik. Di langit, tak jauh dari tangga itu, tinggal seorang nenek dengan dua cucunya. Suatu hari, nenek itu menyuruh kedua cucunya turun ke bumi mengambil api. Anak-anak itu melakukan. Mereka tiba di sebuah pondok. Diambilnya bara menyala dari tungku.
“Bagaimana membawanya?” cetus si Adik.
Si Kakak mengambil bara itu. Lalu cepat dilepaskannya. “Oh, api ini Bergigi. Aku digigitnya!” serunya.
“Bergigi?” tukas si Adik. “Kalau begitu akan kucari tali. Kita ikat api itu, lalu kita seret.” Ia cepat mencari tali. Kemudian diikatnya bara itu. “Mari, Kak,” katanya. “Kita seret api ini.”
Tiba-tiba tali putus. Api memakannya.
“Bagaimana ini?” keluh si Adik.
“Masukkan saja ke dalam kantung bajuku,” usul si Kakak.
Mereka mengambil bara itu. Dimasukkan ke dalam kantung baju si Kakak. Sekejap kantung itu bolong.
Bara itu jatuh.
Kakak beradik itu bingung.
“Memang di mana letak gigi api ini?” ucap si Adik.
“Aku tidak tahu,” timpal si Kakak. “Kalau tahu, akan kupukul giginya sampai tanggal.”
Mereka membolak-balik bara itu mencari giginya. Gigi api itu tak terlihat. Putus asa keduanya duduk termenung. Kata si Kakak kemudian, “Mari kita masukkan bara itu ke dalam selimutku. Kita bungkus rapat-rapat sehingga tidak dapat menggigit.” Ia lalu mengambil bara itu. Dibungkusnya dengan selimutnya. Ia lalu mengajak si Adik pulang ke langit.
Keduanya berjalan ke arah tangga. Api perlahan membakar selimut. “Oh, api ini mengigigit lagi!” seru si Kakak kaget. Ia dan si Adik cepat berlari ke tangga. Api membesar. Si Kakak melempar selimutnya yang terbakar. Seketika api merambat ke rerumputan dan daun-daun kering di bawah tangga. Maka kemudian habislah tangga terbakar.
Melihat itu, kedua kakak beradik itu ketakutan. Mereka bersembunyi di dalam hutan. Si Nenek yang mendengar tangga habis terbakar segera tahu kalau itu perbuatan cucu-cucunya. Penuh marah ia pergi ke dekat bekas tangga. Dipanggilnya kedua cucunya, namun tak seorang pun menjawab. Nenek itu kian marah. Dikutuknya cucu-cucunya.
Aneh.
Langit perlahan naik. Makin tinggi, makin tinggi. Jarak langit dengan bumi akhirnya menjadi jauh sekali. Kedua cucu nenek itu yang sudah terkena kutuk si Nenek berubah menjadi dua merpati. Mereka mencoba kembali ke langit. Tetapi langit sudah sangat tinggi. Mereka tak mampu mencapainya. Mereka kembali ke bumi, hidup di bumi dan berkembang biak sampai sekarang.
Thursday, November 13, 2014
Precious Mineral Bb Cream
Precious Mineral Bb Cream: Precious Mineral BB Cream Bright Fit by Etude House, gives silky complexion with pearl infused and sheer coverage. Contains adenosine and arbutin for anti-wrinkle and whitening efficacies. Also features SPF30 / PA++ UV protection & anti-darkening.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LFg5u
RUMAH BACA KAMPUNG GINTUNG
Oleh Endang Firdaus
Sudah lima tahun saya mengelola blog ini. Blog yang saya beri nama ‘RUMAH BACA KAMPUNG GINTUNG’ ini dibuat untuk mengawali berdirinya rumah baca yang akan ada di kampung saya, Kampung Gintung Desa Banjarsari Kecamatan Anyer Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Blog terus berjalan sampai sekarang. Dari tampilan awal yang sangat sederhana kini sudah mulai enak dipandang mata. Dari tidak ada iklan sama sekali, kini sudah dibanjiri iklan. Hingga kini pengunjung yang menikmati blog sudah mencapai 40.000 lebih. Pengunjung-pengunjung itu tak hanya datang dari dalam luar negeri, tapi juga datang dari negeri-negeri lain seperti Malaysia, Timur Tengah, Cina, Amerika Serikat, Kanada, dan lainnya.
Namun, perjalanan blog yang lumayan bagus tak diimbangi dengan perjalanan rumah baca. Keberadaan rumah baca jalan di tempat. Artinya, dari awal dibuka tak mempunyai gedung hingga kini pun tak mempunyai gedung. Meski begitu, sumbangan buku-buku bacaan terus mengalir dari para donatur. Hingga kini lebih kurang seribu buku lebih dimiliki rumah baca. Keberadaan rumah baca masih di rumah saya, dari mulai dibuka sampai sekarang.
Sebagai pengelola, saya sudah pontang-panting mencari dana untuk bisa mewujudkan berdirinya gedung buat rumah baca. Saya sudah menyiapkan tempat di tanah kosong di samping rumah. Saya sudah memposting kegiatan penggalangan dana untuk hal ini di media-media social, tetapi belum seorang pun terketuk hatinya untuk mau membantu. Beberapa bulan lalu ada seorang teman dari Jakarta mau membantu, bahkan teman saya itu sempat datang ke tempat tinggal saya untuk melakukan survey lokasi. Saya senang sekali. Apalagi anak-anak di kampung saya ketika tahu akan ada yang membuatkan gedung buat rumah baca mereka. Sayang, hingga kini belum ada kabar kelanjutan dari teman saya itu. Saya dan anak-anak di sini masih harus bersabar untuk bisa memiliki gedung buat rumah baca kami. Kami akan terus berusaha dan tak henti berdoa.
Dengan postingan ini, berharap akan ada yang tergerak hatinya untuk mau membantu saya merealisasikan mimpi anak-anak di sini mempunyai gedung buat rumah baca mereka, tempat mereka menambah pengetahuan untuk mencapai hidup yang cerah di masa depan.
Oleh Endang Firdaus
Sudah lima tahun saya mengelola blog ini. Blog yang saya beri nama ‘RUMAH BACA KAMPUNG GINTUNG’ ini dibuat untuk mengawali berdirinya rumah baca yang akan ada di kampung saya, Kampung Gintung Desa Banjarsari Kecamatan Anyer Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Blog terus berjalan sampai sekarang. Dari tampilan awal yang sangat sederhana kini sudah mulai enak dipandang mata. Dari tidak ada iklan sama sekali, kini sudah dibanjiri iklan. Hingga kini pengunjung yang menikmati blog sudah mencapai 40.000 lebih. Pengunjung-pengunjung itu tak hanya datang dari dalam luar negeri, tapi juga datang dari negeri-negeri lain seperti Malaysia, Timur Tengah, Cina, Amerika Serikat, Kanada, dan lainnya.
Namun, perjalanan blog yang lumayan bagus tak diimbangi dengan perjalanan rumah baca. Keberadaan rumah baca jalan di tempat. Artinya, dari awal dibuka tak mempunyai gedung hingga kini pun tak mempunyai gedung. Meski begitu, sumbangan buku-buku bacaan terus mengalir dari para donatur. Hingga kini lebih kurang seribu buku lebih dimiliki rumah baca. Keberadaan rumah baca masih di rumah saya, dari mulai dibuka sampai sekarang.
Sebagai pengelola, saya sudah pontang-panting mencari dana untuk bisa mewujudkan berdirinya gedung buat rumah baca. Saya sudah menyiapkan tempat di tanah kosong di samping rumah. Saya sudah memposting kegiatan penggalangan dana untuk hal ini di media-media social, tetapi belum seorang pun terketuk hatinya untuk mau membantu. Beberapa bulan lalu ada seorang teman dari Jakarta mau membantu, bahkan teman saya itu sempat datang ke tempat tinggal saya untuk melakukan survey lokasi. Saya senang sekali. Apalagi anak-anak di kampung saya ketika tahu akan ada yang membuatkan gedung buat rumah baca mereka. Sayang, hingga kini belum ada kabar kelanjutan dari teman saya itu. Saya dan anak-anak di sini masih harus bersabar untuk bisa memiliki gedung buat rumah baca kami. Kami akan terus berusaha dan tak henti berdoa.
Dengan postingan ini, berharap akan ada yang tergerak hatinya untuk mau membantu saya merealisasikan mimpi anak-anak di sini mempunyai gedung buat rumah baca mereka, tempat mereka menambah pengetahuan untuk mencapai hidup yang cerah di masa depan.
Friday, November 7, 2014
Dongeng dari Yunani
RAKSASA DI GUA SEPI
Oleh Endang Firdaus
Sudah seminggu Odisus dan orang-orangnya terapung di lautan. Mereka adalah orang-orang Yunani. Odisus seorang pangeran. Ia dan orang-orangnya itu sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan perjalanan dagang di kota Troya. Persediaan air sudah habis. Begitu pula makanan. Kalau tak segera menemukan daratan, mereka semua akan mati.
“Lihat! Itu daratan!” seru salah seorang anak buah Odisus.
“Ya, ya, benar! Horeee! Kita akan makan dan minum sepuasnya!!” seru yang lain penuh suka cita.
“Tak ada rumah di sini,” cetus orang-orang itu ketika menginjakkan kaki di pulau itu.
“Ya,” ucap Odisus. “Tapi lihat, di sana ada gua yang besar. Semoga ada penghuninya. Semoga pula orang itu mau menjual makanan pada kita, atau mau menukarnya dengan anggur yang kita bawa.”
Memang gua itu tampaknya ada penghuninya. Sebab ada pagar yang sangat kokoh di jalan masuknya.
Orang-orang itu cepat menuju gua itu.
“Permisi!” Odisus memberi salam.
Tak ada jawaban.
“Permisi!”
Tetap tak ada jawaban.
“Permisi!”
Masih juga tak ada jawaban.
“Tak ada orangnya barangkali. Yuk, masuk saja,” ucap Odisus pada orang-orangnya.
Orang-orang itu pun memasuki gua. Di dalam gua itu agak gelap, namun amat bersih dan rapi.
“Tak ada orangnya,” cetus salah seorang.
“Ya,” timpal Odisus, “tapi gua ini ada penghuninya. Lihat bahan makanan di pojok sana. Ada ember berisi keju dan susu. Dan itu sepertinya kandang ternak. Mari kita tunggu penghuni gua ini.”
Orang-orang itu menunggu dengan tidak sabar, sebab perut mereka sudah amat lapar. Meski begitu, Odisus tak mengizinkan anak buahnya mengambil makanan yang ada di dalam gua itu tanpa seizin pemiliknya. Namun mereka bisa minum sepuasnya dari sumur yang ada di dekat gua itu.
“Wah, lama sekali penghuni gua ini datangnya,” kata salah seorang.
“Mungkin ia sudah mati dimakan binatang buas,” ucap yang lain.
“Hei, sepertinya ada gempa bumi!”
Orang-orang itu mendengarkan.
“Lho, seperti suara sapi?”
“Tapi langkah-langkah itu? Seperti gempa bumi!”
“Mungkin langkah raksasa!”
Tiba-tiba, satu raksasa telah berdiri di pintu gua. Raksasa itu bermata satu. Mata itu terletak di tengah-tengah dahinya.
“Hiii! Seram!” ucap orang-orang itu penuh takut.
“Hmh! Siapa kalian?” tanya raksasa itu. Suaranya sangat keras. “Berani sekali kalian memasuki guaku?”
“Kami orang-orang Yunani. Kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami kehabisan persediaan makanan dan minuman. Kami bermaksud menukar anggur yang kami bawa dengan makanan untuk bekal kami di jalan,” jawab Odisus dengan tubuh gemetar.
“Hohoho! Aku tidak perlu anggur! Aku akan menyantap kalian satu per satu besok!”
Raksasa itu menghalau sapi-sapinya masuk ke dalam gua. Ia lalu duduk di pintu gua, agar orang-orang itu tak bisa keluar.
Odisus segera mencari cara untuk bisa lepas dari raksasa itu. Tak jauh dari tempatnya berada dilihatnya ada sebuah tombak runcing. Odisus tersenyum. Ia lalu menghampiri si Raksasa. “Kami membawa anggur yang lezat. Apakah Tuan mau mencicipinya?” ucapnya, menyodorkan segentong anggur yang memang sengaja dibawa dari kapal untuk penukar bahan makanan. Penuh suka raksasa itu menerima tawaran itu. Lalu diminumnya segayung anggur. Lalu, lagi, lagi. Anggur itu akhirnya habis. Si Raksasa mabuk lalu tidur.
Melihat itu, Odisus cepat memerintahkan orang-orangnya agar mengikat diri mereka di perut sapi-sapi milik raksasa itu. Setelah itu didekatinya si Raksasa. Dihunjamkannya tombak ke matanya.
Raksasa itu menggerung kesakitan. Menggeram marah ia berdiri untuk membalas pada orang yang telah menyakiti dirinya. Namun, karena sudah buta, ia berjalan dengan meraba-raba. Ia tidak bisa menemukan orang-orang itu, sebab mereka sudah mengikat diri di perut sapi-sapi itu. Penuh kesal dipukulnya sapi-sapinya. Sapi-sapi itu kesakitan. Mereka berlarian keluar gua.
Merasa telah berada jauh dari gua si Raksasa, Odisus dan orang-orangnnya melepaskan diri dari sapi-sapi itu. Dengan membawa sapi-sapi itu mereka lalu kembali ke kapal. Sapi-sapi itu akan mereka manfaatkan untuk makanan mereka selama di perjalanan.
Oleh Endang Firdaus
Sudah seminggu Odisus dan orang-orangnya terapung di lautan. Mereka adalah orang-orang Yunani. Odisus seorang pangeran. Ia dan orang-orangnya itu sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan perjalanan dagang di kota Troya. Persediaan air sudah habis. Begitu pula makanan. Kalau tak segera menemukan daratan, mereka semua akan mati.
“Lihat! Itu daratan!” seru salah seorang anak buah Odisus.
“Ya, ya, benar! Horeee! Kita akan makan dan minum sepuasnya!!” seru yang lain penuh suka cita.
“Tak ada rumah di sini,” cetus orang-orang itu ketika menginjakkan kaki di pulau itu.
“Ya,” ucap Odisus. “Tapi lihat, di sana ada gua yang besar. Semoga ada penghuninya. Semoga pula orang itu mau menjual makanan pada kita, atau mau menukarnya dengan anggur yang kita bawa.”
Memang gua itu tampaknya ada penghuninya. Sebab ada pagar yang sangat kokoh di jalan masuknya.
Orang-orang itu cepat menuju gua itu.
“Permisi!” Odisus memberi salam.
Tak ada jawaban.
“Permisi!”
Tetap tak ada jawaban.
“Permisi!”
Masih juga tak ada jawaban.
“Tak ada orangnya barangkali. Yuk, masuk saja,” ucap Odisus pada orang-orangnya.
Orang-orang itu pun memasuki gua. Di dalam gua itu agak gelap, namun amat bersih dan rapi.
“Tak ada orangnya,” cetus salah seorang.
“Ya,” timpal Odisus, “tapi gua ini ada penghuninya. Lihat bahan makanan di pojok sana. Ada ember berisi keju dan susu. Dan itu sepertinya kandang ternak. Mari kita tunggu penghuni gua ini.”
Orang-orang itu menunggu dengan tidak sabar, sebab perut mereka sudah amat lapar. Meski begitu, Odisus tak mengizinkan anak buahnya mengambil makanan yang ada di dalam gua itu tanpa seizin pemiliknya. Namun mereka bisa minum sepuasnya dari sumur yang ada di dekat gua itu.
“Wah, lama sekali penghuni gua ini datangnya,” kata salah seorang.
“Mungkin ia sudah mati dimakan binatang buas,” ucap yang lain.
“Hei, sepertinya ada gempa bumi!”
Orang-orang itu mendengarkan.
“Lho, seperti suara sapi?”
“Tapi langkah-langkah itu? Seperti gempa bumi!”
“Mungkin langkah raksasa!”
Tiba-tiba, satu raksasa telah berdiri di pintu gua. Raksasa itu bermata satu. Mata itu terletak di tengah-tengah dahinya.
“Hiii! Seram!” ucap orang-orang itu penuh takut.
“Hmh! Siapa kalian?” tanya raksasa itu. Suaranya sangat keras. “Berani sekali kalian memasuki guaku?”
“Kami orang-orang Yunani. Kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami kehabisan persediaan makanan dan minuman. Kami bermaksud menukar anggur yang kami bawa dengan makanan untuk bekal kami di jalan,” jawab Odisus dengan tubuh gemetar.
“Hohoho! Aku tidak perlu anggur! Aku akan menyantap kalian satu per satu besok!”
Raksasa itu menghalau sapi-sapinya masuk ke dalam gua. Ia lalu duduk di pintu gua, agar orang-orang itu tak bisa keluar.
Odisus segera mencari cara untuk bisa lepas dari raksasa itu. Tak jauh dari tempatnya berada dilihatnya ada sebuah tombak runcing. Odisus tersenyum. Ia lalu menghampiri si Raksasa. “Kami membawa anggur yang lezat. Apakah Tuan mau mencicipinya?” ucapnya, menyodorkan segentong anggur yang memang sengaja dibawa dari kapal untuk penukar bahan makanan. Penuh suka raksasa itu menerima tawaran itu. Lalu diminumnya segayung anggur. Lalu, lagi, lagi. Anggur itu akhirnya habis. Si Raksasa mabuk lalu tidur.
Melihat itu, Odisus cepat memerintahkan orang-orangnya agar mengikat diri mereka di perut sapi-sapi milik raksasa itu. Setelah itu didekatinya si Raksasa. Dihunjamkannya tombak ke matanya.
Raksasa itu menggerung kesakitan. Menggeram marah ia berdiri untuk membalas pada orang yang telah menyakiti dirinya. Namun, karena sudah buta, ia berjalan dengan meraba-raba. Ia tidak bisa menemukan orang-orang itu, sebab mereka sudah mengikat diri di perut sapi-sapi itu. Penuh kesal dipukulnya sapi-sapinya. Sapi-sapi itu kesakitan. Mereka berlarian keluar gua.
Merasa telah berada jauh dari gua si Raksasa, Odisus dan orang-orangnnya melepaskan diri dari sapi-sapi itu. Dengan membawa sapi-sapi itu mereka lalu kembali ke kapal. Sapi-sapi itu akan mereka manfaatkan untuk makanan mereka selama di perjalanan.
Dongeng dari Jawa Barat
BANTENG PUTIH RAKSASA
Oleh Endang Firdaus
Yang bisa menangkap banteng putih raksasa hidup atau mati, jika laki-laki akan dijadikan pewaris kerajaan, jika perempuan akan dijadikan istri kedua. Begitu pengumuman yang dibuat Raja Munding Kaling Puspa. Pengumuman itu ditempel di tempat-tempat strategis di Kerajaan Kutawaringin, bahkan sampai di kerajaan-kerajaan lain.
Kerajaan Kutawaringin subur, makmur, aman, dan memiliki raja yang dan gagah perkasa. Raja Munding Kaling Puspa memiliki permaisuri yang sangat jelita. Ratu Nimbang Waringin namanya yang mendapat julurkan Kembang Kutawaringin. Namun, ia memiliki sifat buruk, suka menghina dan amat pencemburu. Ia juga suka ikut campur urusan kenegaraan. Akibat itu perbawa Kerajaan Kutawaringin kian surut. Perampokan dan kejahatan terjadi di mana-mana. Para dewa memberi tahu, jika ingin pulih harus bisa menangkap banteng putih raksasa.
Ratu Sumur Bandung, Ratu Kerajaan Bintung Wulung, memutuskan untuk ikut menangkap banteng putih raksasa. Ia lalu memanggil dua adik laki-lakinya, Jayamanggala dan Ranggawayang. Ucapnya, “Adik-adikku, aku ingin membantu Kutawaringin.”
“Tapi Ratu Nimbang Waringin memberi tambahan pengumuman itu bahwa perempuan tak boleh ikut,” tukas Ranggawayang.
“Sekarang kita menangkap banteng putih itu dulu. Setelah itu baru kita pikirkan bagaimana aku menyamar,” ujar Ratu Sumur Bandung.
Ratu Sumur Bandung, Jayamanggala, dan Ranggawayang pergi ke hutan. Hutan itu amat seram, penuh pohon-pohon besar. Mereka mencari banteng putih raksasa dan berhasil menemukan.
Tak mudah menangkap binatang itu. Terjadi perkelahian hebat dan lama. Akhirnya mereka dapat menaklukkan banteng putih raksasa itu. Menyamar sebagai laki-laki, Ratu Sumur Bandung pergi ke Kutawaringin. Raja Munding Kaling Puspa gembira melihat itu. Diamatinya banteng itu. Namun, Ratu Nimbang Waringin malah mengamati penangkap banteng itu.
Sebagai perempuan, Ratu Nimbang Waringin tak mudah dikecoh dengan penampilan seseorang. Lalu, dengan gerakan sangat cepat, ia menarik kumis penangkap banteng itu. Raja terkejut mengetahui penangkap banteng itu seorang perempuan yang sangat jelita.
Ratu Nimbang Waringin menyerang Ratu Sumur Bandung. Mereka bertempur hebat. Pembantu Raja Kutawaringin lalu ikut bertempur membantu Ratu Nimbang Waringin. Melihat itu Jayamanggala dan Ranggawayang tak tinggal diam. Akhirnya hampir semua orang di Kutawaringin ikut pertempuran itu. Ratu Sumur Bandung kemudian melesat terbang ke angkasa, untuk menemui para dewa di Kayangan. Ratu Nimbang Waringin menyusul. Tiba di Kayangan, mereka bertemu Dewa Ambu. Berkata Dewa Ambu, “Cucu-cucuku, kenapa kalian berkelahi? Kalian telah salah paham. Sumur Bandung bermaksud membantu Kutawaringin. Ia menyamar untuk menghindari timbulnya perasaan cemburu Nimbang Waringin. Nimbang Waringin hilangkan sifat dengki dan cemburumu. Kalian itu saudara sepupu.”
Ratu Nimbang Waringin dan Ratu Sumur Bandung cepat kembali ke bumi. Mereka melerai pertempuran. Akhirnya, Kutawaringin dan Bintung Wulung hidup rukun, makmur, dan sejahtera.
Oleh Endang Firdaus
Yang bisa menangkap banteng putih raksasa hidup atau mati, jika laki-laki akan dijadikan pewaris kerajaan, jika perempuan akan dijadikan istri kedua. Begitu pengumuman yang dibuat Raja Munding Kaling Puspa. Pengumuman itu ditempel di tempat-tempat strategis di Kerajaan Kutawaringin, bahkan sampai di kerajaan-kerajaan lain.
Kerajaan Kutawaringin subur, makmur, aman, dan memiliki raja yang dan gagah perkasa. Raja Munding Kaling Puspa memiliki permaisuri yang sangat jelita. Ratu Nimbang Waringin namanya yang mendapat julurkan Kembang Kutawaringin. Namun, ia memiliki sifat buruk, suka menghina dan amat pencemburu. Ia juga suka ikut campur urusan kenegaraan. Akibat itu perbawa Kerajaan Kutawaringin kian surut. Perampokan dan kejahatan terjadi di mana-mana. Para dewa memberi tahu, jika ingin pulih harus bisa menangkap banteng putih raksasa.
Ratu Sumur Bandung, Ratu Kerajaan Bintung Wulung, memutuskan untuk ikut menangkap banteng putih raksasa. Ia lalu memanggil dua adik laki-lakinya, Jayamanggala dan Ranggawayang. Ucapnya, “Adik-adikku, aku ingin membantu Kutawaringin.”
“Tapi Ratu Nimbang Waringin memberi tambahan pengumuman itu bahwa perempuan tak boleh ikut,” tukas Ranggawayang.
“Sekarang kita menangkap banteng putih itu dulu. Setelah itu baru kita pikirkan bagaimana aku menyamar,” ujar Ratu Sumur Bandung.
Ratu Sumur Bandung, Jayamanggala, dan Ranggawayang pergi ke hutan. Hutan itu amat seram, penuh pohon-pohon besar. Mereka mencari banteng putih raksasa dan berhasil menemukan.
Tak mudah menangkap binatang itu. Terjadi perkelahian hebat dan lama. Akhirnya mereka dapat menaklukkan banteng putih raksasa itu. Menyamar sebagai laki-laki, Ratu Sumur Bandung pergi ke Kutawaringin. Raja Munding Kaling Puspa gembira melihat itu. Diamatinya banteng itu. Namun, Ratu Nimbang Waringin malah mengamati penangkap banteng itu.
Sebagai perempuan, Ratu Nimbang Waringin tak mudah dikecoh dengan penampilan seseorang. Lalu, dengan gerakan sangat cepat, ia menarik kumis penangkap banteng itu. Raja terkejut mengetahui penangkap banteng itu seorang perempuan yang sangat jelita.
Ratu Nimbang Waringin menyerang Ratu Sumur Bandung. Mereka bertempur hebat. Pembantu Raja Kutawaringin lalu ikut bertempur membantu Ratu Nimbang Waringin. Melihat itu Jayamanggala dan Ranggawayang tak tinggal diam. Akhirnya hampir semua orang di Kutawaringin ikut pertempuran itu. Ratu Sumur Bandung kemudian melesat terbang ke angkasa, untuk menemui para dewa di Kayangan. Ratu Nimbang Waringin menyusul. Tiba di Kayangan, mereka bertemu Dewa Ambu. Berkata Dewa Ambu, “Cucu-cucuku, kenapa kalian berkelahi? Kalian telah salah paham. Sumur Bandung bermaksud membantu Kutawaringin. Ia menyamar untuk menghindari timbulnya perasaan cemburu Nimbang Waringin. Nimbang Waringin hilangkan sifat dengki dan cemburumu. Kalian itu saudara sepupu.”
Ratu Nimbang Waringin dan Ratu Sumur Bandung cepat kembali ke bumi. Mereka melerai pertempuran. Akhirnya, Kutawaringin dan Bintung Wulung hidup rukun, makmur, dan sejahtera.
Friday, September 26, 2014
Dongeng dari Korea
PUTRI JINKYO DAN PANGERAN GYONWOO
Oleh Endang Firdaus
Di Negeri Bintang, hanya Putri Jinkyo yang bisa menenun kain. Setiap hari ia rajin menenun kain indah di kamarnya. Ayahnya, Raja Negeri Bintang, amat bangga dengan hasil karyanya itu.
Suatu hari, Raja memanggil Putri Jinkyo untuk dijodohkan dengan Pangeran Gyonwoo. Pangeran Gyonwoo adalah putra raja negeri tetangga. Ia pemuda gagah dan tampan. Putri Jinkyo tak menolak perjodohan itu. Sebab, diam-diam ia telah jatuh hati pada pemuda itu.
Pesta pernikahan meriah diadakan. Penduduk diundang. Semua kagum akan kecantikan Putri Jinkyo dan ketampanan Pangeran Gyonwoo. Sebagai hadiah pernikahan, Raja membangun istana mungil di sebelah istananya. Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo tinggal bahagia di situ. Untuk menghibur hati, Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo lalu sering berjalan-jalan dengan menunggang sapi mengelilingi taman dan tempat-tempat indah lainnya. Namun hal itu akhirnya membuat keduanya melupakan pekerjaan mereka.
Raja amat marah. Tetapi ia berusaha untuk memaklumi pasangan pengantin baru itu. Ia berharap mereka akan segera mengakhiri masa bersenang-senang mereka. Namun, setelah lama ditunggu, mereka belum juga menghentikan hal itu. Penuh kesal Raja berkata pada Putri Jinkyo, “Putriku, buatkan kain untuk Ayah. Kerjakan dengan cepat. Tak boleh lebih dari satu hari!”
Dengan terpaksa Putri Jinkyo melakukan itu, meski ia ingin sekali bermain dengan Pangeran Gyonwoo yang telah menunggunya dengan sapi kesayangan mereka di luar istana. Bujuk Pangeran Gyonwoo, “Istriku, kau sudah bersuami. Tidak pantas lagi menenun kain untuk ayahmu, kecuali aku menyuruhmu. Berikan saja tugas itu pada dayang-dayang!”
Putri Jinkyo menuruti ucapan Pangeran Gyonwoo. Ia meninggalkan tugasnya begitu saja. Raja marah sekali mengetahui itu. Ia lalu menjatuhkan hukuman pada mereka. Mereka dipisahkan. Pangeran Gyonwoo tinggal di bagian timur, dan Putri Jinkyo di barat.
Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo amat sedih dan kesepian. Raja kemudian memberi keringanan hukuman. Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo diperbolehkan bertemu sekali dalam setahun saat Imlek, di seberang Sungai Bimasakti yang memisahkan keduanya. Tetapi Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo bertambah sedih karena hanya bisa saling pandang dari kejauhan. Mereka tak bisa berdekatan karena tak ada jembatan untuk menyeberangi Sungai Bimasakti. Mereka menangis. Tangis mereka menjadi hujan lebat. Akibatnya di bumi terjadi banjir besar. Korban berjatuhan. Rumah dan hutan hancur diterjang air bah.
Penduduk bumi panik ketakutan. Para petapa lalu mengadakan pertemuan untuk mencari jalan keluar. Mereka kemudian membujuk Raja Negeri Bintang agar mempertemukan Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo kembali. Raja Negeri Bintang mengirim burung magpie dan burung gagak untuk mempertemukan mereka. Itu sebabnya, setelah Imlek burung-burung magpie dan gagak menjadi putih. Bulu-bulu mereka rontok terinjak Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo. Dan sejak itu, setiap Imlek sering turun hujan rintik-rintik. Itu tangisan gembira Putri Jinkyo dan Pangeran Gyonwoo yang dapat bersatu kembali.
Thursday, September 25, 2014
Tavia Polkadot
Tavia Polkadot: Tavia Polkadot by Cajsa. Cute with 9 cm heels, personalized printed canvas fabric. Polkadot heels with pointy toe, with white shies color and black polkadot pattern. This super cute shoes will match your outfit perfectly.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDxTb
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDxTb
Gorudo Briefcase
Gorudo Briefcase: Gorudo Briefcase by Scissors Paper RockDesigned with the busy people in mind, slim briefcase with top handle an everyday bag with flap and genuine leather patch label Scissors Paper Rock with external pocket two way zip (storage 15" notebook), adjustable straps feature shoulder pad.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDxTK
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDxTK
Tuesday, September 23, 2014
Albert si Elang Laut - Cerita Pilihan Nenek - Klinik Cerita - Bobo Online
Albert si Elang Laut - Cerita Pilihan Nenek - Klinik Cerita - Bobo Online
http://endangfirdaus.sharethisstory.net/id-382702-1524
http://endangfirdaus.sharethisstory.net/id-382702-1524
Thursday, August 28, 2014
Dongeng dari Nanggro Aceh Darussalam
http://endangfirdaus.readthisstory.net/id-382702-1448
KISAH TERJADINYA PULAU DUA
Oleh Endang Firdaus
Dulu kala, di Gunung Batu Selayan, Aceh Selatan, tinggal seorang gadis kecil. Ia dibesarkan oleh dua ekor naga. Ia tidak pernah tahu orang tuanya. Ia hanya tahu kedua naga itu sebagai pengasuh dan temannya.
Suatu hari, ketika kedua naga sedang pergi mencari makan, sebuah kapal dagang melintas di laut. Dengan teropongnya, Nakhoda melihat ke arah Gunung Batu Selayan. Seketika ia terkejut melihat seorang gadis kecil tengah duduk sendiri di atas sebuah batu di puncak gunung itu.
“Cepat kalian ambil anak itu dan bawa ke sini!” Nakhoda memerintahkan anak buahnya.
Gadis kecil itu pun dibawa ke kapal. Kapal lalu melaju meneruskan perjalanan. Tak lama kedua naga kembali. Mereka tidak menemukan si Gadis Kecil. Segera mereka mencarinya ke segala penjuru, namun gadis kecil itu tak juga mereka temukan. Si Naga betina menangis meraung-raung karena sangat kehilangan anak itu. Ia lalu melihat sebuah kapal. Mengira kapal itu telah membawa si Gadis Kecil, ia bangkit dan cepat mengejar kapal itu. Ia menjerit-jerit dengan sangat keras. Suaranya terdengar ke tempat yang jauh. Tuanku Lhok Tapaktuan, seorang yang sakti, mendengar suara itu. Ia lalu mencari tahu ada apa. Matanya mengarah ke laut. Dilihatnya seekor naga tengah mengejar sebuah kapal.
Tuanku Lhok Tapaktuan mengambil tongkatnya, lalu melesat ke arah naga itu. Ketika dekat, cepat ia menusukkan tongkatnya pada naga itu. Naga itu mati. Darahnya membanjiri laut.
Si Naga Jantan yang melihat itu sangat ketakutan. Ia pun kabur meninggalkan pulau. Gerakannya yang cepat, membuat pulau itu terbelah dua. Orang menamakan pulau itu Pulau Dua. Tuanku Lhok Tapaktuan lalu kembali ke tempatnya. Tempat itu dikenal dengan nama Tuan.
KISAH TERJADINYA PULAU DUA
Oleh Endang Firdaus
Dulu kala, di Gunung Batu Selayan, Aceh Selatan, tinggal seorang gadis kecil. Ia dibesarkan oleh dua ekor naga. Ia tidak pernah tahu orang tuanya. Ia hanya tahu kedua naga itu sebagai pengasuh dan temannya.
Suatu hari, ketika kedua naga sedang pergi mencari makan, sebuah kapal dagang melintas di laut. Dengan teropongnya, Nakhoda melihat ke arah Gunung Batu Selayan. Seketika ia terkejut melihat seorang gadis kecil tengah duduk sendiri di atas sebuah batu di puncak gunung itu.
“Cepat kalian ambil anak itu dan bawa ke sini!” Nakhoda memerintahkan anak buahnya.
Gadis kecil itu pun dibawa ke kapal. Kapal lalu melaju meneruskan perjalanan. Tak lama kedua naga kembali. Mereka tidak menemukan si Gadis Kecil. Segera mereka mencarinya ke segala penjuru, namun gadis kecil itu tak juga mereka temukan. Si Naga betina menangis meraung-raung karena sangat kehilangan anak itu. Ia lalu melihat sebuah kapal. Mengira kapal itu telah membawa si Gadis Kecil, ia bangkit dan cepat mengejar kapal itu. Ia menjerit-jerit dengan sangat keras. Suaranya terdengar ke tempat yang jauh. Tuanku Lhok Tapaktuan, seorang yang sakti, mendengar suara itu. Ia lalu mencari tahu ada apa. Matanya mengarah ke laut. Dilihatnya seekor naga tengah mengejar sebuah kapal.
Tuanku Lhok Tapaktuan mengambil tongkatnya, lalu melesat ke arah naga itu. Ketika dekat, cepat ia menusukkan tongkatnya pada naga itu. Naga itu mati. Darahnya membanjiri laut.
Si Naga Jantan yang melihat itu sangat ketakutan. Ia pun kabur meninggalkan pulau. Gerakannya yang cepat, membuat pulau itu terbelah dua. Orang menamakan pulau itu Pulau Dua. Tuanku Lhok Tapaktuan lalu kembali ke tempatnya. Tempat itu dikenal dengan nama Tuan.
Saturday, August 23, 2014
Dongeng dari India
Harta Tahta Raisa Case: Case Harta Tahta Raisa design by BLEKI WEAR. If you a fan of raisa, this phone case is a must for you, case for iPhone 4/4s. But don't worry this case is also available for iPhone 5/5s/5c and for samsung galaxy note 2, 3, samsung galaxy s3 and s4.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDMrL
MURAI SI BURUNG PENYANYI
Oleh Endang Firdaus
Suatu kali, Dewa Wisnu menitis ke tubuh Krisna, seorang raja di India. Krisna amat gemar pergi ke hutan. Di sana ia akan meniup serulingnya. Suara merdu memenuhi hutan itu. Seluruh satwa akan berdiam diri untuk menikmatinya. Krisna menjadi sahabat binatang-binatang itu.
Suatu hari, seusai bermain seruling, Krisna berbaring di bawah sebuah pohon rindang. Angin yang lembut membuatnya mengantuk. Ia pun tertidur. Seorang pemuda berpakaian penuh robek mengendap-endap mendekatinya. Pemuda itu lalu mengambil seruling Krisna, lalu cepat pergi.
Setelah berada di tempat jauh, pemuda itu meniup seruling. Ia mencoba memainkan lagu yang biasa dimainkan Krisna. Namun, pemuda itu tak dapat melakukan. Ia pun terus berusaha, tetapi tetap saja tidak berhasil. Suara yang keluar dari seruling itu tak beraturan, patah-patah, dan sangat tidak enak didengar. Suara itu amatlah sumbang.
Krisna terbangun oleh suara yang tidak mengenakkan itu. Cepat ia mencari serulingnya. Ia tak menemukan. Lalu ia segera sadar jika suara sumbang yang didengarnya berasal dari serulingnya. Krisna cepat bangkit. Didatanginya asal suara. Ia menemukan si Pemuda yang tengah meniup serulingnya. Didekatinya.
“Anak muda, berani sekali kau mencuri serulingku!” hardik Krisna sangat marah sekali.
Si Pemuda terkejut. Penuh ketakutan ia berlutut di kaki Krisna. Ia memohon maaf. Katanya menghiba, “Maafkanlah saya. Saya tidak bermaksud mencuri seruling Tuan. Saya hanya ingin mencoba memainkannya saja. Saya ingin bisa bermain seruling sebagus Tuan.”
Krisna merasa iba. Ia tahu pemuda itu jujur. Tetapi ia tak bisa memaafkannya yang telah mengambil serulingnya tanpa seiizinnya. Itu mencuri namanya. Krisna memutuskan akan menghukumnya. Ia lalu menyentuh tubuh pemuda itu.
Plop!
Pemuda itu berubah menjadi seekor burung berbulu biru. Burung itu dapat mengeluarkan suara merdu, mirip suara permainan seruling Krisna. Burung itu lalu dikenal sebagai burung murai, si Burung Penyanyi dari Malabar.
Harta Tahta Raisa Case: Case Harta Tahta Raisa design by BLEKI WEAR. If you a fan of raisa, this phone case is a must for you, case for iPhone 4/4s. But don't worry this case is also available for iPhone 5/5s/5c and for samsung galaxy note 2, 3, samsung galaxy s3 and s4.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDMrL
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDMrL
MURAI SI BURUNG PENYANYI
Oleh Endang Firdaus
Suatu kali, Dewa Wisnu menitis ke tubuh Krisna, seorang raja di India. Krisna amat gemar pergi ke hutan. Di sana ia akan meniup serulingnya. Suara merdu memenuhi hutan itu. Seluruh satwa akan berdiam diri untuk menikmatinya. Krisna menjadi sahabat binatang-binatang itu.
Suatu hari, seusai bermain seruling, Krisna berbaring di bawah sebuah pohon rindang. Angin yang lembut membuatnya mengantuk. Ia pun tertidur. Seorang pemuda berpakaian penuh robek mengendap-endap mendekatinya. Pemuda itu lalu mengambil seruling Krisna, lalu cepat pergi.
Setelah berada di tempat jauh, pemuda itu meniup seruling. Ia mencoba memainkan lagu yang biasa dimainkan Krisna. Namun, pemuda itu tak dapat melakukan. Ia pun terus berusaha, tetapi tetap saja tidak berhasil. Suara yang keluar dari seruling itu tak beraturan, patah-patah, dan sangat tidak enak didengar. Suara itu amatlah sumbang.
Krisna terbangun oleh suara yang tidak mengenakkan itu. Cepat ia mencari serulingnya. Ia tak menemukan. Lalu ia segera sadar jika suara sumbang yang didengarnya berasal dari serulingnya. Krisna cepat bangkit. Didatanginya asal suara. Ia menemukan si Pemuda yang tengah meniup serulingnya. Didekatinya.
“Anak muda, berani sekali kau mencuri serulingku!” hardik Krisna sangat marah sekali.
Si Pemuda terkejut. Penuh ketakutan ia berlutut di kaki Krisna. Ia memohon maaf. Katanya menghiba, “Maafkanlah saya. Saya tidak bermaksud mencuri seruling Tuan. Saya hanya ingin mencoba memainkannya saja. Saya ingin bisa bermain seruling sebagus Tuan.”
Krisna merasa iba. Ia tahu pemuda itu jujur. Tetapi ia tak bisa memaafkannya yang telah mengambil serulingnya tanpa seiizinnya. Itu mencuri namanya. Krisna memutuskan akan menghukumnya. Ia lalu menyentuh tubuh pemuda itu.
Plop!
Pemuda itu berubah menjadi seekor burung berbulu biru. Burung itu dapat mengeluarkan suara merdu, mirip suara permainan seruling Krisna. Burung itu lalu dikenal sebagai burung murai, si Burung Penyanyi dari Malabar.
Harta Tahta Raisa Case: Case Harta Tahta Raisa design by BLEKI WEAR. If you a fan of raisa, this phone case is a must for you, case for iPhone 4/4s. But don't worry this case is also available for iPhone 5/5s/5c and for samsung galaxy note 2, 3, samsung galaxy s3 and s4.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LDMrL
Monday, August 11, 2014
Dongeng dari Cina
Snowsicle Glossy Lipstick: Lime Crime Snowsicle is a magical unicorn inspired clear gloss packed with rainbow. Glossy Lipstick aka Carousel Gloss, is intense liquid lip color loaded with pigment and sparkle. Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmb5
FU SEN MENDAPAT PELAJARAN
Oleh Endang Firdaus
Fu Sen menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Kamarnya terang benderang bak siang. Di lantai, buku-buku berserakan. Fu Sen memperhatikan kesal buku-buku itu.
Fu Sen bangun. Ia lalu berjalan hilir-mudik di kamarnya. Tangan kiri dimasukkan ke kantung celana. Tangan kanan menarik-narik rambut. Fu Sen seperti tengah putus asa. Lalu, penuh marah, disepaknya buku-buku.
“Aku tak mau belajar lagi! Aku tak mau lagi membaca buku!” Fu Sen memaki dalam hati. “Akan kubakar semua buku besok!”
Fu Sen mematikan lampu. Ia lalu keluar kamar. Dibantingnya pintu keras-keras. Fu Sen melangkah ke halaman, lalu pergi ke jalan. Sementara mulutnya mengomel tidak menentu. Saat itu dini hari. Suasana begitu senyap. Tak ada orang lalu-lalang. Fu Sen melihat satu benda hitam di bawah tiang lampu jalan.
Fu Sen menghampiri. Langkahnya cepat. Fu Sen menemukan seorang perempuan tua berpakaian penuh sobek di sana-sini. Perempuan tua itu tengah menggaruk-garukkan tangannya di atas sebuah batu. Fu Sen merasa heran. Tanyanya, “Nek, apa yang sedang Nenek lakukan di malam sunyi begini di sini?”
Tanpa menoleh dan terus melakukan pekerjaannya, perempuan tua itu menjawab, “Aku sedang mengasah paku agar menjadi jarum untuk menjahit pakaianku yang sobek-sobek ini.”
Fu Sen mengernyitkan dahi. “Membuat jarum dari paku?” gumamnya. Tiba-tiba ia merasa malu pada dirinya sendiri. Perempuan tua itu begitu gigih untuk menjadikan sebuah paku menjadi jarum untuk menjahit pakaiannya yang sobek-sobek. Ia melakukannya tanpa keluh-kesah. Sementara ia?
Fu Sen cepat pulang. Ia masuk ke kamarnya. Dinyalakannya lampu. Dipungutnya semua buku dan meletakkannya di meja. Ia lalu mulai membaca penuh tekun. Fu Sen yang hampir putus asa akhirnya menjadi seorang profesor yang sangat termashur di Negeri Cina.
FU SEN MENDAPAT PELAJARAN
Oleh Endang Firdaus
Fu Sen menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Kamarnya terang benderang bak siang. Di lantai, buku-buku berserakan. Fu Sen memperhatikan kesal buku-buku itu.
Fu Sen bangun. Ia lalu berjalan hilir-mudik di kamarnya. Tangan kiri dimasukkan ke kantung celana. Tangan kanan menarik-narik rambut. Fu Sen seperti tengah putus asa. Lalu, penuh marah, disepaknya buku-buku.
“Aku tak mau belajar lagi! Aku tak mau lagi membaca buku!” Fu Sen memaki dalam hati. “Akan kubakar semua buku besok!”
Fu Sen mematikan lampu. Ia lalu keluar kamar. Dibantingnya pintu keras-keras. Fu Sen melangkah ke halaman, lalu pergi ke jalan. Sementara mulutnya mengomel tidak menentu. Saat itu dini hari. Suasana begitu senyap. Tak ada orang lalu-lalang. Fu Sen melihat satu benda hitam di bawah tiang lampu jalan.
Fu Sen menghampiri. Langkahnya cepat. Fu Sen menemukan seorang perempuan tua berpakaian penuh sobek di sana-sini. Perempuan tua itu tengah menggaruk-garukkan tangannya di atas sebuah batu. Fu Sen merasa heran. Tanyanya, “Nek, apa yang sedang Nenek lakukan di malam sunyi begini di sini?”
Tanpa menoleh dan terus melakukan pekerjaannya, perempuan tua itu menjawab, “Aku sedang mengasah paku agar menjadi jarum untuk menjahit pakaianku yang sobek-sobek ini.”
Fu Sen mengernyitkan dahi. “Membuat jarum dari paku?” gumamnya. Tiba-tiba ia merasa malu pada dirinya sendiri. Perempuan tua itu begitu gigih untuk menjadikan sebuah paku menjadi jarum untuk menjahit pakaiannya yang sobek-sobek. Ia melakukannya tanpa keluh-kesah. Sementara ia?
Fu Sen cepat pulang. Ia masuk ke kamarnya. Dinyalakannya lampu. Dipungutnya semua buku dan meletakkannya di meja. Ia lalu mulai membaca penuh tekun. Fu Sen yang hampir putus asa akhirnya menjadi seorang profesor yang sangat termashur di Negeri Cina.
Friday, July 25, 2014
Artikel
Gissele Flat: This black-suede pair features a red rose decorated are great for long days at the office or weekend errands. Perfect for you. Made with suede, its perferct to everyday use. Design by Minimal.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmeF
FLU BURUNG
Oleh Endang Firdaus
Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang biasa menjangkiti burung dan mamalia, yaitu virus influenza tipe A yang menyebar antar unggas. Virus ini kemudian ditemukan mampu pula menyebar ke spesies lain seperti babi, kucing, anjing, harimau, dan manusia.
Virus influenza tipe A memiliki beberapa subtipe yang ditandai adanya Hemagglutinin (H) dan Neuramidase (N). Ada 9 varian H dan 14 varian N. Virus flu burung yang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1 yang memiliki waktu inkubasi selama 3 sampai 5 hari. Burung liar dan unggas ternak dapat menjadi sumber penyebar H5N1.
Penularan Flu Burung
Virus H5N1 dapat menular melalui udara ataupun kontak melalui makanan, minuman, dan sentuhan.
Pencegahan
Virus H5N1 dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Bahan makanan yang didinginkan atau dibekukan dapat menyimpan virus. Virus akan mati dalam suhu yang tinggi. Untuk mencegah penularan:
1. daging dan telur harus dimasak matang
2. cuci tangan dengan antiseptik
3. kebersihan tubuh dan pakaian harus dijaga
4. cuci tangan sebelum dan setelah memasak atau menyentuh bahan makanan mentah
5. jangan pelihara unggas di dalam rumah atau ruangan tempat tinggal
6. jauhkan peternakan dari perumahan
7. hewan atau burung yang mati mendadak harus dimusnahkan
Gejala Pengidap Flu Burung
Orang yang terkena flu burung harus secepatnya di bawa ke dokter atau rumah sakit. Jika tidak, kematianlah yang akan terjadi. Adapun gejala dari orang yang mengidap penyakit ini adalah:
1. demam tinggi
2. keluhan pernapasan dan perut
Papaya Lipsticks Sheer: The Nutri Shine products are less waxy, more slippery, and sheerer. The color selection is quite neutral, you don't need to a mirror to apply them. They are like a gloss in stick form.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmcw
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmeF
FLU BURUNG
Oleh Endang Firdaus
Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang biasa menjangkiti burung dan mamalia, yaitu virus influenza tipe A yang menyebar antar unggas. Virus ini kemudian ditemukan mampu pula menyebar ke spesies lain seperti babi, kucing, anjing, harimau, dan manusia.
Virus influenza tipe A memiliki beberapa subtipe yang ditandai adanya Hemagglutinin (H) dan Neuramidase (N). Ada 9 varian H dan 14 varian N. Virus flu burung yang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1 yang memiliki waktu inkubasi selama 3 sampai 5 hari. Burung liar dan unggas ternak dapat menjadi sumber penyebar H5N1.
Penularan Flu Burung
Virus H5N1 dapat menular melalui udara ataupun kontak melalui makanan, minuman, dan sentuhan.
Pencegahan
Virus H5N1 dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Bahan makanan yang didinginkan atau dibekukan dapat menyimpan virus. Virus akan mati dalam suhu yang tinggi. Untuk mencegah penularan:
1. daging dan telur harus dimasak matang
2. cuci tangan dengan antiseptik
3. kebersihan tubuh dan pakaian harus dijaga
4. cuci tangan sebelum dan setelah memasak atau menyentuh bahan makanan mentah
5. jangan pelihara unggas di dalam rumah atau ruangan tempat tinggal
6. jauhkan peternakan dari perumahan
7. hewan atau burung yang mati mendadak harus dimusnahkan
Gejala Pengidap Flu Burung
Orang yang terkena flu burung harus secepatnya di bawa ke dokter atau rumah sakit. Jika tidak, kematianlah yang akan terjadi. Adapun gejala dari orang yang mengidap penyakit ini adalah:
1. demam tinggi
2. keluhan pernapasan dan perut
Papaya Lipsticks Sheer: The Nutri Shine products are less waxy, more slippery, and sheerer. The color selection is quite neutral, you don't need to a mirror to apply them. They are like a gloss in stick form.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmcw
Saturday, July 5, 2014
A Folktale from Kalimantan
Snowsicle Glossy Lipstick: Lime Crime Snowsicle is a magical unicorn inspired clear gloss packed with rainbow. Glossy Lipstick aka Carousel Gloss, is intense liquid lip color loaded with pigment and sparkle. Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmb5
LAIAMON AND CROCODILE
By Endang Firdaus
Laiamon was the daughter of Dayak chief. One day, she went to the river to take a bath. She was swimming when a crocodile held her leg.
“Oh, please don’t eat me!” cried Laiamon.
“Hohoho!” laughed the crocodile. “I won’t let you go. I like eating pretty girls very much.”
Laiamon was a clever girl. She then said, “My father is a chief. He is a rich man. He will give you anything you want if you free me.”
“Is it right?” asked the crocodile.
“Yes.”
“Ok,” said the crocodile. “Tell your father to give me a baby to eat every day.”
The crocodile let Laiamon go. Quickly Laiamon swam to the river bank and went home. She told what she had experienced to her father. Her father then called his people to discuss about the crocodile had asked.
The next day, the chief and his people went to the river. They brought a pig for the crocodile.
“Good morning, Crocodile,” said the chief.
“Do you bring a baby for me?” asked the crocodile.
“We have no babies in the village,” said the chief. “We can only give you a pig this time.”
“Don’t lie to me!”
“Of course not. Later if there is a baby in the village, we will bring it to you. Now, please take this pig.”
“All right.”
The chief threw the pig into the river. The crocodile quickly ate the pig. “Hmm, it’s very delicious!” said the crocodile. Not long after that, this creature’s stomach ached. It moaned and groaned. Then it died.
“Father, how did you kill the crocodile?” asked Laiamon.
“We have filled the pig with poison,” said the chief. “This creature had killed many people. I’m proud of you, Laiamon. You could get away from the crocodile. Remember my daughter, if you are brave, you can beat evil things.”
LAIAMON AND CROCODILE
By Endang Firdaus
Laiamon was the daughter of Dayak chief. One day, she went to the river to take a bath. She was swimming when a crocodile held her leg.
“Oh, please don’t eat me!” cried Laiamon.
“Hohoho!” laughed the crocodile. “I won’t let you go. I like eating pretty girls very much.”
Laiamon was a clever girl. She then said, “My father is a chief. He is a rich man. He will give you anything you want if you free me.”
“Is it right?” asked the crocodile.
“Yes.”
“Ok,” said the crocodile. “Tell your father to give me a baby to eat every day.”
The crocodile let Laiamon go. Quickly Laiamon swam to the river bank and went home. She told what she had experienced to her father. Her father then called his people to discuss about the crocodile had asked.
The next day, the chief and his people went to the river. They brought a pig for the crocodile.
“Good morning, Crocodile,” said the chief.
“Do you bring a baby for me?” asked the crocodile.
“We have no babies in the village,” said the chief. “We can only give you a pig this time.”
“Don’t lie to me!”
“Of course not. Later if there is a baby in the village, we will bring it to you. Now, please take this pig.”
“All right.”
The chief threw the pig into the river. The crocodile quickly ate the pig. “Hmm, it’s very delicious!” said the crocodile. Not long after that, this creature’s stomach ached. It moaned and groaned. Then it died.
“Father, how did you kill the crocodile?” asked Laiamon.
“We have filled the pig with poison,” said the chief. “This creature had killed many people. I’m proud of you, Laiamon. You could get away from the crocodile. Remember my daughter, if you are brave, you can beat evil things.”
Wednesday, June 18, 2014
Artikel
Fastlane Gents: Caterpillar Fastlane Gents 44 mm, With balck and gray color. The analogue display of the watch adds to its charm and is the perfect companion on the wrist for the classic sophisticated individual.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmbs
PENYAKIT TBC
Oleh Endang Firdaus
Penyakit TBC menyerang siapa saja dan di mana saja. Setiap tahun, di Indonesia bertambah seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahun disebabkan oleh TBC. Indonesia adalah negara ketiga terbesar di dunia dengan masalah TBC.
Penyebab Penyakit TBC
Penyakit TBC adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium Tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal sebagai Batang Tahan Asam. Bakteri ini ditemukan Robert Koch pada 24 Maret 1882, sehingga diberi nama baksil Koch dan penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut Koch Pulmonum.
Penyakit TBC menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium Tuberkulosa yang dilepaskan saat penderita TBC batuk. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Karena itu infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, namun organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
Saat Mikobakterium Tuberkulosa menginfeksi paru-paru, dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk bulat. Melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri ini akan dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri oleh sel-sel paru.
Pembentukan dinding membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant ini terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami berkembang biak sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang ini akan menjadi sumber produksi sputum (dahak). Orang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi TBC berhubungan dengan memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV, daya tahan tubuh yang lemah atau menurun, virulensi, dan jumlah kuman.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmbs
PENYAKIT TBC
Oleh Endang Firdaus
Penyakit TBC menyerang siapa saja dan di mana saja. Setiap tahun, di Indonesia bertambah seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahun disebabkan oleh TBC. Indonesia adalah negara ketiga terbesar di dunia dengan masalah TBC.
Penyebab Penyakit TBC
Penyakit TBC adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium Tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal sebagai Batang Tahan Asam. Bakteri ini ditemukan Robert Koch pada 24 Maret 1882, sehingga diberi nama baksil Koch dan penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut Koch Pulmonum.
Penyakit TBC menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium Tuberkulosa yang dilepaskan saat penderita TBC batuk. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Karena itu infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, namun organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
Saat Mikobakterium Tuberkulosa menginfeksi paru-paru, dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk bulat. Melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri ini akan dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri oleh sel-sel paru.
Pembentukan dinding membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant ini terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen. Pada orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami berkembang biak sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang ini akan menjadi sumber produksi sputum (dahak). Orang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi TBC berhubungan dengan memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV, daya tahan tubuh yang lemah atau menurun, virulensi, dan jumlah kuman.
Friday, May 30, 2014
Motivasi
Soni Long Cardi: Sonia Long Cardi by Jenahara for Zalora. with khaki color, with tassel rope in front, regular fit. Open front cardi, long sleeve. This outer is perfect for your casual or formal look.
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmbf
Yuk Belajar dari … NYAMUK
Oleh Endang Firdaus
Nguuung…
Plak!
Ian memukul telapak tangannya ke telinganya untuk membunuh nyamuk yang bernyanyi di telinganya. Tak lama, nyamuk kembali datang mengganggu tidur Ian! Ian kesaaal sekali!
Serangga Menyebalkan
Nyamuk, serangga kecil yang menyebalkan. Meski kecil, ia tidak bisa dianggap remeh!
Nyamuk penyebab banyak penyakit pada manusia. Penyakit demam berdarah yang selalu datang saat musim hujan dan sering merengut nyawa penderitanya disebabkan olehnya.
Nyamuk selalu datang menggangu. Meski sudah berkali-kali mengusirnya, ia selalu datang kembali.
Nyamuk mengganggu tidur kita.
Nyamuk menggangu saat menonton TV.
Nyamuk mengganggu ketika kita sedang belajar.
Konsentrasi kita terganggu, karena kita harus mengusir nyamuk yang datang lagi dan datang lagi. Tepuk sana, tepuk sini, begitu yang selalu kita lakukan untuk mengusir nyamuk.
Belajar dari Nyamuk
Belajar dari nyamuk? Apa yang bisa dipelajari dari serangga kecil menyebalkan dan penyebab banyak penyakit itu? Apakah kita akan belajar menjadi pengganggu hebat darinya?
Nyamuk, meski cuma serangga kecil menyebalkan dan penyebab banyak penyakit, punya semangat pantang menyerah. Ia mau mencoba dan mencoba lagi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kegagalan tidak menjadikan nyamuk patah semangat.
Nyamuk yang mencoba hinggap di tubuh kita, sebenarnya ia berada di ambang maut. Tepukan-tepukan yang kita lakukan untuk mengusirnya bisa menyebabkan ia mati. Tetapi nyamuk selalu dan selalu datang kembali untuk berusaha hinggap di tubuh kita, untuk mendapatkan yang diinginkannya: menghisap darah kita untuk kelangsungan hidupnya.
Lalu …
Semangat pantang menyerah itu yang bisa kita jadikan pelajaran dari nyamuk. Jika gagal, coba lagi dan coba lagi. Orang bijak berkata, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Harapan mendapat yang diinginkan selalu ada.
Harapan meraih cita-cita selalu ada.
Harapan berhasil selalu ada.
Harapan maju selalu ada.
Hari ini gagal, besok belum tentu!
Yuk, belajar dari semangat pantang menyerah nyamuk untuk menjadi manusia yang berhasil!
Find this cool stuff here: http://zocko.it/LCmbf
Yuk Belajar dari … NYAMUK
Oleh Endang Firdaus
Nguuung…
Plak!
Ian memukul telapak tangannya ke telinganya untuk membunuh nyamuk yang bernyanyi di telinganya. Tak lama, nyamuk kembali datang mengganggu tidur Ian! Ian kesaaal sekali!
Serangga Menyebalkan
Nyamuk, serangga kecil yang menyebalkan. Meski kecil, ia tidak bisa dianggap remeh!
Nyamuk penyebab banyak penyakit pada manusia. Penyakit demam berdarah yang selalu datang saat musim hujan dan sering merengut nyawa penderitanya disebabkan olehnya.
Nyamuk selalu datang menggangu. Meski sudah berkali-kali mengusirnya, ia selalu datang kembali.
Nyamuk mengganggu tidur kita.
Nyamuk menggangu saat menonton TV.
Nyamuk mengganggu ketika kita sedang belajar.
Konsentrasi kita terganggu, karena kita harus mengusir nyamuk yang datang lagi dan datang lagi. Tepuk sana, tepuk sini, begitu yang selalu kita lakukan untuk mengusir nyamuk.
Belajar dari Nyamuk
Belajar dari nyamuk? Apa yang bisa dipelajari dari serangga kecil menyebalkan dan penyebab banyak penyakit itu? Apakah kita akan belajar menjadi pengganggu hebat darinya?
Nyamuk, meski cuma serangga kecil menyebalkan dan penyebab banyak penyakit, punya semangat pantang menyerah. Ia mau mencoba dan mencoba lagi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kegagalan tidak menjadikan nyamuk patah semangat.
Nyamuk yang mencoba hinggap di tubuh kita, sebenarnya ia berada di ambang maut. Tepukan-tepukan yang kita lakukan untuk mengusirnya bisa menyebabkan ia mati. Tetapi nyamuk selalu dan selalu datang kembali untuk berusaha hinggap di tubuh kita, untuk mendapatkan yang diinginkannya: menghisap darah kita untuk kelangsungan hidupnya.
Lalu …
Semangat pantang menyerah itu yang bisa kita jadikan pelajaran dari nyamuk. Jika gagal, coba lagi dan coba lagi. Orang bijak berkata, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
Harapan mendapat yang diinginkan selalu ada.
Harapan meraih cita-cita selalu ada.
Harapan berhasil selalu ada.
Harapan maju selalu ada.
Hari ini gagal, besok belum tentu!
Yuk, belajar dari semangat pantang menyerah nyamuk untuk menjadi manusia yang berhasil!
Thursday, May 8, 2014
Kisah Nyata
DI ANTARA HIU-HIU
Oleh Endang Firdaus
Udara begitu cerah. Dengan boat kecil, Bramanca meninggalkan Ketapang, menuju Tanjungpandan. Sebuah kompas dan satu walky-talky mendampinginya. Enam mil ke tujuan, mendadak langit gelap. Hujan turun amat lebat. Angin bertiup kencang sekali. Jarum kompas berputar. Bramanca merasa ngeri.
Ia kehilangan arah.
Bramanca menyetel radio.
“Mayday, mayday!” panggilnya.
Dan mendapat jawaban.
Sebuah helikopter SAR segera bergerak, dan berhasil menemukan Bramanca. Pilot pesawat, Letnan Sarifudin, dengan cepat menurunkan tangga tali. Bramanca berusaha menjangkau. Ia hampir berhasil apabila ombak besar tak menghantam boat. Bramanca terlempar ke geladak. Keningnya menimpa lantai, dan luka. Dan ketika ombak besar kembali menerjang, boat terbalik, dan lenyap.
Letnan Sarifudin menyalakan lampu sorot.
Tak terlihat apa-apa.
Ko-pilot Kusnadi memeriksa bahan bakar. Jarum menunjukkan hampir habis. Tepat jam 6 sore helikopter kembali ke pangkalan. “Kita kembali setelah mengisi bahan bakar,” berkata Letnan Sarifudin.
Bramanca yang mengalami naas terlempar ke laut saat boat terbalik. Beruntung ia memakai jaket pelampung. Tubuhnya baru muncul setelah helikopter pergi. Ia, yang pernah mengikuti latihan penyelamatan di laut, tahu cara menghemat tenaga. Tapi setelah 30 menit ia mulai menggigil. Kakinya terasa kaku. Di antara ombak ia tahu akan sulit bagi team SAR menemukannya. Sementara, luka di keningnya terus mengucurkan darah. Bramanca tahu hal itu dapat mengundang datangnya kawanan hiu. Ia harus menyelamatkan hidup. Ia tak mau menyerah. Kalau memang harus mati di sini, doanya. Tuhan, ampunilah segala dosaku.
Tiba-tiba ia merasa satu hantaman keras pada kakinya. Seekor hiu! Bramanca diam. Mereka datang, gumamnya. Mereka pasti kembali. Pukul 10 malam ia merasa jaket pelampungnya mulai hilang kekuatan. Ia berusaha agar kepalanya berada di permukaan air.
Tetes air hujan ditelannya.
Air laut memedihkan matanya.
Ia berdoa tak putus-putus.
Langit kembali terang.
Bramanca melihat bintang-bintang yang gemerlapan di angkasa. Satu bintang tampak terpisah dari yang lain, bergerak ke arahnya. Mungkin bintang itu menunjukkan padaku ke mana aku harus pergi, pikirnya. Ya, Tuhan, selamatkan hambaMu yang tak punya daya ini.
Selesai mengisi bahan bakar, Letnan Sarifudin membawa helikopter kembali ke tempat kecelakaan. Sebuah helikopter angkatan laut menemani. Pencarian tak membawa hasil. Mereka lalu kembali. Pencarian akan dilakukan esok pagi. Di laut, Bramanca membayangkan angkasa dipenuhi pesawat yang mencarinya.
Tengah malam lewat.
Satu hantaman di kakinya membuat Bramanca seketika panik.
Kembali seekor hiu muncul.
Saat fajar, sekumpulan hiu bergerak ke arahnya.
Seekor hiu sapi menyerang.
Bramanca melawan. Dijejakkan kakinya dan berhasil menghantam kepala si hiu.
“Aku belum ingin mati!” serunya.
Lalu dua ekor hiu sapi kembali menyerang. Keduanya berhasil dihalau oleh jejakan kakinya. Kemudian seekor hiu martil menyerang. Dan berhasil diusirnya. Bramanca sangat ngeri saat hiu biru muncul. Tubuhnya gemetar hebat. Ia lega sewaktu makhluk itu pergi.
Bramanca merasa tenaganya kian lemah. Hiu-hiu itu telah membuat tenaganya terkuras. Luka di keningnya pun kian parah. Sayup-sayup di kejauhan terdengar deru mesin. Lalu dilihatnya sebuah helikopter. Namun segera lenyap dari pandangan. Tak lama muncul kembali. Tampak tengah mengadakan pencarian. Ketika helikopter itu berada pada jarak setengah mil, Bramanca melambai-lambaikan jaket pelampungnya.
Pesawat mendekat.
Lalu berada di atasnya.
Bramanca terus melambai-lambaikan jaket pelampungnya, sambil berusaha agar kepalanya tetap berada di permukaan air. Keluhnya, “Kenapa mereka tak juga melihatku?” Di pesawat, Letnan Sarifudin mengarahkan pandangannya ke bawah, berharap dapat melihat boat Bramanca. Tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang timbul tenggelam di antara ombak.
“Lihat ada orang di sana!”
Dikirimnya radio ke kapal penjaga pantai.
Ko-pilot Kusnadi melemparkan alarm asap untuk menuntun kapal penjaga pantai ke lokasi. Di bawah, ia melihat Bramanca berenang mati-matian. Di belakang laki-laki malang itu seekor hiu besar membuntuti. Letnan Sarifudin sangat cemas. Serunya pada kapal penjaga pantai melalui radio, “Cepat! Seekor hiu sedang membuntuti orang itu!”
Kapal penjaga pantai melaju kencang ke tempat Bramanca. Si hiu menjauh. Ketika dekat segera diturunkan tangga. Bramanca berusaha meraih, dan berhasil. Ia bergantungan, tak mampu memanjat. Dua orang turun membantu. Bramanca berhasil dinaikkan ke kapal.
Saat itu pukul 9 pagi.
Berarti, Bramanca telah terapung di laut selama lebih dari 15 jam.
Ia lalu dibawa ke rumah sakit di Tanjungpandan. Setelah sembuh keluarganya membawanya pulang. Katanya pada mereka, “Tak percaya aku bila aku masih hidup. Tuhan, terima kasih.”
Oleh Endang Firdaus
Udara begitu cerah. Dengan boat kecil, Bramanca meninggalkan Ketapang, menuju Tanjungpandan. Sebuah kompas dan satu walky-talky mendampinginya. Enam mil ke tujuan, mendadak langit gelap. Hujan turun amat lebat. Angin bertiup kencang sekali. Jarum kompas berputar. Bramanca merasa ngeri.
Ia kehilangan arah.
Bramanca menyetel radio.
“Mayday, mayday!” panggilnya.
Dan mendapat jawaban.
Sebuah helikopter SAR segera bergerak, dan berhasil menemukan Bramanca. Pilot pesawat, Letnan Sarifudin, dengan cepat menurunkan tangga tali. Bramanca berusaha menjangkau. Ia hampir berhasil apabila ombak besar tak menghantam boat. Bramanca terlempar ke geladak. Keningnya menimpa lantai, dan luka. Dan ketika ombak besar kembali menerjang, boat terbalik, dan lenyap.
Letnan Sarifudin menyalakan lampu sorot.
Tak terlihat apa-apa.
Ko-pilot Kusnadi memeriksa bahan bakar. Jarum menunjukkan hampir habis. Tepat jam 6 sore helikopter kembali ke pangkalan. “Kita kembali setelah mengisi bahan bakar,” berkata Letnan Sarifudin.
Bramanca yang mengalami naas terlempar ke laut saat boat terbalik. Beruntung ia memakai jaket pelampung. Tubuhnya baru muncul setelah helikopter pergi. Ia, yang pernah mengikuti latihan penyelamatan di laut, tahu cara menghemat tenaga. Tapi setelah 30 menit ia mulai menggigil. Kakinya terasa kaku. Di antara ombak ia tahu akan sulit bagi team SAR menemukannya. Sementara, luka di keningnya terus mengucurkan darah. Bramanca tahu hal itu dapat mengundang datangnya kawanan hiu. Ia harus menyelamatkan hidup. Ia tak mau menyerah. Kalau memang harus mati di sini, doanya. Tuhan, ampunilah segala dosaku.
Tiba-tiba ia merasa satu hantaman keras pada kakinya. Seekor hiu! Bramanca diam. Mereka datang, gumamnya. Mereka pasti kembali. Pukul 10 malam ia merasa jaket pelampungnya mulai hilang kekuatan. Ia berusaha agar kepalanya berada di permukaan air.
Tetes air hujan ditelannya.
Air laut memedihkan matanya.
Ia berdoa tak putus-putus.
Langit kembali terang.
Bramanca melihat bintang-bintang yang gemerlapan di angkasa. Satu bintang tampak terpisah dari yang lain, bergerak ke arahnya. Mungkin bintang itu menunjukkan padaku ke mana aku harus pergi, pikirnya. Ya, Tuhan, selamatkan hambaMu yang tak punya daya ini.
Selesai mengisi bahan bakar, Letnan Sarifudin membawa helikopter kembali ke tempat kecelakaan. Sebuah helikopter angkatan laut menemani. Pencarian tak membawa hasil. Mereka lalu kembali. Pencarian akan dilakukan esok pagi. Di laut, Bramanca membayangkan angkasa dipenuhi pesawat yang mencarinya.
Tengah malam lewat.
Satu hantaman di kakinya membuat Bramanca seketika panik.
Kembali seekor hiu muncul.
Saat fajar, sekumpulan hiu bergerak ke arahnya.
Seekor hiu sapi menyerang.
Bramanca melawan. Dijejakkan kakinya dan berhasil menghantam kepala si hiu.
“Aku belum ingin mati!” serunya.
Lalu dua ekor hiu sapi kembali menyerang. Keduanya berhasil dihalau oleh jejakan kakinya. Kemudian seekor hiu martil menyerang. Dan berhasil diusirnya. Bramanca sangat ngeri saat hiu biru muncul. Tubuhnya gemetar hebat. Ia lega sewaktu makhluk itu pergi.
Bramanca merasa tenaganya kian lemah. Hiu-hiu itu telah membuat tenaganya terkuras. Luka di keningnya pun kian parah. Sayup-sayup di kejauhan terdengar deru mesin. Lalu dilihatnya sebuah helikopter. Namun segera lenyap dari pandangan. Tak lama muncul kembali. Tampak tengah mengadakan pencarian. Ketika helikopter itu berada pada jarak setengah mil, Bramanca melambai-lambaikan jaket pelampungnya.
Pesawat mendekat.
Lalu berada di atasnya.
Bramanca terus melambai-lambaikan jaket pelampungnya, sambil berusaha agar kepalanya tetap berada di permukaan air. Keluhnya, “Kenapa mereka tak juga melihatku?” Di pesawat, Letnan Sarifudin mengarahkan pandangannya ke bawah, berharap dapat melihat boat Bramanca. Tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang timbul tenggelam di antara ombak.
“Lihat ada orang di sana!”
Dikirimnya radio ke kapal penjaga pantai.
Ko-pilot Kusnadi melemparkan alarm asap untuk menuntun kapal penjaga pantai ke lokasi. Di bawah, ia melihat Bramanca berenang mati-matian. Di belakang laki-laki malang itu seekor hiu besar membuntuti. Letnan Sarifudin sangat cemas. Serunya pada kapal penjaga pantai melalui radio, “Cepat! Seekor hiu sedang membuntuti orang itu!”
Kapal penjaga pantai melaju kencang ke tempat Bramanca. Si hiu menjauh. Ketika dekat segera diturunkan tangga. Bramanca berusaha meraih, dan berhasil. Ia bergantungan, tak mampu memanjat. Dua orang turun membantu. Bramanca berhasil dinaikkan ke kapal.
Saat itu pukul 9 pagi.
Berarti, Bramanca telah terapung di laut selama lebih dari 15 jam.
Ia lalu dibawa ke rumah sakit di Tanjungpandan. Setelah sembuh keluarganya membawanya pulang. Katanya pada mereka, “Tak percaya aku bila aku masih hidup. Tuhan, terima kasih.”
Sunday, April 6, 2014
Kisah Nyata
MALAM YANG MENCEKAM
Oleh Endang Firdaus
Di daerah perbukitan sebelah barat daya Mississippi udara senja bulan Oktober begitu dingin. Musim dingin yang datang lebih cepat membuat pemandangan di sekitar Gunung Hewitt amat menakjubkan. Pak Roger U. Lewis dan Pak Joey Deak menatap lepas ke arah rawa-rawa yang ada di bawah bukit. Mereka lalu melihat ke arah pohon-pohon jagung, yang berbaris di sepanjang tepi Sungai Homochitto. Keduanya berada di daerah itu untuk berburu rusa ekor putih. Sebuah tempat bermalam sederhana telah mereka buat di bawah pohon ek.
Selesai makan malam, mereka pergi tidur. Ketika beberapa buah ek berjatuhan, Pak Joey telah tertidur. Namun, Pak Roger belum dapat memejamkan mata. Ia mencoba untuk tidak mendengar suara dengkuran Pak Joey dan suara-suara burung hantu. Dan tidak berapa lama, ia pun tertidur, bermimpi tentang rusa ekor putih, yang tengah melompat gembira di sebuah jalan kecil.
Tiba-tiba Pak Roger terjaga. Ia merasa ada bahaya yang bakal menimpanya. Ia memiringkan badan dengan kepala bertumpu pada sebelah tangan, memikirkan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Kemudian sebuah benda yang dingin menyelinap ke punggungnya. Benda yang memiliki permukaan kasar itu pelan-pelan meluncur ke pergelangan kaki. Jantung Pak Roger bergerak cepat dan tubuhnya terasa kaku mendadak.
Ular berbisa! Seketika terlintas di benaknya. Ia teringat dengan dongeng kuno mengenai binatang yang mematikan itu yang mendiami daerah Franklin. Binatang semacam itu adakalanya mempunyai bisa yang dapat membawa maut. Pak Roger tetap saja berbaring dan berusaha tenang sewaktu ular itu berputar. Ia menahan napas. Dan dengan perasaan amat cemas ia mencoba menghilangkan rasa takut, yang mungkin akan merangsang si ular untuk menyerang.
Perlahan ular itu bergerak ke arah paha. Pak Roger merasakan perutnya amat sakit. Butir-butir keringat menetes menuruni dahinya. Ia berdua kepada Tuhan agar memberikan keselamatan pada dirinya dan memohon pengampunan. Bayang-bayang tentang keluarganya melintas di depan matanya. Gerakan maju, yang perlahan dan menggelitik, tiba-tiba berhenti. Si ular diam.
Tak sebuah otot pun yang mengejang ketika Pak Roger mencari cara untuk terlepas dari bahaya. Ia baru saja memutuskan untuk keluar dari kantung tidur, saat si ular bergerak perlahan ke arah pinggul dan kemudian berhenti.
Tak ada gerakan yang dibuat ular itu maupun Pak Roger. Keduanya diam. Pak Roger merasakan lidahnya kelu dan ingin sekali menarik napas yang panjang dan dalam. Kemudian, gerakan menggelitik berdesir di perutnya, ketika si ular mulai membuat gerakan lagi. “Ya, Tuhan, selamatkanlah hambaMu,” doa Pak Roger berkali-kali. Ia berbaring kaku. Jantungnya berdetak kencang sekali.
Perasaan yang menggelitik berlanjut waktu ular itu bergerak ke dada. Tak lama, kepalanya menyentuh janggut, meraba-raba pelipis dan sisi kepala Pak Roger.
Akhirnya, gerakan ular itu berakhir. Pak Roger mendengar suara mendesis yang menjauh. Lalu didengarnya suara lembut gemerisik dedaunan. Ia tetap tegang dan diam seperti mayat, tak tahu berapa jauh sudah si ular pergi.
Ketika fajar muncul, Pak Joey bangun dari tidurnya. Segera ia membangunkan Pak Roger. “Hai, bangun cepat! Lihat, hari telah terang!”
Pak Roger bangkit dan tiba-tiba, “Ular!”
“Apa?” tanya Pak Joey. “Di sini tidak ada ular.”
Pak Roger, yang masih dicekam perasaan takut, mencari-cari ular itu. Setelah itu ia membuka kantung tidur yang basah oleh keringat. Sambil menggigil dekat perapian ia menceritakan apa yang telah dialaminya pada Pak Joey.
“Ah, kau pasti bermimpi buruk,” tukas Pak Joey tertawa.
Pak Roger sadar kalau keterangan lebih lanjut tentang pengalamannya yang menakutkan itu akan sia-sia. Pak Joey, tetap tidak akan percaya. Maka diam-diam ia memanjatkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Yang Maha Kuasa. Karena telah menyelamatkan dirinya dari bahaya yang hampir merenggut jiwanya. “Terima kasih, Tuhan,” ucapnya berulang-ulang.
Perburuan yang mereka lakukan di pagi itu, dilakukan Pak Roger tanpa semangat. Kejadian tadi malam telah membuatnya tidak dapat berkonsentrasi dengan baik.
Oleh Endang Firdaus
Di daerah perbukitan sebelah barat daya Mississippi udara senja bulan Oktober begitu dingin. Musim dingin yang datang lebih cepat membuat pemandangan di sekitar Gunung Hewitt amat menakjubkan. Pak Roger U. Lewis dan Pak Joey Deak menatap lepas ke arah rawa-rawa yang ada di bawah bukit. Mereka lalu melihat ke arah pohon-pohon jagung, yang berbaris di sepanjang tepi Sungai Homochitto. Keduanya berada di daerah itu untuk berburu rusa ekor putih. Sebuah tempat bermalam sederhana telah mereka buat di bawah pohon ek.
Selesai makan malam, mereka pergi tidur. Ketika beberapa buah ek berjatuhan, Pak Joey telah tertidur. Namun, Pak Roger belum dapat memejamkan mata. Ia mencoba untuk tidak mendengar suara dengkuran Pak Joey dan suara-suara burung hantu. Dan tidak berapa lama, ia pun tertidur, bermimpi tentang rusa ekor putih, yang tengah melompat gembira di sebuah jalan kecil.
Tiba-tiba Pak Roger terjaga. Ia merasa ada bahaya yang bakal menimpanya. Ia memiringkan badan dengan kepala bertumpu pada sebelah tangan, memikirkan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Kemudian sebuah benda yang dingin menyelinap ke punggungnya. Benda yang memiliki permukaan kasar itu pelan-pelan meluncur ke pergelangan kaki. Jantung Pak Roger bergerak cepat dan tubuhnya terasa kaku mendadak.
Ular berbisa! Seketika terlintas di benaknya. Ia teringat dengan dongeng kuno mengenai binatang yang mematikan itu yang mendiami daerah Franklin. Binatang semacam itu adakalanya mempunyai bisa yang dapat membawa maut. Pak Roger tetap saja berbaring dan berusaha tenang sewaktu ular itu berputar. Ia menahan napas. Dan dengan perasaan amat cemas ia mencoba menghilangkan rasa takut, yang mungkin akan merangsang si ular untuk menyerang.
Perlahan ular itu bergerak ke arah paha. Pak Roger merasakan perutnya amat sakit. Butir-butir keringat menetes menuruni dahinya. Ia berdua kepada Tuhan agar memberikan keselamatan pada dirinya dan memohon pengampunan. Bayang-bayang tentang keluarganya melintas di depan matanya. Gerakan maju, yang perlahan dan menggelitik, tiba-tiba berhenti. Si ular diam.
Tak sebuah otot pun yang mengejang ketika Pak Roger mencari cara untuk terlepas dari bahaya. Ia baru saja memutuskan untuk keluar dari kantung tidur, saat si ular bergerak perlahan ke arah pinggul dan kemudian berhenti.
Tak ada gerakan yang dibuat ular itu maupun Pak Roger. Keduanya diam. Pak Roger merasakan lidahnya kelu dan ingin sekali menarik napas yang panjang dan dalam. Kemudian, gerakan menggelitik berdesir di perutnya, ketika si ular mulai membuat gerakan lagi. “Ya, Tuhan, selamatkanlah hambaMu,” doa Pak Roger berkali-kali. Ia berbaring kaku. Jantungnya berdetak kencang sekali.
Perasaan yang menggelitik berlanjut waktu ular itu bergerak ke dada. Tak lama, kepalanya menyentuh janggut, meraba-raba pelipis dan sisi kepala Pak Roger.
Akhirnya, gerakan ular itu berakhir. Pak Roger mendengar suara mendesis yang menjauh. Lalu didengarnya suara lembut gemerisik dedaunan. Ia tetap tegang dan diam seperti mayat, tak tahu berapa jauh sudah si ular pergi.
Ketika fajar muncul, Pak Joey bangun dari tidurnya. Segera ia membangunkan Pak Roger. “Hai, bangun cepat! Lihat, hari telah terang!”
Pak Roger bangkit dan tiba-tiba, “Ular!”
“Apa?” tanya Pak Joey. “Di sini tidak ada ular.”
Pak Roger, yang masih dicekam perasaan takut, mencari-cari ular itu. Setelah itu ia membuka kantung tidur yang basah oleh keringat. Sambil menggigil dekat perapian ia menceritakan apa yang telah dialaminya pada Pak Joey.
“Ah, kau pasti bermimpi buruk,” tukas Pak Joey tertawa.
Pak Roger sadar kalau keterangan lebih lanjut tentang pengalamannya yang menakutkan itu akan sia-sia. Pak Joey, tetap tidak akan percaya. Maka diam-diam ia memanjatkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Yang Maha Kuasa. Karena telah menyelamatkan dirinya dari bahaya yang hampir merenggut jiwanya. “Terima kasih, Tuhan,” ucapnya berulang-ulang.
Perburuan yang mereka lakukan di pagi itu, dilakukan Pak Roger tanpa semangat. Kejadian tadi malam telah membuatnya tidak dapat berkonsentrasi dengan baik.
Thursday, March 6, 2014
Green, Green, Green
BERSEPEDA
Oleh Endang Firdaus
Matahari bersinar terang
menerangi alam raya.
Langit cerah
tanpa awan.
Aku tahu hujan
tidak akan turun.
Cepat kuambil sepeda,
lalu melaju mulus
di jalan.
Aku suka bersepeda,
meluncur mengitari
tanah lapang.
Kring…, kring…
Kubunyikan bel.
Siuuut!
Aku menaiki bukit
kecil yang tinggi.
Aku merasakan
ketegangan.
Lalu, siuuut!
Aku meluncur
menuruni bukit itu.
Ah, asyiknya bersepeda.
Lebih asyik dari naik
kereta, lebih asyik
dari naik bus,
lebih asyik dari
naik mobil, naik
kapal laut.
Bahkan,
lebih asyik
dari naik
pesawat terbang.
Saturday, February 1, 2014
FAUNA-FAUNA
UNDUR-UNDUR, SI TUKANG MUNDUR
Oleh Endang Firdaus
Kalau kamu datang ke rumah-rumah di pedesaan yang lantainya tidak disemen, kamu akan menemukan lubang-lubang kecil yang permukaannya ditutupi debu. Bila debu kamu tiup, kamu akan menemukan seekor binatang kecil di dasar lubang.
Binatang itu adalah undur-undur. Nama Latinnya myrmelion frontalis. Tanah pasir, tanah berdebu, atau tanah beranjangan yang kering-kerontang, seperti lantai tak bersemen di rumah-rumah pedesaan, adalah tempatnya hidup.
Undur-undur selalu bergerak mundur. Namun, tak selamanya ia berbuat begitu. Ia bergerak mundur hanya pada saat menggali lubang atau menarik mangsa. Di luar lubang ia akan bergerak maju. Ia tahu tak ada gunanya mundur-mundur di tempat yang tidak seharusnya.
Undur-undur membuat lubang untuk menjebak mangsa. Besarnya kira-kira 5 cm. Dalamnya kira-kira 2 cm.
Bila lubang telah selesai dibuatnya, undur-undur akan diam membenamkan diri dalam pasir di dasar lubang untuk menunggu mangsa. Mangsanya berupa semut, kutu, dan thrips (serangga kecil penghisap daun). Undur-undur akan menunggu mangsanya dengan sangat sabar. Ia dapat tahan tanpa makan dan minum hingga berhari-hari.
Bila ada semut terperosok dalam lubang, dengan cepat undur-undur bertindak. Semut itu ditariknya. Akan terjadi tarik-menarik. Semut berusaha keluar dari lubang dan undur-undur berusaha menariknya ke dasar lubang. Undur-undur terus mundur menarik semut itu. Setelah semut itu tak berdaya, ia dengan buas menghisap cairan tubuh binatang itu.
Di dunia ada kurang lebih 4000 jenis undur-undur. Hampir seluruh hidupnya berada dalam bentuk larva. Baru setelah mendekati akhir-akhir hidupnya ia berubah menjadi pupa (kepompong), lalu menjadi inago (serangga dewasa) yang bentuknya mirip sekali capung.
Bedanya: Capung dimasukkan ke dalam ordo archiptera karena sayapnya sederhana. Serangga undur-undur dimasukkan ke dalam ordo neuroptera karena sayapnya berurat seperti gambar jaringan urat saraf. Antenanya pun tidak lurus seperti antena capung, tetapi bengkok di bagian ujungnya.
Seperti ketika sebagai larva, serangga undur-undur pun buas. Ia melakukan perburuan pada malam hari. Siang hari ia tidur-tiduran di bawah naungan dedaunan yang teduh.
Dari ribuan jenis undur-undur, tak satu pun yang mengganggu kehidupan manusia. Bahkan ada beberapa jenis undur-undur yang digunakan manusia untuk memberantas hama serangga pertanian.
Friday, January 31, 2014
Kisah Nyata
TERPERANGKAP DALAM BADAI
Diceritakan kembali oleh Endang Firdaus
“Badai Allen telah berputar ke utara dan akan berada di antara Jamaica-Cuba pada hari Kamis. Saat itu, angin akan bertiup dengan kecepatan 200 mil per jam. Diingatkan kepada semua kapal yang berada di perairan selekasnya berada di pelabuhan.”
Bob Harvey mendengarkar siaran radio itu dengan penuh perhatian di atas kapalnya. Ternyata laporan cuaca yang disiarkan kemarin salah. Badai tidak bergerak ke selatan. Harvey menjadi cemas. Ia naik ke kokpit dan katanya pada Barry Gittelman, “Kita akan berada dalam badai.”
Bagi Harvey, Gittelman, Matthew St. Clair, dan Mike Munroe, pelayaran yang tengah mereka lakukan, amatlah menyenangkan. Mereka telah melewati Selat Florida dan daerah Bahama, menuju tanah jajahan Inggris, Belize. Tiga hari sudah pelayaran mereka. Selama itu Harvey terus mengikuti perkembangan cuaca. Setelah laporan cuaca terakhir yang diikutinya, ia tahu harus secepatnya mereka mencapai pantai Jamaica. Kalau tidak, mereka akan terperangkap dalam Badai Allen yang ganas.
Tiba-tiba gulungan awan hitam yang cepat melintas rendah di permukaan laut. Harvey dan teman-temannya segera menurunkan kain layar dan menggerakkan kapal ke arah pantai Jamaica. Tak ada lagi senda gurau. Angin besar dan badai telah mengelilingi mereka.
Waktu keempat lelaki itu melihat batu karang di pantai Jamaica, tinggi gelombang telah mencapai 20 hingga 25 kaki. Dengan teropongnya Gittelman mempelajari pelabuhan Port Antonio. Tampaknya sukar sekali untuk mencapai tempat itu. Di dalam titik-titik hujan dan hembusan angin dilihatnya putaran angin menimbulkan gelombang besar. “Kita tidak dapat memasuki pantai!” Ia memberi tahu teman-temannya. “Kita akan hancur jika mencoba untuk ke sana. Kita harus bertahun di sini.”
Tiga jam kemudian, saat badai datang, mereka berada 20 mil dari pantai. Gittelman berusaha keras mengendalikan kapal. Air berhamburan ke kokpit, membuat basah Harvey dan Munroe yang tengah memasang tali penyelamat.
Badai kian menggila. Kapal terhempas tinggi, lalu dijatuhkan. Sebuah potongan balok menghantam dek hingga rusak. Pada tengah malam kecepatan angin semakin tinggi. Ombak semakin besar. Sungguh mengerikan. Tiba-tiba kapal diterbangkan ombak raksasa, dan dihantam angin yang amat keras. Harvey dan teman-temannya berpegang erat pada tali penyelamat. Tak lama kapal kembali turun. Munroe menangkap tangan Gittelman dan tanyanya, “Kau takut?”
Gittelman tersenyum kecut. “Tidak!” ucapnya.
“Baiklah. Kalau kau takut, beri tahu aku!”
Bagaimana kalau aku memasang radio untuk meminta bantuan? Gittelman berkata pada dirinya. Tidak. Panggilan itu tidak berguna. Tak akan ada yang menangkapnya sampai badai reda sama sekali.
Pada pukul 2 pagi hari Rabu kapal kembali berada pada puncak ombak besar, yang kemudian membantingnya ke bawah. Karena kehabisan tenaga, Gittelman kehilangan pegangannya pada kemudi. Ia tersungkur dan jatuh ke lantai. Untung ia masih bisa menangkap tali penyelamat, hingga ia tergantung di sisi kapal.
Harvey dan Munroe memburu ke arah Gittelman. Saat kapal oleng ke kanan, mereka telah berada di dekatnya. Sedikit demi sedikit mereka menariknya ke atas. Mereka berhasil membawanya ke dek. Kemudian membaringkannya di kokpit. Beberapa menit setelah itu, Gittelman bangkit dan memegang pundak Munroe. “Sekarang aku merasa takut,” ucapnya pelan. Ia lalu kembali pada kemudi.
Tak lama kemudian angin kembali menerjang kapal. Ombak semakin ganas, menghempaskan kapal tinggi sekali seakan terbang. Di kabin, St. Clair menghantam dinding ketika kapal jatuh kembali. Air memancar dari sisi kapal. Bergegas, ia membawa dirinya ke tempat pemancar radio. “Mayday! Mayday! Mayday!” teriaknya. Kemudian ia naik ke dek. Setiba di sana ia hampir tidak dapat mempercayai penglihatannya. Cahaya kecemasan memenuhi langit malam. Hujan menyapu wajahnya seperti hantaman butiran peluru. Suara petir, hembusan angin dan debur ombak, mengusik perasaannya. Tak ada pemisah antara langit dan laut. Semua tertutup oleh buih-buih putih.
Kini kapal dalam keadaan tenang. Namun bagian bawahnya telah penuh air dan siap untuk tenggelam. Gittelman, memberi tanda. “Kita harus secepatnya menyiapkan rakit penyelamat!” Ia berseru pada teman-temannya.
Dengan pisau lipatnya St. Clair memutuskan tali yang menggantung rakit penyelamat. Tiba-tiba, angin bertiup keras. Sepotong balok besar, menghantam bagian samping tubuhnya. Ia mendengar bunyi yang keras. Tulang rusuknya patah! Dirinya terluka. Namun tak ada waktu untuk memikirkan itu. Dengan langkah diseret ia mendorong rakit ke sisi kapal dan menurunkannya ke air dengan tali penyelamat.
“Ayo!” Gittelman berteriak. Ia melihat Harvey mendapat kesulitan. Harvey berseru pada teman-temannya agar jangan menghiraukannya. Ia menyuruh mereka segera bertindak, bahwa ia dapat menyelesaikan pekerjaannya. Gittelman sadar, mereka tak boleh ragu. “Ayo!” teriaknya. Dan satu demi satu ketiga lelaki itu melompat ke laut yang ganas dan naik ke rakit.
Ketika kapal mulai tenggelam, Harvey telah berhasil mengatasi kesulitan dan segera terjun ke laut. Ia mencari rakit, namun jarak dirinya dengan rakit itu terlalu jauh. Bahkan, kelihatannya akan semakin jauh. Munroe melihat, bahwa Harvey dalam bahaya. Diikatnya tali pada rakit. Memegang ujung tali yang lain, ia pun melompat ke air dan berenang ke tempat Harvey. Ketika Harvey hampir dihempaskan ombak, jemari Munroe berhasil menangkap tangan Harvey dan segera membawanya ke rakit.
Dari atas rakit keempat lelaki itu memperhatikan kapal mereka yang semakin tenggelam. Sementara angin dan ombak semakin mengamuk. Harvey dan teman-temannya benar-benar harus berjuang mempertahankan hidup. Tiba-tiba angin dan ombak berhenti mengamuk. Rakit terapung tenang. St. Clair menatap tajam ke atas. Bintang bergemerlap cerah. “Kawan-kawan,” cetusnya, “kita telah separuh terbebas dari badai yang sangat mengerikan. Kita masih harus waspada.”
Keempat lelaki itu memakan makanan yang masih ada. Mereka juga masih mempunyai 10 ons kaleng air segar, dua kaleng kecil kembang gula, sebuah senapan suar dengan delapan suar dan sebuah lampu sorot. Setelah selesai makan mereka mendengar deru angin yang mendekat. Kemudian ombak bergerak ke arah mereka dan menerjang rakit dengan dahsyat. Keadaan tampak lebih buruk dari sebelumnya.
Akhirnya, ketika fajar datang pada hari Rabu, kecepatan angin mulai menurun dan ombak mereda. Badai Allen yang ganas telah dihadapi Harvey dan teman-temannya. Namun, di mana kini mereka berada? Gittelman tahu mereka berada jauh dari batas pelayaran normal, dan sekurangnya 40 mil dari daratan terdekat. Lebih buruk, kapal mereka telah lenyap ditelan laut, sehingga kemungkinan orang mencari mereka amatlah tipis.
Semua merasa letih dan dingin. St. Clair, mengalami patah tulang rusuk. Gittelman dan Munroe sakit akibat terlalu banyak minum air laut. Munroe muntah darah, pertanda bahwa luka lama pada perutnya pecah kembali.
Menjelang sore, rakit bergerak tenang. Saat gelap datang, mereka mencoba tidur. Tetapi hembusan angin yang menerpa tubuh mereka menyebabkan mereka tak dapat tidur. Melihat Gittelman dan Munroe, St. Clair sadar kalau keduanya demam. Ia mengusap dada Munroe dan memberinya minum. Harvey melakukan hal yang sama pada Gittelman.
Ketika matahari muncul pada Kamis pagi, air mereka tinggal sedikit. Pada siang hari keempat lelaki itu dalam keadaan setengah sadar karena haus, lapar, letih, dan dingin. Segera sebelum gelap St. Clair terbangun mendadak. “Suara apakah itu?” gumamnya. Dengan penuh ketakutan, ia menatap ke sekeliling. “Aku tidak melihat apa-apa,” ucapnya. “Cahaya-cahaya itu hanya berasal dari bintang-bintang.”
Mereka telah menghabiskan air yang tersisa. Gittelman dan Munroe berada di luar sadar. Harvey tidur gelisah, kemudian bangun dan menatap lurus ke depan. Dilihatnya beberapa cahaya gemerlap. Tampak beda dari bintang-bintang. Namun, seperti lampu kapal yang berlarian. “Sekarang, aku yang berada dalam halusinasi,” pikirnya. Ia memperhatikan cahaya-cahaya itu beberapa lamanya dan tidak berani membangunkan yang lain. Kemudian, ia menggoyangkan St. Clair. “Aku kira di sana ada sebuah kapal,” ia berkata. “Coba lihat!”
Tanpa menjawab St. Clair mengambil senapan suar. Namun senapan itu telah kemasukan air. Akankah dapat bekerja? Ia mengarahkannya ke atas dan melepas tembakan. Ada satu ledakan menyengat. Dan detik berikut, langit malam terang benderang oleh sinar berwarna merah.
Cahaya-cahaya yang dilihat Harvey terus bergerak. Satu demi satu St. Clair menyalakan sisa suar yang tujuh. Berkata Harvey, “Aku kira … kapal itu sedang … berbalik perlahan!”
Dua puluh menit kemudian sebuah lampu pencari menembus kegelapan, mengarah pada keempat lelaki kurus di atas rakit yang terapung-apung. Dengan sinar lampu itu, mereka dapat melihat jelas nama kapal itu: Jastella. Sebuah kapal minyak Norwegia.
Harvey dan teman-temannya diangkut ke atas kapal dan dikirim ke sebuah rumah sakit di Pulau Cayman Brac, dekat Inggris. Keempatnya segera mendapat perawatan.
Setelah sembuh, mereka baru tahu kalau Badai Allen adalah badai kedua terkuat di samudera Atlantik. Badai ini menimbulkan kerugian lebih dari 300 juta dolar, serta membawa korban jiwa 236 orang. Namun keempat lelaki yang hanya dalam sebuah kapal kecil, berhasil selamat dari pembunuh yang mematikan itu. Sungguh suatu keajaiban!
Thursday, January 2, 2014
Kisah Nyata
SANG PENYELAMAT
Diceritakan kembali oleh Endang Firdaus
Hari itu hari Selasa, akhir September 1984. Pak Collins dibantu anak lelakinya, Alf, telah selesai mengerjakan tanah pertaniannya yang luas. Tanah itu letaknya di daerah Belah Valley, 375 mil arah barat laut kota Brisbane, Australia. Alf berusia sembilan tahun.
Kini mereka berada di atas truk menuju rumah mereka. Di antara mereka duduk ketiga anak perempuan Pak Collins. Mereka adalah Vashti, Dallas, dan Jemms. Ketiganya adalah adik Alf.
Ketika sudah tak seberapa jauh dari rumah mereka, Pak Collins ingat pada babi hutan yang ditemuinya kemarin sore. Alf juga melihat babi hutan itu. Hewan itu menerobos semak-semak yang rimbun dan membuat debu beterbangan.
Pak Collins merasa cemas. Sebab dia belum pernah melihat babi hutan di daerah itu. Katanya kepada Alf, “Babi hutan itu dapat menyebarkan bibit penyakit, merusak parit, dan membuat air minum kotor. Kita harus segera membunuhnya.”
Sambil mengemudikan truk, Pak Collins memikirkan cara menumpas babi hutan itu. Tak lama, wajahnya tampak ceria. Ia teringat pada bangkai sapi yang dilihatnya tadi pagi, tak jauh dari rumahnya.
Pak Collins menghentikan truknya. Ia mengajak Alf melihat bangkai sapi itu. Ia percaya, bangkai sapi itu bisa menjadi umpan untuk menjebak si babi hutan.
Pak Collins dan Alf meninggalkan ketiga anak perempuan di truk. Lalu mereka menerobos semak belukar yang rimbun, menuju ke tempat bangkai sapi.
Tiba-tiba Pak Collins mendengar suara gemersik dari arah depan. Tak lama, ia melihat seekor babi hutan yang besar muncul. Matanya memandang dengan garang, mulutnya terbuka, sehingga tampak taringnya yang tajam. Babi itu menerjang Pak Collins dan Alf.
Pak Collins tak sempat mengelak ketika babi hutan menabraknya. Taring hewan itu melukai kakinya. Sambil kepalanya naik turun, babi hutan mendekati Pak Collins yang terjatuh sambil menahan rasa nyeri. Babi hutan itu menggigit sepatu but Pak Collins yang sebelah kiri. Ketika menerjang untuk kedua kalinya, taring babi hutan itu melukai lengan kanan Pak Collins. Taring yang lain merobek betisnya. Darah merah segera membasahi celana jeans Pak Collins.
Pak Collins belum pernah berkelahi dengan babi hutan. Ia berusaha melindungi kepala dan dadanya dari serbuan si babi hutan. Ia lalu mencoba melawan. Ditangkapnya kepala babi hutan itu, namun tenaga hewan itu sangat kuat. Perlawanan Pak Collins tak ada gunanya. Tubuhnya telah bersimbah darah. Tenaganya mulai melemah. Pak Collins benar-benar cemas.
Keadaan Pak Collins sungguh menyedihkan. Yang dapat dilakukannya hanya minta pertolongan kepada orang lain di dekatnya. Orang itu cuma Alf.
Alf berhasil menghindari serangan babi hutan itu. Ia kini bersembunyi di balik pohon besar, sambil memperhatikan perlawanan yang dilakukan ayahnya. Kemudian ia mendengar teriakan kesakitan dan ketakutan ayahnya. “Oh… tolonglah, Alf! Tolong, tolong!”
Dengan cepat, Alf menyambar sebuah dahan pohon besar di dekatnya. Lalu cepat-cepat ia mendekati arena perkelahian. Sambil berteriak keras, ia menghantam dahan pohon itu ke kepala babi hutan. Babi hutan berhenti mengamuk. Tetapi, tak lama ia mencoba menyerang Pak Collins lagi. Alf kembali menghantam dahan pohon ke tubuh hewan itu dua kali. Si babi hutan terdiam, lalu berbalik ke Alf. Pak Collins bertambah cemas melihat hal itu.
Alf telah siap dengan dahan pohonnya. Tiba-tiba si babi hutan berbalik. Dengan kepala yang bergoyang-goyang, ia pergi menjauh, lenyap di balik semak-semak yang rimbun.
Pak Collins menarik napas panjang. Ketika tubuhnya hendak roboh, mendekati tidak sadar, Pak Collins cemas lagi. Ia ingat pada anak-anaknya yang lain. Bagaimana dengan mereka? Apakah mereka masih berada di truk?
Pak Collins berusaha bangkit. Dibantu oleh Alf dia berdiri. Bersama-sama, mereka menerobos semak belukar, dengan perasaan sangat cemas.
Oh … semua anaknya selamat! Alf membantu ayahnya duduk di bangku truk dan mengambil alih kemudi. Dalam lima menit, mereka tiba di halaman rumah mereka. Bu Collins segera memberi perawatan pertama kepada suaminya, sebelum dibawa ke rumah sakit yang berjarak 80 mil di Rochampton. Di sana para jururawat memberi Pak Collins tambahan darah. Dokter bedah menjahit luka-luka di tubuhnya.
Beberapa bulan kemudian, Pak Collins pun sembuh. Ia benar-benar bangga mempunyai anak pemberani seperti Alf. Untuk keberaniannya Alf memperoleh penghargaan dari Ratu Elizabeth, Ratu Inggris, berupa Bintang Keberanian, yakni medali emas Royal Humane Society dan Rupert Wilkes Trophy.
Subscribe to:
Posts (Atom)